

Titik Singgung Ekonomi Islam, Soemitronomics, dan Gebrakan Menkeu Purbaya
/ Opini
Ekonomi Islam adalah alat perjuangan umat, bukan sekadar entitas bisnis berlabel syariah.
Umar Jahidin
Wakil Ketua Pimpinan Pusat Jaringan Saudagar Muhammadiyah.
Alumnus FAI UMS dan Pondok Shabran.
Saya masih ingat jelas, tahun 1985, ketika wacana Reaktualisasi Ajaran Islam mulai mengemuka. Sebuah proyek intelektual yang tak sekadar mengulang teks, tapi mencoba menggali makna ajaran Islam dalam konteks sosial dan historis agar lebih relevan dengan semangat zaman modern, tanpa mereduksi kedalaman dalil qath’i dari Al-Quran maupun Hadist sahih.
Reaktualisasi ini, atau lebih tepatnya kontekstualisasi, bertujuan menempatkan nilai-nilai Islam ke dalam dunia nyata; ekonomi, politik, dan budaya masyarakat kontemporer. Ia menjadi jembatan antara wahyu dan realitas.
Trio pemikir utama gerakan ini adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Sjadzali. Ketiganya merupakan tokoh pemikir Islam terdepan di eranya dan banyak terinspirasi oleh pemikiran Fazlur Rahman, Guru Besar di Chicago berkebangsaan Pakistan.
Fazlur Rahman adalah tokoh yang sangat gigih memperjuangkan metode tafsir yang historis, moral, dan dinamis. Ia menyodorkan pendekatan ‘gerak ganda’ (double movement); dari teks ke konteks, lalu kembali ke nilai-nilai universal untuk diterapkan ke dalam situasi aktual.
Dalam konteks ini saya teringat salah satu sindiran tajam yang pernah dilontarkan Munawir Sjadzali, Menteri Agama kala itu sekaligus salah satu tokoh penting dalam gerakan kontekstualisasi Islam, adalah tentang watak hipokrit sebagian umat Islam—terkhusus para tokohnya.
Ia pernah berujar, “Ada tokoh Muslim yang saat khotbah di masjid menyerukan bahwa bunga bank itu haram, tapi kenyataannya ia sendiri hidup dari bunga deposito.”
Sindiran tersebut bukan semata-mata kritik personal, melainkan cermin dari realitas sosial umat saat itu. Antara idealisme dan praktik sering kali terpisah, serta praktik yang tidak sejalan dengan perkataan.
Apa yang dikritik Munawir menunjukkan bahwa sebenarnya umat Islam membutuhkan sistem keuangan alternatif. Sistem keuangan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, yakni lembaga keuangan berbasis syariah. Lembaga ini bukan hanya bebas riba secara formal, tetapi juga berpihak secara moral.
Keberpihakan Perbankan Islam
Tak bisa dipungkiri, salah satu buah nyata dari proyek besar kontekstualisasi ajaran Islam di era Orde Baru adalah hadirnya berbagai institusi syariah yang kini menjadi bagian dari kehidupan ekonomi nasional. Apa yang dahulu hanya wacana di ruang-ruang diskusi akademik, kini telah menjelma menjadi realitas sosial yang dinikmati masyarakat luas.
Selain hadirnya Pengadilan Agama yang kini sejajar dengan Pengadilan Negeri—sebuah kemajuan penting dalam sistem hukum nasional—kita juga menyaksikan tumbuh suburnya lembaga keuangan syariah di berbagai penjuru negeri. Perbankan Islam, yang dulu hanya sebatas gagasan idealis para cendekiawan Muslim, sekarang telah berkembang menjadi industri keuangan yang tangguh dan dipercaya masyarakat.
Dimulai dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991, bank Islam pertama di Indonesia, geliat perbankan syariah tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Saat ini, tercatat sedikitnya 33 entitas perbankan syariah di Indonesia, terdiri dari 14 Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS), dan berbagai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang menjangkau akar-rumput masyarakat.
Namun demikian, keberadaan bank-bank tersebut semestinya tidak hanya menjadi simbol kelembagaan Islam, tapi juga mencerminkan karakter Islam yang adil, inklusif, dan berpihak pada yang lemah.
Dalam konteks inilah, kritik tajam dari tokoh Persyarikatan Muhammadiyah, Buya Anwar Abbas, terhadap salah satu bank syariah beberapa waktu lalu patut dicermati. Kritik itu bukan sekadar reaksi personal, melainkan sinyal adanya kealpaan dalam mengemban amanat sosial Islam, khususnya dalam keberpihakan terhadap pelaku ekonomi kecil dan menengah.
Dengan demikian, bank syariah, jika ingin tetap relevan secara moral dan sosial, harus kembali pada ruh awalnya, yakni sebagai alat perjuangan ekonomi umat, bukan sekadar entitas bisnis berlabel syariah.
Dan di sinilah, nilai-nilai ekonomi Islam, Soemitronomic yang berwatak Sosialis, dan semangat pembaruan fiskal ala Menteri Keuangan Purbaya menemukan titik singgungnya. Keberpihakan kepada mayoritas rakyat pun dapat terjelaskan.
Editor: Arif Giyanto