Forkopimda Boyolali bertemu dengan mahasiswa yang menggelar aksi di depan Kantor DPRD Boyolali, Kamis (4/9/2025). (Set HMI Boyolali)
Uji Aji Boyolali : Forkopimda Boyolali bertemu dengan mahasiswa yang menggelar aksi di depan Kantor DPRD Boyolali, Kamis (4/9/2025). (Set HMI Boyolali)
Forkopimda Boyolali bertemu dengan mahasiswa yang menggelar aksi di depan Kantor DPRD Boyolali, Kamis (4/9/2025). (Set HMI Boyolali)

Uji Aji Boyolali

Aksi demonstrasi berujung kerusuhan yang melanda berbagai daerah ternyata tidak terjadi di Boyolali.


Nyuwardi
Komisioner KPU Kabupaten Boyolali

 

Indonesia masih berduka. Aksi demonstrasi di berbagai wilayah berujung kerusuhan. Tidak sedikit nyawa yang melayang. Sekian banyak fasilitas publik rusak oleh pelaku yang penuh kemarahan. Tak hanya itu, penjarahan terjadi di berbagai titik sebagai wujud reaksi massa yang tak lagi dapat dikendalikan.

Tapi, tidak demikian di Kabupaten Boyolali. Tercatat digelar aksi demonstrasi dengan tuntutan yang kurang lebih sama, tapi tak ada bentrok, apalagi kerusuhan dan penjarahan. Semua berjalan lancar. Para demonstran mengemukakan orasi dan aspirasinya, para pejabat setempat berdialog dengan bersahaja, kemudian massa bubar.

Mengapa fenomena Boyolali berbeda? Ada apa dengan warga Kota Susu? Apakah sekian lama mereka meyakini nilai-nilai tertentu yang bermuara pada ketertiban dan dialog antar-pihak yang tanpa sekat? Bagaimana cara mereka merawat harmoni dan keteraturan sosial itu? Bagaimana peran para pemimpin?

Menurut Ferry Irwandi, seorang kreator konten, kerusuhan dipicu oleh unggahan-unggahan akun-akun di media sosial. Pengguna media sosial jelas memiliki telepon pintar (smartphone). Sebagian orang bahkan memiliki beberapa gawai dan tak hanya berselancar maya dengan satu akun. Mereka terikat dalam ekosistem digital bertema Boyolali.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penduduk Boyolali berjumlah lebih dari sejuta orang. Bila diperluas menjadi entitas Boyolali, angka itu bisa bertambah besar. Misalnya, warga Boyolali tapi merantau, atau bukan warga Boyolali tapi tinggal di Boyolali. Tidak ada data tentang pengguna gawai di Boyolali atau pemilik akun berbasis Boyolali. Namun, dari angka ini dapat ditaksir, setidaknya ratusan ribu warga Boyolali bermedia sosial.

Jadi rasanya tidak mungkin, warga Boyolali abai pada perkembangan situasi mutakhir. Mereka terus mengakses, mengolah, dan menggandakannya, tapi tidak bermuara pada hasutan untuk rusuh. Ada semacam batas kesadaran yang terus terjaga untuk tetap menjaga tanah kelahiran tercinta dari segala ancaman kerusakan.

Atau pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menilai kerusuhan telah mengarah pada tindakan makar dan terorisme. Kedua tindakan itu tak tampak di Boyolali. Makar dapat diartikan sebagai usaha untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Sementara terorisme merujuk pada ancaman dan tindakan kekerasan yang dilakukan sengaja dan terencana untuk menciptakan ketakutan luas demi tujuan tertentu.

Amuk massa yang umumnya lahir dari kemarahan dan ketidakpercayaan pada rezim yang berkuasa dengan merusak simbol-simbol kekuasaan, seperti kantor-kantor pemerintah dan fasilitas umum, tidak terjadi di Kabupaten Boyolali. Amuk yang berubah menjadi aksi penjarahan pun tidak terdengar di Boyolali.

Misal pun benar bila ada friksi di internal elite lantas berdampak luas hingga terjadi kerusuhan, Boyolali terkesan tidak memiliki relasi langsung. Artinya, friksi itu tidak ditemukan di Boyolali. Gegap gempita kerusuhan yang diembuskan tangan-tangan tak berhati demi kepentingan segelintir orang, sekali lagi, tidak terlihat di Boyolali.

Ajining Diri Saka Lathi

Semua tahu, kemarahan publik salah satunya disulut ucapan-ucapan yang tak pantas dari beberapa politisi. Ucapan yang sebenarnya mewakili kualifikasi diri mereka sendiri. Padahal, penghargaan orang kepadanya begitu tergantung dari apa-apa yang ia ucapkan. Ungkapan bijak Jawa menyebutnya ‘Ajining Diri Saka Lathi’.

Ketika publik marah dengan perilaku elite yang tidak menjaga ucapannya, Boyolali tampil tegak berdiri dalam posisi netral. Sebab, di sini, ucapan para pemimpin dijaga sebegitu rupa. Dalam filosofi Jawa, ucapan seseorang mencerminkan tingkatan sosialnya. Ketika seseorang tidak mampu membawa diri dengan ucapan-ucapan yang menyakiti orang lain, niscaya ia akan menuai hasilnya sendiri.

Boyolali secara sosio-kultural didominasi oleh praktik nilai-nilai dengan dasar filosofi Jawa. Apa yang dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan bertumpu padanya. Wajar bila sehiruk-pikuknya situasi perpolitikan nasional, belum tentu terlihat serupa di Boyolali. Nilai-nilai Jawa seperti menjadi filter bagi aksi massa yang potensial merusak.

Dalam keseharian, filosofi Jawa terejawantah di berbagai hal. Salah satunya dalam tembang macapat. Lagu khas Jawa ini bukan hanya diajarkan, tapi juga diperlombakan. Internalisasi nilai-nilai harmoni dalam budaya Jawa melalui tradisi macapatan sedikit banyak berpengaruh pada kepribadian warga Boyolali.

Djarot Heru Santosa, seorang staf pengajar Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, menulis tentang ‘Tradisi Macapatan di Kabupaten Boyolali’ yang diterbitkan Jurnal Humaniora Vol. 13 No. 3 tahun 2001. Menurutnya, tembang berisi nasihat tersebut dahulu biasa tersaji saat keluarga Kraton Surakarta berlibur di pesanggrahan-pesanggrahan sekitar Cepogo yang sejuk dan berpemandangan indah.

Semakin ke sini, tradisi itu mulai dibawakan para abdi dalem pesanggrahan, berlanjut ke warga sekitar. Pemahaman akan nilai-nilai Jawa yang menjunjung tinggi kemanusiaan melalui tradisi macapatan pada masa setelahnya, berpengaruh pada pembentukan cara pandang warga Boyolali yang njawani. Karena itulah, dalam setiap langkah dan aksi, tidak serta-merta diekspresikan, tanpa dipertimbangkan masak-masak.

Selain macapatan, banyak dijumpai kegiatan dan ritual yang mempererat kebersamaan masyarakat di Boyolali. Misalnya, tradisi Sadranan di Cepogo untuk mendoakan leluhur dan makan bersama, Ritual Sedekah Gunung Merapi di Lencoh yang melibatkan masyarakat dalam pelestarian budaya dan keselamatan desa, serta Gebyar Padusan di Pengging untuk membersihkan diri menjelang Bulan Suci Ramadan.

Jadi, betapa penting menjaga ucapan. Karena ucapan baik akan berbuah kepercayaan publik. Apa yang seseorang ucapkan pada akhirnya berbuah apresiasi khalayak sebagai  ‘orang yang bisa dipercaya’. Rasulullah Muhammad SAW menegaskan pentingnya ucapan dengan bersabda, “Bicaralah yang baik, atau diam.”

Editor: Arif Giyanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik