

Kaji Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas, UMS Kukuhkan Siti Kasiyati sebagai Doktor
/ Surakartan
Keterbatasan para penyandang disabilitas ternyata berhadapan dengan perlindungan hukum yang juga terbatas.
PABELAN, Kartasura | Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia terbilang besar. Setidaknya 8,5 persen dari jumlah penduduk. Berbagai keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik bahkan dalam waktu yang lama serta sering kali menyulitkan interaksi mereka dengan lingkungan sekitar pada kenyataannya tidak selalu berbanding lurus dengan perlindungan hukum.
“Sebagai negara hukum, negara seharusnya mampu menjamin perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas. Namun ternyata, penyandang disabilitas sering kali tidak mendapatkan haknya tersebut, akibat minimnya perhatian masyarakat dan pemerintah, terutama aparat penegak hukum,” papar Siti Kasiyati dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Selasa (3/9/2024).
Pada kesempatan itu, ia mempertahankan hasil studinya berjudul ‘Konsep Perlindungan Hukum terhadap Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum Berbasis Keadilan Transendental di Eks-Keresidenan Surakarta’.
Presentasi dibuka dengan penyajian data-data statistik seputar studi. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat, jumlah korban kekerasan perempuan dengan disabilitas pada 2019 mencapai 87 kasus.
Sementara menurut Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, jumah penyandang disabilitas dalam Unit Pelaksana Teknis Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan per 9 Februari 2021 sebanyak 346 orang.
Selanjutnya, data pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2021 mencatat, kasus kekerasan anak dengan disabilitas hingga 987 kasus.
Pada rentang tahun 2018-2019, Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia mencatat 15 kasus, lalu pada 2020-2021 sebanyak 37 Kasus, serta tahun 2022 sejumlah 27 kasus.
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (MHH PWA) Jawa Tengah tahun 2017-2019 menunjukkan angka 24 kasus dan di tahun 2020-2022 sejumlah 37 penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan.
“Dari berbagai kasus tersebut, kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Banyak kasus yang berhenti karena kurangnya bukti, tidak ada dukungan dari keluarga untuk melaporkan, terbatasnya pendanaan, lamanya proses peradilan, serta belum terpenuhinya akomodasi yang layak dalam proses peradilan,” ujar Ketua MHH PWA Jawa Tengah Periode 2017-2022 tersebut.
Menurutnya, khusus bagi para penyandang disabilitas korban kekerasan seksual, persoalan yang dihadapi untuk mendapatkan keadilan di hadapan hukum adalah trauma, sehingga sulit memberikan keterangan pada saat penyelidikan dan penyidikan.
Penyandang Disabilitas korban kekerasan seksual juga mengalami kesulitan dalam pemenuhan akses keadilan, antara lain sarana fasilitas, pelayanan, dan hukum acara di semua proses peradilan. Kesulitan lainnya adalah minimnya dukungan keluarga, masyarakat dan negara.
“Pemulihan pasca-kasus belum ada perhatian yang khusus, baik oleh negara maupun oleh masyarakat, sehingga banyak sekali korban menjadi korban lagi,” jelas Siti.
Penegakan Hukum Butuh Kecerdasan Spiritual
Lebih dalam, Siti Kasiyati mengungkapkan bahwa undang-undang yang seharusnya mengamanatkan pemenuhan hak penyandang disabilitas, tidak melihat ragam disabilitas. Akibatnya, banyak penegak hukum yang tidak melihat ragam tersebut dalam menangani kasus hukum yang melibatkan penyandang disabilitas, sehingga kurang tepat dalam merumuskan masalah yang terjadi.
“Maka ketika menjadi pelaku tindak pidana, penyandang disabilitas sering kali tidak memperoleh haknya. Sedangkan ketika penyandang disabilitas menjadi saksi dalam persidangan, sangat sulit didengar kesaksiannya, karena dianggap tidak cakap, dan tidak memenuhi kriteria saksi. Ketika menjadi korban kekerasan, keluarganya tidak melaporkannya kepada pihak berwajib. Kalau pun kasus kekerasan terhadap disabilitas dilaporkan, proses pidananya berhenti di tingkat penyelidikan. Bahkan ketika sudah pada proses penyidikan, sering kali kasusnya dihentikan karena tes DNA-nya tidak identik. Ada pula kasus yang tidak dilaporkan bahkan didamaikan pihak desa, sehingga korban menjadi korban tindak pidana berulang,” paparnya.
Siti kemudian menawarkan konsep paradigma keadilan transendental yang dapat memberikan masukan kepada negara atau pemerintah, aparat penegak hukum, serta masyarakat agar penyandang disabilitas mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Betapa penting kecerdasan spiritual, etika, dan keutamaan jiwa dalam proses penegakan hukum.
“Konsep ini mengandung pengertian, keadilan adalah perintah Allah kepada seluruh umat manusia. Diperlukan pergeseran maqashidus syari’ah dalam konsep maslahah. Selain itu, pentingnya kecerdasan spiritual etika dan keutamaan jiwa bagi para penegak hukum, pendamping disabilitas, dan pendamping hukum. Sarana pendukung dalam implementasinya juga penting,” tutup dosen UIN RM Said Surakarta tersebut.
Editor: Rahma Frida