

The Royal Kartasura Culture sebagai Regency Branding Sukoharjo
/ Bisnis
Destinasi, sejarah, dan rasa memiliki warga adalah tiga komponen utama ‘penjaga’ Keraton Kartasura.
Arif Giyanto
Chairman Surakarta Daily
Memotret Keraton Kartasura dalam angle kekinian yang telah kompleks, ternyata gampang-gampang susah. Gampang, karena secara bukti, meski dengan banyak keterbatasan, bekas Keraton Kartasura masihlah ada. Susah, karena Keraton Kartasura kini sekadar salah satu cagar budaya Surakartan yang pamornya tak segemerlap Keraton Kasunanan, Ngayogyakarta, Mangkunegaran, atau Pakualaman.
Namun, lebih dari semua itu, partisipasi warga Kartasura sebagai pelestari Keraton adalah modal sosial terbesar. Rasa memiliki yang tidak selalu dikalkulasi untung dan rugi. Dedikasi yang tidak monoton tentang viral atau tidak sebuah aksi ditekuni. Visi kekartasuraan yang dibina sejak inisiatif membersihkan rumput di sekitaran Keraton dilakukan.
Bagus Sigit Setiawan, seorang pegiat komunitas Kartasura yang tekun, pada suatu ketika pernah bertutur kepada saya. Sekian waktu, ternyata warga Kartasura telah bersumbangsih pada perawatan Keraton Kartasura, dalam arti membersihkan dan menata bangunannya, hingga ke pemanfaatan publik dalam bentuk event-event menarik. Sebagai cagar budaya, diharapkan Keraton Kartasura dapat diakses semua kalangan warga, dengan tetap mempertahankan karakter asli bangunan.
Animo warga ternyata juga perihal kesejarahan. Bahwa Keraton Kartasura, sebagaimana adanya, dapat menjadi komoditas utama entitas apa pun yang terhubung, oleh sejarah juga oleh bisnis mutakhir, semisal pariwisata.
Dalam novel sejarah berjudul Bedah Kartasura, Kun Prastowo menggambarkan Kartasura abad ke-17 ketika masih eksis, hingga lahirnya Surakarta dan Yogyakarta. Pengisahan ulang yang jarang dilakukan tersebut memberi sudut pandang renyah tentang Kartasura yang menawan di masa lalu.
Poinnya, Keraton Kartasura tidak melulu tentang perang-perang tak terlupakan di masa lalu. Bahwa siapa yang paling bisa menyajikan narasi seputar kesejarahan Keraton Kartasura maka dialah ‘pemilik’ de facto eksistensi keraton yang kini secara administratif menjadi bagian dari Kecamatan dengan nama sama.
Destinasi, sejarah, dan rasa memiliki warga adalah tiga komponen utama ‘penjaga’ Keraton Kartasura. Ketiganya dapat diracik masif dengan sentuhan pemassalan, dengan benar-benar menjaga keaslian, dari semangat hingga bangunannya. Terlebih, Keraton Kartasura memang bak ‘permata’ yang meski terkubur jutaan kepentingan tetaplah mewah dan bersinar indah.
Basis Perekonomian Lokal
Selanjutnya, mari membincangkan Keraton Kartasura sebagai sejarah kearifan dan perannya sebagai basis ekonomi lokal.
Saya tertarik memunculkan istilah ‘the Royal Kartasura Culture’ untuk membangun branding Keraton Kartasura. Ada kesamaan istilah dengan the British Royal Family, misalnya. Kata ‘royal’ dapat bermakna khusus sebagai representasi kerajaan, raja, atau nasab penguasa. Sementara the Royal Kartasura Culture lebih merujuk pada Keraton Kartasura sebagai simbol budaya Mataraman.
Terlalu ngoyo, kah? Tidak juga. Karena, sejarah Kartasura tak mungkin terhapus oleh jejak buruk di masa silam. Begitu memang keadaannya.
Simbol budaya berarti kaya pranata dan mampu mengayomi banyak pihak dengan pranatanya tersebut. Masyarakat berbudaya adalah embrio penting kreativitas, untuk selanjutnya, mewujud dalam bingkai kebijakan pemerintah seputar ekonomi dan politik. Ya, kesejahteraan ujung semua ini. Kesejahteraan yang dibangun dari pranata budaya penuh keadaban dan peka zaman.
Dalam konteks regency branding, misalnya. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dapat mengandalkan Keraton Kartasura sebagai jati diri. Perihal ikon pemersatu, sebab memiliki sejarah luar biasa yang dapat terus dirawat dan dilestarikan. Keraton Kartasura dapat memperkenalkan Kabupaten Sukoharjo hingga ke seluruh dunia.
Lebih lanjut, Keraton Kartasura dapat menjadi etalase komoditas lokal Kabupaten Sukoharjo, mulai pangan, kerajinan, hingga wisata. Bahwa untuk menarik pembeli, pintu masuknya bisa dikreasi dari pengenalan sejarah dan budaya peninggalan Keraton Kartasura. Bila demikian, Kabupaten Sukoharjo dapat ‘bertanding’ secara budaya dengan Kasunanan yang secara administratif ada di wilayah Kota Surakarta atau Ngayogyakarta di Kota Yogyakarta.
Praktiknya, bisa jadi tak semudah dibayangkan. Tapi mengemukakan Keraton Kartasura sebagai beranda Kabupaten Sukoharjo tentu saja dapat direalisasikan. Mulai dari pembangunan website keraton sampai penyelenggaraan event untuk mendorong terjadinya transaksi. Karena memang begitu cara ekonomi tumbuh dan bergerak.
Welcome to the Royal Kartasura Culture.