

Membaca Narasi ‘Playing Victim’ Jelang Pilpres 2024
/ Opini
Agus Zaini
Co-Founder Cakra Manggilingan Institute
Tetiba panggung politik nasional geger. Media terasa semakin bising. Para penggawa partai berlogo kepala banteng bermoncong putih berteriak lantang, mengaku dizalimi dan diintimidasi.
Sebutlah cerita dari Kota Solo. Seorang mantan Walikota yang juga tokoh sentral PDI Perjuangan, FX Hadi Rudyatmo, mengeluhkan kedatangan polisi ke kantor DPC PDI Perjuangan Kota Solo di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan. Rudy menuding, pihak kepolisian telah melakukan intimidasi dan intervensi partai politik.
Berbeda dengan sikap Rudy dalam menyikapi patroli yang dilakukan polisi, pimpinan partai rekan koalisinya, yaitu Ketua DPD Partai Perindo Kota Surakarta, Milia Jatmiati, mengemukakan, apa yang dilakukan Polresta Surakarta itu justru memberi rasa aman bagi dirinya dan kantor partai yang ia pimpin.
Kurang lebih senada, Ketua DPC PPP Kota Surakarta, Edi Jasmanto, menuturkan bahwa kantornya juga kerap disambangi petugas. Namun, apa yang dilakukan aparat penegak hukum tersebut dinilainya sangat positif. Justru ia menilai, kegiatan patroli polisi ke objek-objek vital termasuk kantor partai adalah wajar untuk menciptakan rasa aman dan menjaga Kamtibmas menjelang Pemilu.
Entah apa yang ada di benak seorang FX Hadi Rudyatmo. Pandangan bahwa pihak kepolisian telah mengintimidasi dan mengintervensi partainya terkesan ingin memunculkan narasi tentang aparat negara yang tidak bersikap netral. Terlebih, saat Rudy tidak bisa menjelaskan lebih jauh, apa bentuk tindakan intimidasi dan intervensi yang dimaksud.
Situasi nasional terasa semakin dramatis, ketika pencabutan baliho Capres Ganjar Pranowo oleh petugas Satpol PP viral di media sosial. Padahal, setelah dikonfirmasi, Asisten Pemerintah Kota Pematang Siantar, Junaedi Antonius Sitanggang, menegaskan bahwa pihaknya tidak hanya mencopot baliho Bacapres tertentu, tetapi semua spanduk, termasuk milik partai politik yang banyak menyalahi aturan.
Dua kejadian tersebut tampak disajikan ke publik sebagai bagian dari framing yang bertujuan untuk menyoroti ketidaknetralan aparat negara.
Berbagai narasi dan video serentak diviralkan melalui media massa, media sosial, hingga masuk ke ruang-ruang chat pribadi. Aksi serentak dan senada itu seperti sengaja dibuat untuk meyakinkan publik bahwa aparatur negara telah bertindak tidak independen dan intimidatif bahkan cenderung melakukan intervensi. Sayangnya, narasi itu dibangun dengan cara-cara manipulatif.
Drama ‘Playing Victim’
Dramatisasi dan pendekatan emosional ini adalah sebentuk aksi playing victim, yang pada gilirannya mengundang komentar banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo, karena ia menjadi sasaran anak panah dari aksi tersebut.
Dalam suatu kesempatan, Jokowi secara implisit mengkritik pendekatan tersebut dengan menyatakan bahwa perdebatan politik haruslah berbasis pada gagasan, pemikiran, dan visi, bukan pada drama emosional yang disejajarkan olehnya seperti drakor dan sinetron.
Secara umum, playing victim dimaknai sebagai sebuah perilaku seseorang yang sering melemparkan kesalahan pada orang lain. Pelemparan kesalahan itu biasanya dilakukan untuk menutupi kekurangan bahkan kesalahan yang berasal dari diri sendiri. Pelaku playing victim biasanya akan memosisikan diri sebagai korban, dan orang lain yang ia tuding adalah mutlak sebagai pelaku yang menzaliminya.
George K. Simon (1996) dalam bukunya In Sheep's Clothing: Understanding and Dealing with Manipulative People mengatakan bahwa manipulator biasanya akan menampilkan diri sebagai korban suatu keadaan atau tindakan yang dilakukan seseorang.
Playing victim dilakukan tanpa didasari data yang akurat bahkan bisa saja pelakunya memanipulasi data untuk menjadi alat pembenaran atas perilakunya dan tidak segan untuk menuding orang lain bersalah.
Pelaku playing victim akan berusaha sekuat tenaga merebut simpati orang-orang di sekitarnya. Orang tersebut akan memanipulasi berbagai hal, mulai dari perasaannya sendiri, perilaku, dan masih banyak lagi. Bahkan bila perlu, mereka akan melebih-lebihkan banyak hal demi mencapai target sasarannya.
Menurut pakar psikologi, Melanie Tannenbaum dan Susan Krauss Whitbourne, dalam dunia politik, taktik berperan sebagai korban (playing victim) sering kali digunakan oleh pemimpin atau partai politik untuk memperoleh dukungan publik. Mereka menyoroti bagaimana para politisi bisa memanfaatkan situasi tertentu atau peristiwa yang terjadi, sebagai kesempatan untuk menampilkan diri mereka sebagai korban kezaliman atau tuduhan dari pihak lawan, dengan harapan memperoleh simpati dan dukungan massa.
Dalam buku The Art of War yang ditulis Sun Tzu pada abad ke-5 SM, dijelaskan bahwa playing victim dianggap sebagai sebuah ‘strategi mengalah’ yang penting untuk mengemas situasi dengan menyembunyikan kelemahan diri. Caranya, berpura-pura menjadi korban atau orang yang terluka, demi mengelabui musuh dan lingkungan.
Dilema ‘Banteng Melow’
Perkembangan politik menjelang Pilpres 2024 memang dipenuhi oleh kejutan. Peristiwa kerenggangan hubungan antara Presiden Jokowi dengan induk partainya membuat Jokowi seperti berada pada posisi sebagai outsider, yang tidak diakui lagi sebagai bagian dari kader loyal. Jokowi dan anak-anaknya dianggap sebagai ‘pengkhianat’ partai. Terlebih lagi Jokowi dianggap telah memberi jalan mulus bagi Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Namun, di sisi lain, PDI Perjuangan terlihat belum ikhlas melepas Jokowi dan Gibran. PDI Perjuangan masih membutuhkan keduanya dan berharap ada momentum yang membuat Jokowi kembali berkonsentrasi untuk ikut serta membesarkan PDI Perjuangan serta memenangkan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang diusung secara resmi oleh PDI Perjuangan.
Dalam situasi yang dilematis itulah partai berlambang kepala banteng terlihat galau dan melow. Tampak sekali di publik, kader-kader utama PDI Perjuangan menjadi sensitif, baperan, dan hanyut dalam permainan politik yang tidak produktif.
Salah satu blunder politik dilakukan oleh politikus PDI Perjuangan, Adian Napitupulu, yang menuduh Joko Widodo marah lantaran permintaannya agar dapat menjabat presiden selama tiga periode ditolak PDI Perjuangan.
Parahnya, tuduhan Adian langsung dibantah oleh Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani. Walaupun kemudian Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, mencoba memperkuat narasi yang dibangun Adian, agar mantan aktivis 98 itu tidak merasa dipermalukan di depan publik.
Sengkarut strategi PDI Perjuangan semakin tampak terlihat ketika membangun narasi ‘Jokowi meninggalkan PDI Perjuangan’. Kalimat itu menjadi seperti ‘mantra’ yang digaungkan oleh Hasto Kristianto, Andi Widjajanto, dan para elite PDIP lainnya.
Sejatinya, dari sekian banyak narasi yang disampaikan ke publik, hanya bertujuan ingin menggambarkan bahwa Jokowi telah menzalimi PDI Perjuangan. Jadilah drama playing victim yang ditayangkan secara vulgar, dengan harapan publik membenci Jokowi dan bersimpati kepada PDI Perjuangan.
Apabila strategi ‘banteng melow’ seperti itu terus berlanjut, justru akan merugikan PDI Perjuangan dan pasangan Capres-Cawapres yang diusungnya. Karena, akan semakin memperuncing masalah dan menjauhkan PDI Perjuangan dengan Presiden Jokowi, Sang Petugas Partai.