Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat kuliah umum peringatan Dies Natalis ke-71 Universitas Airlangga, Senin (10/11/2025). (Kemenkeu)
Bila Redenominasi Bukan Sekadar Merapikan Angka : Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat kuliah umum peringatan Dies Natalis ke-71 Universitas Airlangga, Senin (10/11/2025). (Kemenkeu)
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat kuliah umum peringatan Dies Natalis ke-71 Universitas Airlangga, Senin (10/11/2025). (Kemenkeu)

Bila Redenominasi Bukan Sekadar Merapikan Angka

Angka bisa dipangkas, tapi kepercayaan tidak bisa diedit.


M. Farid Wajdi
Guru Besar Ilmu Manajemen UMS
Direktur Pascasarjana UMS

 

Isu redenominasi Rupiah saat ini kembali muncul. Teknisnya, memangkas tiga nol di belakang harga. Misalnya, Rp10.000 menjadi Rp10. Pemerintah menyebutnya demi efisiensi transaksi, modernisasi sistem keuangan, dan citra ekonomi.

Tetapi, publik wajar bila bertanya. Apakah kebijakan tersebut sekadar mengganti tampilan angka, atau negara sedang berusaha mengubah persepsi stabilitas ekonomi? Karena, seperti sebelumnya, hal ini biasa terjadi. Contoh, harga pangan masih saja mudah melonjak, tanpa penjelasan yang cukup. Masyarakat pun sulit percaya bahwa kebijakan pemotongan nol akan membuat hidup lebih ringan.

Sebenarnya, publik lebih siap menempuh redenominasi daripada pemerintah. Alasan ‘mempermudah penulisan angka’ sebetulnya bukan hal baru. Rakyat Indonesia sudah menyederhanakan angka-angka transaksi, jauh sebelum rencana redenominasi.

Bahkan di ritel dan mal modern sudah terbiasa  mencantumkan harga Rp10.000 yang ditulis ‘10K’, atau baju diskon Rp75.000 ditulis ‘75K’, atau menu restoran, tenant food court, hingga counter accessories memakai format ‘K’ sejak bertahun-tahun lalu.

Artinya, konsumen telah terbiasa. Pedagang pun merasa nyaman. Para kasir, catatan toko, dan pekerja ritel tidak kebingungan. Masyarakat sudah menyesuaikan diri tanpa harus terlebih dahulu menunggu negara melakukan redenominasi. Jadi sebetulnya, publik justru bergerak lebih cepat daripada sistem keuangan pemerintah.

Lebih jauh, redenominasi jelas bukan sekadar tentang penghilangan angka nol. Publik bisa terkelirukan dengan sanering, yakni pemotongan nilai uang yang membuat tabungan rakyat tergerus.

Walaupun pemerintah telah menegaskan bahwa redenominasi tidak mengubah daya beli, pertanyaannya kini, bukan pada apa yang tertulis dalam undang-undang, tetapi apa yang akan bisa dipercaya rakyat. Angka bisa dipangkas, tapi kepercayaan tidak bisa diedit.

Selama masih terjadi kenaikan harga pangan dengan mudah, regulasi yang sering berubah mendadak, mafia dan kartel komoditas yang tidak pernah benar-benar dibereskan, kemudian inflasi yang hanya dijelaskan dengan alasan politis bukan dengan data maka masyarakat bisa curiga bahwa ‘memotong nol’ jangan-jangan pintu menuju kebijakan lain yang lebih merugikan.

Efek Psikologis yang Lebih Berbahaya

Soal redenominasi, mari belajar pada negara lain; siapa yang sukses dan siapa yang gagal. Turki, misalnya, berhasil menghilangkan 6 nol pada tahun 2005 setelah stabilisasi ekonomi. Korea Selatan mempertimbangkan redenominasi sebagai simbol modernisasi, bukan krisis. Zimbabwe, Venezuela, dan Argentina melakukan redenominasi saat inflasi kacau; nol hilang sebentar, lalu tumbuh lagi seperti jamur.

Dengan demikian jelas adanya bahwa redenominasi hanya berhasil jika ekonomi stabil dan publik percaya. Akhir-akhir ini, sepertinya Indonesia telah memenuhi hal itu.

Karena, efek psikologis redenominasi jauh lebih berbahaya dari efek ekonominya. Jika komunikasi buruk, redenominasi bisa menjadi kebijakan benar yang salah eksekusi.

Secara teori, redenominasi netral, misalnya Rp10.000 menjadi Rp10 lalu gaji Rp5.000.000 menjadi Rp5.000, tidak ada perubahan daya beli. Namun, psikologi pasar tidak sesederhana kalkulator. Pedagang bisa membulatkan harga ke atas, lalu konsumen panik. Para spekulan lalu melakukan aksi borong, memanfaatkan khalayak yang kebingungan.

Jadi, apa intinya? Redenominasi sebenarnya bukan soal kesiapan rakyat. Sebab, rakyat sudah hidup dengan ‘10K’ sejak lama. Justru negara yang harus membuktikan kesiapannya, entah itu sistem pembayaran, perbankan, pencatatan keuangan pemerintah, koordinasi Bank Indonesia, kinerja kementerian, dan pasar.

Publik tidak antipati pada redenominasi. Publik harus diyakinkan bahwa stabilitas ekonomi benar-benar kuat, bukan hanya kuat saat konferensi pers. Karena di dunia ritel, restoran, mal, dan pasar modern, angka dengan nol panjang sudah lama ringkas menjadi ‘K’. Rakyat sebenarnya sudah menata angkanya. Sekarang giliran negara menata tren kepercayaan yang sejak hadirnya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah mulai membaik.

Redenominasi tanpa reformasi ekonomi hanyalah kosmetik. Sementara redenominasi dengan transparansi dan tata kelola yang kuat bisa menjadi simbol kedewasaan ekonomi.

Editor: Arif Giyanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik