Kantor Kejaksaan Agung dipotret malam hari. (Kejagung)
‘Gunung Es’ Kasus Jual Beli Aset Tanah Negara : Kantor Kejaksaan Agung dipotret malam hari. (Kejagung)
Kantor Kejaksaan Agung dipotret malam hari. (Kejagung)

‘Gunung Es’ Kasus Jual Beli Aset Tanah Negara

Kinerja kejaksaan dalam menyidik kasus jual beli aset tanah negara layak diapresiasi.


Saleh Hidayat
Praktisi hukum. Alumnus Universitas Sebelas Maret.
Penulis buku Menjadi Sukabumi.

 

Belum lama, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara telah berhasil mengungkap kasus penjualan aset PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I regional 1. Kejati Sumut menyita uang tunai sebesar Rp150 miliar. Sebuah angka yang begitu fantastis.

Selanjutnya, telah ditetapkan pula tiga orang tersangka, yakni mantan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara masa tugas 2022-2024, dan mantan Kepala BPN Deli Serdang periode 2023-2025, serta Direktur PT Nusa Dua Propertindo (NDP) yang mengajukan permohonan perubahan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB).

Keberanian tim penyidik Kejaksaan tinggi Sumatera Utara patut diapresiasi. Namun, terbongkarnya kasus penjualan aset PTPN I hanyalah sebuah fenomena gunung es. Artinya, pengungkapan kasus terbatas pada hal-hal yang tampak di permukaan. Publik menunggu langkah-langkah setelahnya agar tuntas mengungkap persoalan ini hingga ke akar-akarnya.

Mengapa demikian? Karena, kasus jual beli aset tanah negara tentu saja melibatkan oknum pejabat dan mafia tanah hingga ke daerah. Kongkalikong terstruktur demi kepentingan segelintir orang serupa itu hanya dapat dihentikan oleh para pemegang otoritas, termasuk lembaga kejaksaan.

Umumnya, modus operandinya bermula dengan manipulasi dokumen, berlanjut pada penggelapan aset, suap dan kolusi, pembelian aset negara dengan harga rendah. Semua itu dijalankan penuh ketelitian dan kecermatan khusus. Dengan begitu, tujuan dapat tercapai.

Maksud dari manipulasi dokumen adalah memalsukan dokumen untuk merekayasa transaksi agar terlihat legal. Contohnya, dengan memalsukan akta atau surat-surat berharga lain. Sementara penggelapan aset negara berarti ada oknum yang tidak memiliki hak atas tanah namun tetap menjualnya.

Lebih lanjut, suap dan kolusi terjadi dalam rupa kerja sama ilegal antara oknum pejabat dan pihak swasta untuk mempermudah transaksi ilegal. Praktik ini sering kali melibatkan pejabat BPN. Terakhir, pembelian aset pemerintah dengan harga rendah. Para pelaku membeli aset negara di bawah nilai pasar yang wajar, kemudian kembali mengajukan aset tersebut menjadi aset pribadi, setelah melewati proses hukum.

Apa langkah penegakan hukumnya? Pertama, sanksi pidana. Pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal korupsi dan pidana, contohnya Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang perbuatan yang menyebabkan kerugian negara, juga pasal-pasal lain terkait penggelapan aset dan penyerobotan tanah. Kedua, pemulihan aset. Upaya penegakan hukum tidak sebatas menghukum pelaku, tetapi juga bertujuan untuk memulihkan kerugian negara dengan menyita aset atau uang hasil korupsi.

Fenomena Gunung Es

‘Gunung es’ adalah frasa metafora yang paling representatif dalam menggambarkan fenomena kasus jual beli aset tanah negara. Artinya, kasus yang terungkap di permukaan hanyalah sebagian kecil dari praktik ilegal yang jauh lebih besar dan terorganisasi. Bila ditelisik lebih jauh, terdapat jaringan mafia tanah yang kompleks, berikut pelibatan oknum pejabat, aparat penegak hukum, dan pihak swasta.

Pada dasarnya, kasus jual beli aset tanah negara bukan semata tindakan individual, tetapi kejahatan sistematis-terorganisasi. Kejahatan yang membutuhkan komitmen dan aksi menyeluruh dari pemerintah untuk membongkar jaringannya.

Kasus-kasus yang telah diungkap hanya sebagian kecil dari total kasus jual beli aset negara ilegal yang terjadi di seluruh Indonesia. Kasus-kasus itu masih tersembunyi dengan rapi. Belum lagi kerugian negara akibat praktik kejahatan ini. Nilai kerugian negara yang dihitung dalam sebuah kasus biasanya jauh lebih kecil dibandingkan total kerugian akibat praktik korupsi yang terorganisasi.

Saking meluasnya keterlibatan, jaringan mafia tanah dan oknum pejabat yang terlibat juga sering kali sulit diungkap secara keseluruhan. Untuk itu, dibutuhkan penanganan ekstra yang berani berikut bulatnya tekad.

Namun, kejahatan tetap kejahatan. Sayangnya, kejahatan yang terorganisasi jelas dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi. Jadi, jangan ragu untuk bersatu, mengalahkan kejahatan, apa pun rupa dan kekuatannya.

Editor: Arif Giyanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik