

Mohamad Toha: Saatnya Bawaslu Diberi Kewenangan Peradilan Khusus Pemilu
/ Surakartan
Efisiensi praktik demokrasi menjadi prioritas utama, merujuk pada beberapa Pemilu belakangan.
KETELAN, Banjarsari | Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) membutuhkan kewenangan untuk menggelar peradilan khusus Pemilu. Tujuannya, supaya penanganan pelanggaran Pemilu dapat dilakukan secara cepat dan adil.
Seperti diketahui, fungsi yudikatif Bawaslu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bawaslu diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan perkara sengketa proses Pemilu.
Hal tersebut disampaikan Anggota DPR-RI Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mohamad Toha, dalam acara Konsolidasi Penguatan Kelembagaan Bawaslu Bersama Stakeholder Pengawas Pemilu, Sabtu (27/9/2025), di Hotel Sahid Jaya Solo. Tema yang diangkat kali ini, ‘Transparansi Publik Pengawasan dan Pemantauan Pemilu 2029’.
“Kalaupun Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu—red) masih dipertahankan maka sebaiknya dibuat peradilan ad hoc yang berisi unsur-unsur penegak keadilan dan penyelenggara Pemilu, serta unsur masyarakat yang semuanya ditugaskan secara ad hoc di lembaga tersebut,” ujar wakil rakyat Daerah Pemilihan (Dapil) V Jawa Tengah itu.
Menurutnya, pengawasan Bawaslu benar-benar dilaksanakan pada setiap tahapan, mulai dari pendaftaran partai politik (Parpol), pemutakhiran data pemilih (Pantarlih), pencocokan dan penelitian (Coklit), hingga akhir tahapan Pemilu.
Selain itu, proses penanganan pelanggaran Pemilu dilaksanakan linier, dari Bawaslu kabupaten/kota ke Bawaslu provinsi, ke Bawaslu RI, atau counterpart peradilan Pemilu/Gakkumdu yang dibuat oleh Bawaslu.
“Sanksi terhadap pelanggaran Pemilu dititikberatkan pada sanksi pidana dan administratif yang lebih berat, misalnya diskualifikasi,” tandasnya.
Di sisi lain, sambung Pak Toha, begitu ia akrab disapa, diperlukan sarana prasarana penyelenggara Pemilu, kantor yang memadai, alat transportasi yang cukup, kebutuhan lain seperti gudang untuk surat suara dan ruang peradilan untuk Bawaslu atau Lembaga peradilan ad hoc. Tak kalah penting, adanya kesetaraan penyelenggara Pemilu dalam hal tugas dan remunerasi.
Dibutuhkan pula perlindungan terhadap pelapor dan saksi pelanggaran Pemilu. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, diperlukan insentif bagi mereka yang menemukan pelanggaran maupun mereka yang mau menggunakan hak pilihnya.
Secara teknis, lanjutnya, di Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak diperlukan saksi Parpol, namun jumlah Panitia Pengawas (Panwas) TPS diperbanyak, sehingga dapat memutakhirkan rekapitulasi secara netral. Semua pembiayaan ditanggung pemerintah. Pemantauan Pemilu berupa pengawasan cyber dapat pula diadakan.
“Rekapitulasi real-time yang cepat dan tepat dapat ditingkatkan lagi, baik melalui Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi—red) atau offline. Syukur-syukur Sirekap bisa diterapkan di setiap provinsi. Moving rekapitulasi perlu dipikirkan kembali, apakah dari TPS langsung ke PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan—red) atau perlu mampir dulu ke PPS (Panitia Pemungutan Suara—red),” ucap Wakil Bupati Sukoharjo Periode 2000-2005 dan 2005-2009 ini.
Efisiensi Demokrasi
Dalam kesempatan itu, Mohamad Toha juta memerinci beberapa isu krusial yang berimplikasi besar pada pembiayaan. Penyelenggaran Pemilu yang akan datang wajib mempertimbangkan efisiensi, belajar dari mahalnya praktik demokrasi pada Pemilu-Pemilu belakangan.
“Untuk meminimalisasi money politics, mari meninjau kembali sistem Pemilu, untuk membatasi pertarungan yang sifatnya personal. Kampanye bersama yang dibiayai oleh negara (dapat) mencegah kapitalisme (Pemilu). Kebutuhan Pemilukada dianggarkan oleh Pemerintah Pusat agar tidak terjadi disparitas,” katanya.
Untuk mengurangi money politics dan meningkatkan partisipasi politik, ia bersaran untuk memperbanyak sosialisasi dan pendidikan pemilih. Bahkan kalau mungkin, pendidikan politik masuk ke kurikulum sekolah.
Mohamad Toha menyoroti Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), apakah bisa menjadi rezim Pemilu atau tidak. Pilkades apakah mungkin dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu, bukan Pemerintah Daerah, agar tidak terjadi disparitas dalam hal anggaran, tahapan, timetable, pengadilan pelanggaran, dan objektivitas perekrutan calon.
“Orang-orang yang berkontribusi dengan memberi sumbangan pemikiran atau konsep tentang kepemiluan yang lebih baik maka mereka adalah orang-orang yang berpikir tentang kesejahteraan masyarakat. Orang-orang yang berpikir tentang kesejahteraan masyarakat adalah orang-orang yang bermanfaat bagi sesama. Tuhan menjanjikan bahwa orang yang bermanfaat bagi sesama akan diberi kemuliaan di sisi-Nya,” pungkasnya.
Acara yang berlangsung sedari pagi hingga tengah hari tersebut bekerja sama dengan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan mengundang tokoh-tokoh masyarakat. Membersamai Mohamad Toha, hadir sebagai pembicara, Guru Besar Akuntansi Manajemen FEB UNS, Nur Agung Probohudono, serta dosen Ilmu Sosial dan Hukum Univet Bantara Sukoharjo, Joko Suryono. Diskusi dimoderatori oleh Presidium KAHMI Solo, Rahadi.
Editor: Astama Izqi Winata