

Siti Kasiyati: Mari Peduli Kepala Keluarga Perempuan
/ Surakartan
Pendampingan dapat mengantarkan anak-anak tumbuh optimal serta keluarga pun menjadi lebih sejahtera.
KAMPUNG BARU, Pasar Kliwon | Karena berbagai alasan, seperti perceraian, kematian suami, suami tidak bertanggung jawab, atau migrasi, sebagian perempuan terpaksa menjadi tulang punggung utama keluarga. Para perempuan itu disebut Kepala Keluarga Perempuan (KKP). Mereka bertanggung jawab penuh atas pengasuhan anak berikut pemenuhan kebutuhan ekonominya.
“Situasi Kepala Keluarga Perempuan ini rentan. Mereka harus memikul beban ganda yang berat, yakni sebagai pengasuh tunggal yang memastikan tumbuh kembang optimal anak, sekaligus sebagai pencari nafkah utama demi kelangsungan hidup keluarga,” ujar Ketua LBH Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah, Siti Kasiyati, Selasa (15/7/2025), kepada Surakarta Daily.
Bekerja sama dengan Program Inklusi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, pihaknya menggelar pertemuan multi-pihak bertema ‘Perlindungan dan Pemenuhan Hak Perempuan & Anak Pasca-Putusan Pengadilan’ di Ruang Rapat Tawang Arum, Kompleks Balaikota Kota Surakarta. Acara yang dihadiri sekira 175 orang tersebut dilaksanakan sedari pukul 07.30 hingga 16.00.
Mbak Atik, begitu ia akrab disapa, mengatakan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Kepala Keluarga Perempuan sering kali berhadapan dengan berbagai tantangan yang kompleks. Secara ekonomi, mereka kerap kesulitan mengakses pekerjaan layak, modal usaha, atau pelatihan keterampilan, karena keterbatasan waktu, mobilitas, atau diskriminasi gender.
Hal ini berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga, khususnya pemenuhan gizi, pendidikan, dan kesehatan anak-anak. Dari sisi pengasuhan, tekanan ekonomi dan minimnya dukungan sering kali menyebabkan Kepala Keluarga Perempuan stres berlebih serta dapat memengaruhi kualitas interaksi dan pengasuhan anak.
Bukan hanya itu, sambung akademisi Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta tersebut, Kepala Keluarga Perempuan kerap dihadapkan pada stigma sosial dan diskriminasi.
“Masyarakat mungkin kurang mengakui peran dan kontribusi mereka, atau bahkan memandang sebelah mata kemampuan mereka dalam memimpin keluarga. Dukungan sosial dan akses terhadap hak-hak dasar, seperti hak waris atau kepemilikan aset, juga sering kali belum memadai,” ungkapnya.
Siti berpandangan, berhadapan dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi Kepala Keluarga Perempuan, program advokasi dan pendampingan menjadi sangat krusial. Program-program yang hadir sebagai bentuk intervensi holistik. Tidak hanya meringankan beban mereka, tetapi juga memberdayakannya secara ekonomi, sosial, dan psikologis.
“Melalui advokasi, diharapkan ada perubahan kebijakan dan norma sosial yang lebih inklusif dan suportif terhadap Kepala Keluarga Perempuan. Sementar pendampingan akan memberikan peningkatan kapasitas secara langsung, baik dalam hal keterampilan pengasuhan maupun kemampuan mencari nafkah, sehingga mereka mampu menjalani perannya dengan lebih berdaya. Anak-anak dapat tumbuh optimal dan keluarga menjadi lebih sejahtera,” terang Mbak Atik.
Pada rentang waktu tahun 2021 hingga 2024, angka Kepala Keluarga Perempuan terus meningkat. Kebanyakan karena penceraian, meninggalnya suami, suami yang tidak bertanggung jawab, migrasi, serta perempuan korban kekerasan seksual LBH Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah mencatat, jumlah pendampingan mereka kepada Kepala Keluarga Perempuan, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik perkara litigasi pidana maupun perdata. Hal itu berdampak pada anak korban perceraian yang biasanya mengalami kekerasan berupa penelantaran.
Anak Korban Penelantaran
Jumlah kasus terbanyak yang ditangani LBH Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah adalah anak korban penelantaran. Menurut data pengadilan agama, setiap tahun, jumlah anak korban penelantaran terus meningkat.
“Anak korban perceraian belum mendapatkan perhatian yang cukup, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Pasca-putusnya perceraian, tidak ada pemantauan dan eksekusi yang jelas tentang realisasi nafkah anak. Anak lantas konflik dengan hukum, mengalami trauma, dan tidak percaya diri,” ucap Siti Kasiyati.
Ia menuturkan, pada tahun 2023-2024, LBH Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyah Jawa Tengah telah melakukan program pemulihan psikososial dan ekonomi yang berfokus pada perempuan, anak, dan difabel korban kekerasan. Program rehabilitasi tersebut diselenggarakan di Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali.
“Masih dibutuhkan tambahan modal usaha dan pemberdayaan ekonomi sebagai bentuk tindak lanjut dari program rehabilitasi tersebut,” simpul Mba Atik.
Ia berharap, pertemuan multi-pihak sebagai upaya pencegahan dan penanganan serta pemulihan. Setidaknya dapat mendorong penguatan peran Kepala Keluarga Perempuan dalam pengasuhan anak dan pencari nafkah ini menjadi isu yang masuk dalam program pemerintah dan semua elemen masyarakat.
Pertemuan multi-pihak yang berakhir dengan beberapa rekomendasi urgen tersebut dihadiri beberapa tokoh penting, di antaranya Wali Kota Surakarta, Respati Ardi; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah, Sri Gunarsi; Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Henny Wijayanti; Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang di Jawa Tengah, Rokhanah; serta Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, Saiful Mujab.
Selain itu, perwakilan Asosiasi Properti Syariah Indonesia (APSI) Kota Surakarta, Abdullah Tri Wahyudi; Ketua Majelis Tabligh & Ketarjihan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah, Amiroh; Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah, Umi Barokah. Sementara Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Tengah, Nawal Arafah Taj Yasin, hadir secara daring.
Editor: Rahma Frida