Suasana sibuk Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. (PT Pelindo Multi Terminal)
Tak Surut Langkah Menjadi Negara Maritim : Suasana sibuk Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. (PT Pelindo Multi Terminal)
Suasana sibuk Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. (PT Pelindo Multi Terminal)

Tak Surut Langkah Menjadi Negara Maritim

Hilirisasi yang simultan dengan maritimisasi dapat mendekatkan realisasi ‘mimpi’ Negara Maritim.


Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar Teknik Kelautan ITS Surabaya
Penulis kelahiran Mlinjon, Tonggalan, Klaten

 

Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjadi negara maritim adalah geostrategic default. Tahukah Anda, negara kepulauan kita seluas Eropa. Jika peta Indonesia ditindihkan ke peta Eropa maka Pulau We akan menempati Aberdeen di Inggris dan Merauke menempati Istanbul.

Namun, berbeda dengan Benua Eropa, seluas 70 persen wilayah Indonesia berupa laut. Artinya, cara berpikir benua tidak semuanya cocok untuk wilayah kepulauan dengan keragaman sumberdaya hayati dan budaya ini.

Misalnya, membangun jembatan antar-pulau seperti Suramadu justru membuat ruang Jawa Timur lebih cekung dari sebelumnya di mana konektivitas main-land Jawa Timur-Madura disediakan oleh armada feri. Lihatlah, kini Madura lebih terasing bila dibandingkan sebelum Jembatan Suramadu dibangun.

Dampak pembangunan jembatan tersebut terhadap ekonomi regional Jawa Timur tidaklah signifikan. Investasi gagal mengalir ke Bangkalan, tapi malah ke Gresik, Lamongan, Mojokerto, dan Pasuruan. Jadi, jembatan adalah solusi jarak di ruang cekung. Armada feri tidak menambah kecekungan ruang Jawa Timur.

Kemaritiman sebagai bagian dari kelautan dapat dipahami sebagai berbagai hal yang berkaitan dengan laut sebagai ruang, bukan sebagai sumberdaya. Karena, laut bukan lingkungan alami manusia.

Manusia membutuhkan teknologi untuk hidup di laut secara aman, sehat, dan produktif. Oleh karena itu, kapal sebagai teknologi harus dilihat sebagai infrastruktur seperti jalan dan jembatan di darat.

Membangun armada kapal nasional berarti membangun jalan dan jembatan penghubung antar-pulau di negeri kepulauan bercirikan Nusantara ini. Dahulu, semua itu dilakukan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta Demak Islam.

Produktivitas armada nasional kita saat ini baru sekitar 70 juta ton-km per tahun, lebih rendah dari Singapura yg mencapai 100 juta ton-km per tahun, atau masih lebih besar dari Belanda sekitar 40 juta ton-km per tahun. Hal ini menjelaskan mengapa dua negara kecil tersebut lebih makmur dari Indonesia.

Simpulannya, mobilitas barang dan manusia adalah indikator terbaik kesejahteraan sebuah negara. Sementara diam adalah resep untuk miskin.

Maritimisasi

Lebih lanjut, pemerataan pembangunan sebagai prasyarat persatuan dan keadilan sosial mensyaratkan produktivitas armada kapal nasional, seperti jumlah kapal, kapasitas dan kecepatan kapal-kapal tersebut, serta efisiensi jejaring pelabuhan-pelabuhan nasional.

Demi ekonomi maritim yang efisien, diperlukan keberadaan pemerintahan di laut yang efektif, untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran. Produksi kapal oleh galangan-galangan kapal nasional dan pelayaran memerlukan lingkungan yang ramah fiskal dan moneter bagi industri maritim.

Hingga sekarang, lingkungan fiskal dan moneter tidak ramah karena armada kapal belum dilihat sebagai infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan jaringan rel. Angkutan sungai dan penyeberangan harus dilihat kembali sebagai sistem transportasi nasional. Negara kepulauan bercirikan Nusantara ini harus bertulang punggung angkutan laut.

China sebagai negara benua menyadari kepentingan maritimnya, yaitu kepentingan mengangkut ekspor dan impor China dengan armada kapal nasional China. Kepentingan maritim adalah kepentingan trade and commerce.  China tidak lagi hanya manufacturer of the world. Kini, mereka sedang mengarah menjadi transporter of the world dengan kebijakan One Belt One Road, dengan tulang punggung Maritime Silk Road-nya.

Trade and commerce yang berjaya adalah kunci bagi kesejahteraan umum sebuah bangsa sebagai amanah konstitusi. Perdagangan besar yang efisien tergantung pada armada kapal nasional yang produktif.

Program hilirisasi saja tidak cukup, harus dibarengi dengan maritimisasi atau maritime mainstreaming.  Arsitektur pemerintahan kita juga perlu disesuaikan agar lebih hadir di laut secara efektif sekaligus menekan ekonomi biaya tinggi di laut.

Editor: Astama Izqi Winata


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik