Praktisi ekonomi maritim dan politisi Partai Ummat, Rusdianto Samawa. (Surakarta Daily/Dewa)
Rusdianto Samawa: Presiden Terpilih Harus Berani Memagari Laut Demi Kesejahteraan Rakyat : Praktisi ekonomi maritim dan politisi Partai Ummat, Rusdianto Samawa. (Surakarta Daily/Dewa)
Praktisi ekonomi maritim dan politisi Partai Ummat, Rusdianto Samawa. (Surakarta Daily/Dewa)

Rusdianto Samawa: Presiden Terpilih Harus Berani Memagari Laut Demi Kesejahteraan Rakyat

Kesejahteraan rakyat dapat dicapai dengan optimalisasi perekonomian maritim.


PABELAN, Kartasura | Praktisi ekonomi maritim, Rusdianto Samawa, berpandangan, Capres-Cawapres harus bersuara lantang mengenai persoalan kemaritiman Tanah Air. Menurutnya, keberhasilan pengelolaan sumber daya maritim yang mencakup kelautan, pelayaran, dan perdagangan di laut mampu menjadikan Indonesia dapat banyak berbicara di tataran global.

Ia mengatakan, Indonesia mutlak harus menguasai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Dalam sejarahnya, ketidaktahuan soal ALKI menjadi salah satu sebab kekayaan laut Indonesia 'dijarah' oleh penjajah Belanda. Ketika Poros Maritim Dunia sempat digagas oleh Presiden Joko Widodo pada awal kekuasaannya, Rusdianto menilai, hanya merupakan perpanjangan tangan Jalur Sutra Maritim Tiongkok.

“Poros Maritim Dunia praktis hanya berproses pada investasi. Jadi, Jokowi datang ke China, MoU dengan China membawa isi Poros Maritim Dunia ini sebagai kepanjangan tangan Jalur Sutra Maritim atau one belt one road,” ungkap Rusdianto dalam Diskusi Pra-Debat Capres-Cawapres Kedua yang digelar Surakarta Daily bersama Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Senin (18/12/2023).

Lebih jauh, ia menerangkan, Tiongkok yang bukan negara kepulauan punya kepentingan besar terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan. Dalam perspektif ekonomi, Tiongkok mau tidak mau bakal melirik Laut China Selatan yang dalam prosesnya memunculkan benih-benih konflik.

“Dalam konteks Poros Maritim Dunia, di situ (Laut China Selatan), ada perikanan, mineral, minyak, dan lain-lain. Di situ ada kekayaan Indonesia sebagai negara kepulauan,” kata Calon Legislatif DPR RI dari Partai Ummat Dapil 1 NTB Kepulauan Sumbawa itu.

Ia menambahkan, dari sisi nasionalisme, Menko Maritim pertama pemerintahan Presiden Jokowi, Rizal Ramli, pernah menyatakan bahwa tidak ada Laut China Selatan. Karena yang ada adalah Laut Natuna Utara.

“Jangan lagi misalnya ada dinamika China dan Indonesia, jangan menyebut Laut China Selatan, tapi Natuna Utara, sebagai bentuk nasionalisme kita. Karena sebenarnya China bukan negara kepulauan,” kata Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Sumbawa Indonesia-NTB ini.

Oleh karena bukan negara kepulauan maka agar diakui PBB, Tiongkok mengakuisisi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Laut China Selatan yang bertumpu di Thailand dengan membangun pelabuhan internasional di Negeri Gajah.

“China ingin menyambung alur pelayanan mereka itu dari Thailand, supaya dari Thailand bisa masuk Samudra Hindia dan Samudra Pasifik di mana laut kita itu ke sana. Kalau China mau langsung tidak bisa. Samudra Hindia dan Samudra Pasifik jalur pelayanan kapal-kapal kargo yang dapat mendongkrak ekonomi kita,” terang Rusdianto.

Ia menerangkan jalur-jalur perdagangan laut  itu semua dikunci Indonesia, sehingga bisa disebut, inilah kemenangan Indonesia atas Tiongkok. Meskipun Tiongkok negara besar, sambung Rusdianto, jika digertak sekali oleh Indonesia, bisa roboh. Karena, lima selat milik Indonesia memegang kunci kemaritiman dunia.

“ALKI 1 sampai 3, Selat Malaka, Lombok, Bali, Jawa, Sunda. Negara-negara China, Australia kalau mau ke Eropa, sudah pasti lewat Selat Malaka, Selat Aceh, Samudra Hindia, Samudra Pasifik. Itu ada di Indonesia. Pertanyaannya, berani-tidak Capres ini menentukan masa depan poros kekuasaan maritim Indonesia di mata dunia? Mampu tidak maritm Indonesia menggoyang dan mengontrol dunia?” kata Rusdiana.

Pada kepemimpinan Presiden Jokowi, lanjutnya, Poros Maritim Dunia dibawa kepada persoalan investasi yang sayangnya tidak dalam bidang infrastruktur maritim, namun jadi jalan tol di darat.

“Periode pertama Jokowi katanya tol laut. Periode dua, tol laut tidak ada. Ini bentuk evaluasi kita terhadap Poros Maritim. Siapa yang harus menjalankan? Negara tidak bisa melakukan itu kalau tidak ada kapasitas kepemimpinan yang sesuai. Yang paling menjamin adalah memagari laut demi kesejahteraan kita,” pungkas Rusdianto.

Penulis: Pujoko
Editor: Widi Purwanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik