

Tekad Nyawiji Desapolitan Sumberejo, Trunuh, dan Jetis
/ Surakartan
Setiap desa memiliki potensi dan keunikannya sendiri. Pada praktiknya, desa tidak dapat berdiri sendiri, tanpa dukungan desa lain. Kolaborasi branding antar-desa menjadi pilihan strategis untuk dapat semakin ‘menjual’ desa. Sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan sebagai kuncinya.
KALORAN, Gayamprit | Siang itu, Rabu (24/5/2023), obrolan di kafe Kopi Story, tak jauh dari SMP Negeri 2 Klaten, terasa gayeng. Kafe dengan view hamparan sawah yang tengah menghijau itu menjadi tempat bersejarah pertemuan tiga pemerintah desa di Kecamatan Klaten Selatan, yakni Sumberejo, Trunuh, dan Jetis, atas inisiasi Georium Dunia pimpinan Prof Suratman.
“Hari ini, Georium Dunia mengajak tiga desa untuk duduk bersama, memetakan potensi, lalu berkolaborasi membangun usaha bersama dalam formulasi Desapolitan. Secara teknis, setiap desa berusaha menemukan atau membangun ikon khusus untuk menjalankan atau menguatkan mesin ekonomi desa,” terang Prof Suratman.
Biasanya, sambung Guru Besar Fakultas Geografi UGM tersebut, masing-masing desa berusaha sendiri, tanpa bantuan desa lain. Desapolitan hadir untuk mengorkestrasi beberapa desa agar saling melengkapi. Gotong royong menjadi nilai utama Desapolitan.
“Indonesia, termasuk kita ini, pada dasarnya, punya pranata kegotongroyongan yang kuat. Sekuat apa pun diserang berbagai budaya asing untuk semakin individualistis, perilaku gotong royong tetaplah menjadi fondasi utama tatanan sosial kita. Bahwa memang mulai berkurang, itu benar adanya. Oleh karena itu, Desapolitan kembali merevitalisasi kegotongroyongan melalui kolaborasi branding tiga desa ini,” paparnya.
Masing-masing perwakilan desa, baik itu Kepala Desa, Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD), maupun Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), memberikan penjelasan detail seputar aktivitas perekonomian desa yang telah ditempuh, sedang direncanakan, juga proyeksi masa depan.
Desa Trunuh dan Desa Jetis memiliki kesamaan komoditas desa yang telah dikenal luas, yaitu tahu bakso. Tahu bakso buatan pelaku usaha di Jetis dan Trunuh telah dikonsumsi warga Jogja dan Jakarta.
“Usaha tahu bakso sudah digeluti warga dua desa sejak 1990-an. Pada tahun 2019, untuk memperkenalkan Jetis dan Trunuh sebagai sentra industri tahu bakso, kami menggelar kirab tahu bakso dalam bentuk aneka gunungan,” ujar Kepala Desa Jetis, Mulyatno.
Sementara itu, Kepala Desa Trunuh, Matius Sulaiman, menambahkan, desa pimpinannya tengah mempersiapkan wisata air untuk anak-anak. Hingga forum ini digelar, pembangunan destinasi air tersebut sedang dalam finalisasi.
Desa Sumberejo, disampaikan Kepala Desanya, Tri Rahardjo, mendorong situs mata air sebagai ikon desa, sesuai toponimi desa, ‘sumber’ yang berarti asal dan ‘rejo’ yang berarti ramai. Karena, diyakini, Sumberejo dahulu adalah tempat sumber air yang melimpah.
“Kami juga merintis literasi desa dengan menulis kilas seabad Pemerintah Desa Sumberejo. Buku saya berjudul Seabad Sumberejo menyajikan kronik-kronik profil Kepala Desa Sumberejo dari waktu ke waktu,” katanya penuh semangat.
Sumberejo pun sedang menggalang potensi lain, berupa peternakan sapi pedaging, sebagai komoditas pendukung bagi produksi tahu bakso di Trunuh dan Jetis. Pada masa yang akan datang, kolaborasi tiga desa diharapkan dapat menemukan benang merah yang lain agar semakin saling melengkapi.
Taman Agropolis Nusantara
Setelah kajian pembuka dilakukan, pembahasan selanjutnya adalah menentukan titik bangun ikon wisata yang mempersatukan tiga desa. Georium Dunia mengusulkan dibangunnya Taman Agropolis Nusantara (Tantara) di titik strategis pertemuan tiga desa, yang berlokasi di belakang SMP Negeri 7 Klaten.
“Cita-cita besar perlu perjuangan. Mari para pemimpin Desapolitan mewariskan budaya peradaban Klaten dengan membangun Kawasan Desapolitan Taman Agropolis Nusantara (Tantara),” ucap Prof Suratman optimis.
Tantara dapat dikonsep sebagai wadah pembelajaran produk agropolitan Indonesia. Untuk mewujudkannya, tentu saja tidak mudah, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun, dengan komitmen dan kerja keras, bukan tidak mungkin akan terlaksana.
“Tantara sebenarnya merepresentasi keberhasilan tiga pemerintah desa dalam mengembangkan daerah melalui optimalisasi sumber daya tumbuhan dan hewan, yaitu pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Ekonomi lokal ini berbasis produk unggulan daerah yang efektif, efisien, transparan, dan berkelanjutan,” terangnya.
Tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang terjamin ketersediaannya, baik dalam bentuk primer, produk olahan sementara, maupun produk olahan akhir, selanjutnya diusahakan dalam wujud industri kecil dan menengah.
“Mari membangun desa, tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan, budaya, tradisi, berupa lahirnya inovasi-inovasi bisnis yang terarah dan berkelanjutan,” pungkas Prof Suratman.
Editor: Agung Julianto