

Melindungi Pasar Tradisional
/ Bisnis
Pedagang pasar tradisional tak akan selamat bila berjuang sendirian.
Agus Widodo
Wakil Ketua Fraksi PKS. Anggota Komisi II DPRD Kota Surakarta. Alumnus Fakultas Teknik UMS.
Pasar tradisional di Kota Solo bukan sekadar tempat transaksi jual beli, melainkan juga menjadi urat nadi perekonomian rakyat kecil. Secara historis dan budaya, pasar tradisional memiliki nilai yang lebih dari ruang ekonomi. Pasar adalah pusat interaksi sosial, tempat terjalinnya hubungan erat antara penjual dan pembeli, serta wadah pelestarian budaya tawar-menawar yang khas. Di pasar, nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas ekonomi lokal terus hidup dari generasi ke generasi.
Namun, denyut kehidupan pasar ini semakin melemah akibat kenaikan harga bahan pokok, penurunan daya beli masyarakat, serta ketidakpastian rantai pasok. Modernisasi dan perubahan pola konsumsi turut mempercepat pergeseran ini. Masyarakat kini cenderung beralih ke ritel modern dan e-commerce yang menawarkan kenyamanan serta stabilitas harga.
Situasi sulit tersebut membuat para pedagang semakin terimpit, berjuang keras untuk tetap bertahan di tengah persaingan yang kian ketat. Jika kondisi itu terus berlanjut tanpa intervensi yang tepat, pasar tradisional yang sekian lama menjadi tulang punggung ekonomi rakyat berisiko kehilangan daya saingnya.
Akibatnya, tidak hanya aspek ekonomi yang terdampak, tetapi juga warisan budaya dan nilai-nilai sosial yang telah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat Solo perlahan bisa memudar.
Harga bahan pokok terus mengalami kenaikan. Beras, gula, minyak goreng, dan bawang putih mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Harga cabai merah pun naik drastis, menambah beban para pedagang dan konsumen.
Menjelang Ramadhan dan Lebaran, kenaikan harga semakin terasa akibat meningkatnya permintaan yang tidak sebanding dengan pasokan. Akibatnya, banyak pedagang kesulitan menjaga stabilitas usaha, sementara masyarakat terpaksa mengurangi konsumsi atau mencari alternatif yang lebih terjangkau.
Lonjakan harga ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Faktor global, seperti resesi ekonomi dan pelemahan nilai tukar rupiah, turut memperburuk keadaan. Di tingkat lokal, gangguan rantai pasok akibat cuaca ekstrem, gagal panen, serta kebijakan impor yang tidak konsisten memperparah situasi. Tanpa langkah konkret dari pemerintah, kondisi itu akan terus berulang dan semakin menyulitkan pedagang kecil.
Pedagang pasar juga dihadapkan pada dilema berat. Jika mereka menaikkan harga, pelanggan bisa lari ke ritel modern atau platform online yang lebih kompetitif. Jika mereka menahan harga, keuntungan yang semakin tipis membuat mereka kesulitan menutup biaya operasional, seperti sewa kios, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari.
Keterlambatan distribusi dan permainan spekulan yang menimbun stok demi menaikkan harga semakin membuat pedagang kesulitan. Omzet harian mereka turun drastis karena pelanggan yang biasanya membeli dalam jumlah besar, kini lebih selektif atau bahkan menunda pembelian.
Tak hanya itu, banyak pasar tradisional di Solo yang mulai kehilangan pelanggan tetapnya. Beberapa kios yang dulu ramai, kini sepi. Pembeli yang dulu loyal, beralih ke toko modern atau belanja online yang menawarkan kenyamanan lebih. Pedagang yang dulunya bisa menjual dagangannya laris dalam sehari, sekarang harus menunggu beberapa hari agar barangnya laku.
Kesulitan ekonomi bukan hanya berdampak pada angka penjualan, melainkan juga kondisi mental para pedagang. Banyak dari mereka merasa putus asa dan cemas terhadap masa depan usaha mereka. Beberapanya bahkan mempertimbangkan untuk menutup lapak dan mencari pekerjaan lain yang lebih menjamin penghasilan.
Jika ini dibiarkan terus berlanjut, bukan hanya pasar akan menjadi sepi, melainkan akan terjadi pula gelombang pengangguran baru yang semakin menambah beban ekonomi Kota Solo.
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Sebagai Anggota dari Komisi II DPRD Kota Surakarta yang membidangi perekonomian, sudah seyogianya saya mengambil langkah konkret dalam melindungi pedagang pasar tradisional dan menstabilkan harga bahan pokok. Tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme pasar. Diperlukan intervensi strategis untuk memastikan pedagang kecil tidak semakin terhimpit.
Operasi pasar dapat membantu stabilitas harga, tetapi sifatnya hanya sementara dan belum menjadi solusi jangka panjang bagi pedagang pasar tradisional.
Salah satu solusi yang bisa diperjuangkan adalah penguatan regulasi untuk mencegah spekulasi harga. Selama ini, lonjakan harga sering kali dipicu oleh permainan tengkulak yang menimbun barang saat pasokan terbatas dan menjualnya dengan harga tinggi.
Diperlukan langkah pengawasan yang lebih tegas dan optimal terhadap distribusi dan stok barang untuk mencegah pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara tidak adil di tengah kesulitan masyarakat.
Optimalisasi distribusi dan transparansi informasi harga juga diperlukan guna memastikan jalur distribusi dari hulu ke hilir berjalan lancar serta menyediakan data harga yang mudah diakses oleh pedagang dan konsumen. Dengan begitu, tidak ada lagi praktik manipulasi harga yang merugikan pihak tertentu.
Selain itu, subsidi khusus bagi pedagang kecil juga perlu menjadi perhatian. Selama ini, subsidi hanya menyentuh produsen atau konsumen, sementara pedagang pasar justru tercekik. Dengan adanya subsidi atau insentif, pedagang bisa tetap menjual dengan harga terjangkau tanpa mengorbankan keuntungan mereka secara drastis.
Subsidi sewa kios, bantuan transportasi, kredit mikro berbunga rendah, serta pengurangan retribusi dapat membantu pedagang kecil bertahan tanpa harus menaikkan harga secara drastis. Walau tidak semudah itu, kebijakan subsidi biasanya melibatkan mekanisme anggaran yang kompleks dan koordinasi lintas sektor agar tepat sasaran.
Agar subsidi dan insentif benar-benar efektif, keterlibatan pedagang dalam perumusan kebijakan menjadi krusial. Kritik dan aspirasi mereka pun perlu didengar serta ditindaklanjuti. Seperti yang mereka sampaikan dalam audiensi antara Pasamuan Pasar Tradisional Kota Surakarta (Papatsuta) dengan Komisi II DPRD Kota Surakarta pada 6 Maret 2025 lalu.
Kritik Perda SHP
Dalam pertemuan yang berlangsung di Ruang Rapat Badan Anggaran, perwakilan pedagang menyuarakan kekhawatiran mereka terkait Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pengelolaan dan Pemberdayaan Pasar Rakyat.
Salah satu poin utama yang dikritisi adalah terkait Surat Hak Penempatan (SHP) yang menurut mereka tidak bisa direkomendasikan. Sebagai anggota Komisi II DPRD Kota Surakarta, saya menjelaskan bahwa meskipun pasal terkait tidak secara eksplisit mencantumkan hak waris, akan ada aturan turunan berupa Peraturan Wali Kota (Perwali) yang mengatur mekanisme rekomendasi bagi pedagang baru saat SHP berakhir.
Papatsuta juga menyampaikan keberatan mereka terhadap kenaikan biaya yang diterapkan dalam aturan baru. Mereka berharap adanya kebijakan keringanan agar pedagang tetap bisa bertahan. Selain itu, mereka menekankan pentingnya komunikasi yang lebih intensif antara pemerintah dan pedagang agar kebijakan yang dibuat benar-benar mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Saya menegaskan bahwa pertemuan ini bukanlah yang terakhir. Ke depan, akan ada audiensi lanjutan untuk memastikan bahwa setiap masukan dari pedagang dapat ditindaklanjuti. Komisi II DPRD juga berencana untuk turun langsung ke lapangan guna mengetahui akar permasalahan yang terjadi serta memberikan pendampingan agar pasar tradisional bisa berkembang.
Surat Hak Penempatan (SHP) merupakan dokumen yang memberikan hak kepada pedagang untuk menempati dan menggunakan fasilitas di pasar tradisional.
Namun, sistem ini kerap dikritik karena dianggap tidak memberikan kepastian jangka panjang bagi pedagang dan membatasi fleksibilitas mereka dalam berusaha. Dalam beberapa kasus, SHP juga tidak dapat dialihkan atau direkomendasikan kepada pihak lain, sehingga menimbulkan persepsi pesimis di kalangan pedagang mengenai keberlanjutan usaha mereka.
Sebagai solusi, pemerintah daerah dapat mempertimbangkan penerapan Hak Pakai Jangka Panjang, seperti yang telah diterapkan di Yogyakarta dan Bandung.
Pedagang mendapatkan hak menempati kios atau lapak untuk jangka waktu tertentu, misalnya 10 hingga 15 tahun, dengan opsi perpanjangan otomatis selama mereka masih aktif berjualan dan mematuhi aturan pasar. Skema ini memberikan kepastian bagi pedagang tanpa menghambat regenerasi dan pembaruan tata kelola pasar.
Alternatif lain adalah mengganti sistem SHP dengan skema sewa kios berbasis kontrak yang lebih adil dan transparan.
Kota Surabaya telah menerapkan sistem ini dengan memastikan pedagang lama mendapatkan prioritas utama dalam perpanjangan kontrak tanpa harus bersaing dengan pedagang baru yang memiliki modal lebih besar. Dengan sistem ini, pemerintah tetap dapat mengelola aset pasar dengan baik, sementara pedagang mendapatkan perlindungan agar tidak kehilangan tempat berdagang secara tiba-tiba.
Selain itu, transparansi dalam pengelolaan hak kios harus ditingkatkan melalui digitalisasi administrasi.
Kota Semarang, misalnya, telah menerapkan sistem digital dalam pengelolaan pasar tradisionalnya, memungkinkan setiap pedagang memiliki akun daring untuk mengecek status kontrak kios mereka. Dengan sistem ini, potensi pungutan liar dan ketidakjelasan prosedur perpanjangan dapat dikurangi secara signifikan.
Langkah penting lainnya adalah membentuk Forum Komunikasi Pedagang Pasar untuk menjembatani komunikasi antara pedagang dan pemerintah.
Di Makassar, forum semacam ini terbukti efektif dalam membangun sinergi antara berbagai pemangku kepentingan pasar, sehingga kebijakan yang diterapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan di lapangan. Adanya forum juga berperan dalam mencegah konflik horizontal di antara pedagang dan pemerintah.
Dengan mengadopsi langkah-langkah ini, pemerintah daerah dapat menciptakan kebijakan pasar yang lebih fleksibel, inklusif, dan berkelanjutan. Reformasi sistem SHP yang mempertimbangkan praktik terbaik dari berbagai daerah akan memberikan kepastian hukum bagi pedagang sekaligus memastikan pengelolaan pasar yang lebih transparan dan berpihak pada ekonomi rakyat.
Jangan Biarkan Pedagang Kecil Berjuang Sendirian
Kenaikan harga bahan pokok bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan juga pukulan nyata bagi pedagang kecil dan masyarakat luas.
Pemerintah dan DPRD harus bergerak cepat dalam mencari solusi konkret. Pengawasan harga yang lebih ketat, distribusi yang lebih transparan, serta dukungan kebijakan yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh pedagang dan konsumen adalah langkah yang perlu disegerakan.
Masyarakat juga seyogianya memilih berbelanja di pasar tradisional untuk menjaga roda perekonomian rakyat kecil agar tetap berputar. Kita harus aktif mengawal kebijakan publik agar lebih berpihak pada kepentingan bersama, bukan hanya menguntungkan segelintir pihak. Jangan biarkan pedagang kecil berjuang sendirian. Mereka butuh perlindungan, dan kita semua harus ikut serta dalam memperjuangkannya.
Revitalisasi pasar tradisional juga perlu dilakukan agar tetap kompetitif dengan ritel modern. Fasilitas yang lebih baik, sistem pengelolaan yang profesional, serta dukungan teknologi dalam transaksi dapat membuat pasar tradisional lebih menarik bagi pembeli.
Tak ayal, kehadiran pemerintah daerah dan DPRD dalam mendorong modernisasi pasar tanpa menghilangkan esensi tradisionalnya menjadi penting. Digitalisasi transaksi, seperti penerapan pembayaran elektronik dan sistem informasi harga berbasis aplikasi, bisa menjadi solusi agar pasar tradisional tidak tertinggal dalam arus digitalisasi ekonomi.
Editor: Rahma Frida