

Mengkhawatirkan IKN sebagai ‘Kota Hantu’
/ Bisnis
Berbagai kejanggalan terlihat dan semakin memunculkan kekhawatiran tentang IKN yang gagal.
Nurkhamid Alfi
Konsultan Bisnis. Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden hendak memasuki tema kedua, yakni ‘Ekonomi, Keuangan, Investasi, Pajak, Perdagangan, Pengelolaan APBN-APBD, Infrastruktur, dan Perkotaan’. Sebuah topik strategis yang tentu saja ditunggu khalayak, karena erat dengan hajat hidup orang banyak, bernama kemakmuran dan kesejahteraan.
Tersebutlah para Capres, Anies-Bowo-Ganjar (ABG). Kini, tidak ada yang menyangkal. Salah satu dari mereka akan menjadi Presiden pada tahun 2024. Ketiganya tengah berkompetisi untuk ‘mengambil hati’ rakyat dengan bertarung gagasan tentang apa yang akan mereka lakukan, apabila diberi mandat oleh rakyat untuk memimpin.
Salah satu isu yang paling menarik diperdebatkan adalah keberlangsungan pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur (Kaltim). Mengapa isu ini menarik diperdebatkan?
Salah satu Capres, Anies Baswedan, enggan menjadikan IKN sebagai prioritas, walaupun tetap diakuinya sebagai program nasional yang dinaungi undang-undang. Hal itu dinyatakannya dalam debat Capres kali perdana beberapa waktu lalu.
Karena bukan prioritas, ujar Anies, akan dilanjutkan bila anggaran memungkinkan. APBN akan diprioritaskan pada kebutuhan dasar yang menunjang keunggulan komparatif. Misalnya, pembuatan pabrik pupuk sebagai pemenuhan subsidi masyarakat tani.
Sementara itu, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo berkomitmen untuk meneruskan IKN sebagai prioritas nasional. Nah, di sinilah menariknya isu ini.
Pemerintah yang berkuasa sekarang telah memasukkan pembangunan IKN bukan sebagai prioritas, tapi super-prioritas. Targetnya, pada tanggal 17 Agustus 2024, IKN harus siap diresmikan bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan.
“Harus jadi,” tegas Presiden Jokowi, meski dana investasi belum ada yang masuk dan harus mengambil pembiayaan dari APBN terlebih dahulu.
Tiga Kejanggalan
Apabila dirunut, ada kejanggalan-kejanggalan yang menyebabkan banyak pihak tidak yakin bahwa IKN akan berhasil. Pertama, penggunaan dana dari APBN untuk IKN sudah menyimpang dari rencana awal. Pada 2019, Jokowi mengatakan tidak akan memakai dana APBN. Artinya, 100 Persen akan dibiayai oleh swasta.
Jadi, semula direncanakan swasta akan berinvestasi melalui skema public private partnership, kemitraan pemerintah-swasta. Infrastruktur, gedung-gedung perkantoran, listrik, water city, dan sebagainya, dibangun oleh swasta. Nantinya pemerintah menandatangani kontrak sewa. Jadi, pemerintah hanya mengeluarkan operating expenses, bukan capital expenditure.
Kedua, pada tahun 2020, pemerintah menetapkan tiga wakil investor internasional menjadi Dewan Pengarah Pembangunan IKN, yakni Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan (Uni Emirat Arab), Masayoshi Son (CEO Softbank), dan Tony Blair (mantan Perdana Menteri Inggris). Bahkan katanya, UEA telah mencadangkan dana investasi US$ 20 miliar melalui fasilitas Sovereign Wealt Fund (SWF).
Ketiga, sesuai informasi Jokowi dalam jumpa pers, telah tercatat masuk sejumlah 30 investor dari Korea, 40 investor Jepang, 120 investor Singapura, dan sebagainya. Namun kenyataannya? Semua tidak terwujud.
Belakangan diketahui bahwa Softbank mundur dengan alasan kelayakan bisnis. Tidak feasible. Tidak layak dibiayai. Sementara Tony Blair tidak terdengar lagi perannya. Hal ini diakui sendiri oleh Jokowi bahwa belum ada investor luar negeri yang masuk.
Jokowi pun mengajak pengusaha nasional ke IKN. Beritanya bermacam-macam. Termasuk banyak yang tertarik untuk berinvestasi dan dalam waktu dekat akan dilaksanakan ground breaking. Benarkah para investor nasional itu tertarik? Saya yakin tidak tertarik. Paling-paling setelah ground breaking ditinggal begitu saja. Hanya untuk menyenangkan penguasa.
Mengapa sampai saat ini investor belum ada yang masuk untuk IKN? Bahkan mereka yang telah membuat komitmen pun mundur.
Semua tentu berkaitan dengan business feasibility study yang mereka lakukan bahwa investasi di IKN tidak feasible. Return of Investment (ROI) tidak bankable. Tidak balik modal. Investor mempunyai logika kelayakan usaha. Duit yang ditanam harus jadi duit lagi. Apalagi memakai pinjaman bank. Mana ada bank yang berani mendanai proyek yang tidak layak?
Baru saja ada berita yang sungguh menggelikan. Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono, berbicara tentang IKN yang akan dikembangkan sebagai Pusat Keuangan Internasional atau International Financial Center seperti Shenzhen di Tiongkok.
Untuk mewujudkan itu, Otorita IKN akan mengundang bank-bank bertaraf dunia untuk masuk ke IKN. Bagaimana bisa? Jakarta atau Kuala Lumpur saja tidak mampu menarik kantor-kantor perwakilan perusahaan finansial di Singapura. Apalagi IKN.
Bagaimana Bila IKN Gagal?
Pernyataan Anies pun menemui titik benarnya. IKN tidak lebih akan dihuni oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di kantor-kantor pemerintah. Anda bisa membayangkan, bagaimana mungkin gaji ASN diharapkan mampu menghidupkan dunia entertainment, mall, dan hotel? Jelas tidak mungkin.
Apabila benar akan diteruskan maka IKN akan menyusul sembilan negara yang gagal memindahkan ibu kota negara baru, yakni Malaysia, Myanmar, Equatorial Guinea, Australia, Montserrat, Korea Selatan, Tanzania, dan Bolivia.
Apabila IKN gagal, pihak yang akan menanggungnya, bukanlah para Capres itu, tetapi seluruh rakyat. Tekanan yang akan diterima, yakni APBN yang semakin berat. Konsekuensi dari semua itu adalah pos anggaran social security, bantuan sosial, dan sejenisnya yang akan dikurangi.
Anda harus paham jika harga-harga energi dan listrik serta bahan pokok yang sekarang sudah tinggi akan semakin tinggi, karena tidak ada tambahan subsidi. Sudah pasti, jika harga energi akan naik maka harga-harga lain akan naik, akibat cost push inflation. Apalagi harga pangan yang sangat rentan oleh spekulasi pasar.
Dampak yang paling parah adalah daya beli masyarakat yang melemah, terutama masyarakat golongan bawah, karena harga barang dan jasa yang naik.
Saya tentu menyaksikan sendiri di Malaysia, karena 14 tahun bekerja di Kuala Lumpur. Pusat pemerintahan baru Malaysia di Putrajaya sepi. Jumlah penduduk yang mendiaminya hanya 0,34 persen dari total populasi Malaysia.
Lebih mengenaskan lagi justru Myanmar. Ibukota Naypyitaw dijuluki ‘kota hantu’. Fasilitas pendidikan dan komersial tidak berkembang, karena keluarga ASN tidak sudi tinggal di kota baru itu. Jalanan sepi. Restoran dan lobi hotel kosong. Seperti gambaran menakutkan pada film David Lynch.
Kita memang patut khawatir atas semua itu. Pembangunan IKN pantas menjadi kekhawatiran rakyat bersama.