Pemain dan kru karawitan pentas teater Jebolnya Benteng Kartasura. (Set Mas Karebet)
Kolaborasi, Mas Karebet Pentaskan Jebole Benteng Kartasura : Pemain dan kru karawitan pentas teater Jebolnya Benteng Kartasura. (Set Mas Karebet)
Pemain dan kru karawitan pentas teater Jebolnya Benteng Kartasura. (Set Mas Karebet)

Kolaborasi, Mas Karebet Pentaskan Jebole Benteng Kartasura

/ Surakartan

Sebuah pertunjukan teater bahasa Jawa dan tari untuk merawat ingatan kolektif tentang sejarah Kartasura.


BANGUNSARI, Gayam | Ada yang terasa berbeda di Taman Budaya Suryani (TBS) Sukoharjo, pada Jumat (5/7/2024) lalu. Di tempat yang belum lama diresmikan itu, digelar pementasan pertunjukan teater bahasa Jawa dan tari oleh Masyarakat Kartasura Bermartabat (Mas Karebet) bertajuk ‘Jebole Benteng Kartasura’.

Pentas berkolaborasi dengan komunitas Seni Budaya Kartasura, yakni Rumah Budaya Nuswantoro, Sanggar Pamor, dan Sanggar Paseban Siwi, serta didukung Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo.

Dimulai pukul 19.30, pentas yang disutradarai Marsudi Widodo serta Pemimpin Produksi Dj Respati tersebut terbuka untuk umum, serta dihadiri tokoh-tokoh Kartasura, di antaranya Camat Kartasura Ikhwan Sapto Darmono, Lurah Kartasura Safrudin Cahyanto, dan Kepala Desa Gumpang Dwi Nuryanto.

Selain itu, hadir pula anggota DPRD Sukoharjo Maria Kristutiningsih, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo Yohanes Sri Raharjo, serta Sub Koordinator Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo Atik Ardianti.

“Teater merupakan media seni yang acap kali digunakan untuk mengekspresikan fenomena-fenomena sosial. Kegelisahan jiwa dalam melihat realitas sosial diekspresikan melalui seni dialog dengan masyarakat. Teater yang muncul atas kesadaran kritis dalam melihat perilaku sosial masyarakat maupun politik dapat menjadi medium dalam menyampaikan kritik dan pesan-pesan pada para pemangku kepentingan maupun masyarakat,” ujar Pimpinan Produksi, Dj Respati, sebelum pementasan berlangsung.

Menurutnya, tema pentas teater yang diangkat merespons fenomena ‘kecolongan’ bahkan hingga dua kali dalam menjaga Benda Cagar Budaya, yakni jebolnya Benteng Baluwarti Kartasura dan Benteng Ndalem Singopuran.

“Saat kejadian begitu menyita dan menggemparakan perhatian publik, semua peduli pada cagar budaya. Namun, setelah itu diempas angin menjadi sunyi kembali. Tak ada kabar yang disampaikan ke publik oleh para pemangku kepentingan,” kata founder Kartasura Library ini.

Respati menandaskan pentingnya kesadaran bersama, baik sebagai warga, pelaku usaha, termasuk budayawan maupun para pemangku kepentingan agar tidak terlambat dalam melihat perubahan sosial ekonomi yang beririsan dengan penyelamatan Benda Cagar Budaya.

“Penyelamatan Benda Cagar Budaya bukanlah persoalan romantisme masa lalu, namun untuk mengingat perjalanan sejarah kota atau bangsanya. Melalui pentas teater ini kita diajak untuk lebih peduli terhadap peninggalan masa lalu sebagai upaya memelihara ingatan kolektif warga. Terlebih Kota Kartasura pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram Islam. Walau telah diboyong ke Surakarta, namun jejak-jejak sejarah peradaban masa lalu masih terlihat nyata, baik berupa bangunan fisik, tulisan dan cerita dalam babad, maupun toponimi kampung,” terangnya.

Harapan dan Gagasan

Respati berharap, melalui pentas teater ‘Jebole Benteng Kartasura’, terkirim pesan tentang ajakan untuk lebih adil dalam menyikapi arus perubahan, terutama aspek sosial-ekonomi yang bersentuhan dengan Benda Cagar Budaya. Pentas teater juga mengekspresikan harapan dan gagasan penyelamatan masa lalu untuk masa depan yang lebih baik.

“Melalui pentas ini pula kesadaran kita digugah akan arti pentingnya merawat Benda Cagar Budaya. Sebagaimana pesan Bung Karno bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah atau Jas Merah. Dengan segala pahit getirnya episode Kartasura Hadiningrat perlu kita rawat untuk diambil hikmah dan ibrahnya bagi perjalanan warga kota maupun bangsa,” tutupnya.

Pada kesempatan meriah itu, para penari asal Polokarto turut mementaskan Tari Gambyong, sebuah karya seni tari Jawa klasik yang lazim saat menyambut tamu. Selanjutnya, Tari Kebo Kinul, yaitu tarian khas masyarakat agraris yang telah mendunia. Biasanya, masyarakat tempo dulu mementaskannya ketika menyambut masa panen.

Penulis: Fahrudin
Editor: Rahma Frida


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik