

Kauman, Kampung Edukasi Pemberdaya Ekonomi
/ Bisnis
M. Ghaniey Al Rasyid
Founder Laweyan Library
Penyebutan nama Kauman identik dengan sebuah daerah yang berdekatan dengan masjid. Konon, Kauman berasal dari frasa ‘kaum imam’ yang berarti ‘pengikut’ dan ‘beberapa kelompok yang beragama Islam’. Kauman banyak kita temukan di beberapa daerah.
Di Kota Solo, kita dapat menemukan Kauman, bagian dari Kecamatan Pasar Kliwon. Tepatnya di sebelah barat kraton, tidak jauh dari Masjid Agung Kraton Kota Surakarta.
Konon dahulu, Kauman dihuni oleh santri yang diberi ruang istimewa oleh pihak kraton untuk menyampaikan (tabligh) agama Islam. Ketika itu, Kota Solo adalah sebuah megapolitan, dengan karya tulis dan literasi yang sangat kuat dan besar. Namun sayangnya, banyak yang kini tinggal romantisme bahwa Kota Bengawan mempunyai kekuatan secara moral dan historis yang besar.
Bagi para pengunjung konstruksi rumah warga di sana tampak menarik. Kebanyakan rumah menghadap ke selatan dan ke utara dengan tembok besar yang terlihat membentengi. Beberapa pakar berpandangan, konstruksi bangunan di Kauman mempunyai kemungkinan daya tarik bagi sektor pariwisata.
Kauman merupakan salah satu produsen batik besar di Indonesia. Pada awal abad ke-20, Kota Solo dikenal memiliki keunggulan komparatif unggulan, karena komoditas batik produksi Kauman. Corak produksi Batik Kauman sampai sekarang tetap gemilang dan menjadi daya tarik tersendiri. Sebuah kekhasan dan kualitas batik Kota Solo yang tidak bisa dianggap remeh.
Dalam rentang seabad, batik telah melebur dan digiati oleh warga Kauman sebagai penopang perekonomian mereka. Jalinan sistem perdagangan yang sudah jelas dan permintaan batik yang tinggi, memantik para pebisnis batik untuk berproduksi lebih banyak guna menyeimbangkan permintaan pasar.
Budaya Ekonomi
Pada 2015, Bandung Fe Institute merilis studinya tentang corak batik di Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang berjumlah 5.849, termasuk Batik Kauman. Sebutan ‘Indonesia kaya akan budaya’ memang tak salah dinobatkan pada bangsa ini.
Menariknya dari batik, karena zaman yang terus berubah, apakah batik harus disesuaikan dengan kondisi hari ini? Bagaimana dengan coraknya? Bagaimana strategi taktis ekonominya?
Batik telah menjadi sebuah produk ekonomi yang bernilai estetis tinggi. Bahkan nilai jual batik terkadang tidak selalu berdasar pada kalkulasi produksinya. Namun, pada kenyataannya, bisnis batik mulai cenderung mengarah pada produksi massal yang terbilang berharga lebih murah dibandingkan dengan batik asli lukis tangan (canthing).
Terlebih, sejak lahirnya Artificial Intelligence (AI) yang begitu masif diterapkan di berbagai sektor sungguh membuat bimbang para produsen batik tradisional, karena takut tergusur oleh teknologi. Dalam hal ini, sisi lemah teknologi perlu dikaji, misalnya pada kadar nilai estetika murni dari tangan gemulai para pembatik.
Mengutip David Landes, seorang ekonom Universitas Harvard, tingkat perkembangan atau pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh kondisi kebudayaan berupa etos kerja. Ketika etos kerja telah menjadi bagian dari kebudayaan, penghargaan masyarakat akan mengarah pada Batik Kauman sebagai hasil kebudayaan.
Membatik memiliki beberapa tahapan seperti melukis atau cap, mewarnai, mencelup, dan mengeringkannya. Perlu ada penyampaian atau pun kesadaran bersama untuk mencoba dan melakukan praktik langsung pembuatan batik; men-canthing.
Jumlah para penerus yang memiliki talenta unggul dalam membatik, sangatlah sedikit. Problem ini dapat menjadi sebuah malapetaka, ketika tingkat ketertarikan individu untuk berkontribusi dalam pembuatan batik terus berkurang.
Apabila upaya untuk melanjutkan tradisi batik semakin memudar, kemungkinan untuk mempertahankan dan menciptakan kemajuan seperti yang disampaikan Landes akan jauh dari kata sempurna.
Peranan pendidikan harus bisa dikolaborasikan dengan perihal aplikatif seni seperti ini. Pendidikan bukan lagi tentang pencapaian untuk mendapatkan nilai sempurna, dengan menyabet seluruh mata pelajaran bernilai A. Harus ada sebuah pencerdasan bahwa aspek keahlian penting untuk dimiliki peserta didik, termasuk penguatan keahlian membatik.
Pendekatan praksis dapat memberikan stimulan bagi para siswa untuk bisa menekuni bidang melukis batik. Etos kerja diartikan sebagai daya dobrak individu atau kelompok untuk progresif serta menambah jam kerja untuk meningkatkan daya tawar dalam menciptakan sebuah produk tertentu.
Problem atas terimpitnya produk kebudayaan murni pada suatu wilayah bukanlah pembahasan yang usang. Pasalnya, hari ini kebudayaan terus dicecar dan ditekan dengan persaingan kebudayaan luar yang mempunyai pengaruh terhadap tersingkirnya budaya asli bangsa ini.
Etos untuk berbudaya sesuai dengan daerah tertentu lama-kelamaan akan mengalami kehilangan jati diri apabila tidak dibentengi dengan pencerdasan untuk melek berbudaya. Pendidikan, dengan melibatkan tenaga pengajar dan pelajar dapat bahu-membahu untuk mencerdaskan dan menarik pionir-pionir baru, kemudian melahirkan masyarakat yang melek budaya.
Modal Sosial
Kasus importir gelap batik dari negara lain menjadi bukti konkret tentang persaingan pasar yang sekarang begitu kuat. Kondisi global dengan sistem terbuka dan cenderung bebas memaksa kita untuk belajar dan memperbaiki karakter kita.
Francis Fukuyama dalam karyanya berjudul Trust; The Social Virtues of Prosperity memberikan gambaran menarik tentang pola dan strategi warga negara maju untuk memperkuat perekonomian mereka dengan penguatan kelompok.
Fukuyama memberikan contoh dan gambaran beberapa negara, seperti Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, dan Italia, dalam melakukan penguatan capital tidak hanya dinilai sebagai pengertian kuantitatif. Fukuyama menekankan pentingnya kepercayaan sosial (social capital) sebagai turbin penggerak perekonomian dengan melahirkan jaringan-jaringan kuat untuk penguatan perekonomian.
Untuk mendapatkan kepercayaan sosial dibutuhkan garis konsensus dalam membangun relasi sosial. Penguatan lembaga bersama secara resmi atau hanya ikatan kekeluargaan menjadi sebuah fondasi dalam perekonomian.
Sudah tidak saatnya lagi untuk ‘pukul sana dan pukul sini’ demi kepentingan pribadi semata. Pada tataran lebih kolektif, mari membangun sebuah gerakan peningkatan perekonomian yang sinergis. Fukuyama menekankan peranan kebudayaan sangat dibutuhkan untuk membangun kepercayaan itu.
Sejarah mencatat, pada 1912, Sarekat Dagang Islam lahir di Kota Solo. Sebuah prototipe menarik tentang kekuatan kepercayaan sosial pada waktu itu. Prototipe untuk mengembangkan perekonomian vis a vis produk luar. Dan mereka pun berhasil.