Presiden Prabowo bersama pimpinan partai politik di Istana Merdeka, Minggu (31/8/2025). (BPMI Setpres)
Sungguh Mahal Harga Oligarki Politik : Presiden Prabowo bersama pimpinan partai politik di Istana Merdeka, Minggu (31/8/2025). (BPMI Setpres)
Presiden Prabowo bersama pimpinan partai politik di Istana Merdeka, Minggu (31/8/2025). (BPMI Setpres)

Sungguh Mahal Harga Oligarki Politik

Segelintir orang yang dapat mengontrol wakil rakyat pada kenyataannya berhasil melemahkan fungsi kontrol wakil rakyat.


Anton Agus Setyawan
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Aksi demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang digelar sedari Senin (25/8/2025) berkembang menjadi kerusuhan berskala masif di berbagai wilayah Indonesia. Unjuk rasa yang semula bertujuan menolak kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memakan korban seorang pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan. Korban meninggal dunia setelah ditabrak kendaraan taktis Brimob Polri. Jatuhnya korban memicu eskalasi demonstrasi yang intens.

Rangkaian peristiwa yang terjadi belakangan sebenarnya merupakan letupan kekecewaan masyarakat. Rakyat terus-menerus disuguhi kebijakan yang jauh dari keadilan. Masyarakat dipertontonkan aksi pamer (flexing) para pejabat dan anggota DPR di media sosial dengan gaya hidup hedon mereka.

Selain itu, pejabat dan elite yang terlibat korupsi hanya mendapatkan vonis hukuman ringan. Hal ini kontradiktif dengan kondisi masyarakat yang semakin hari dihadapkan pada berbagai kesulitan hidup. Kesulitan hidup yang dirasakan rakyat adalah kenaikan harga-harga bahan pokok, kenaikan pajak atau pemerintah secara masif menarik pajak dari rakyat tanpa diimbangi dengan pelayanan publik yang baik, serta berbagai kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat.

Dari sisi ekonomi, kebijakan ekonomi bisa memperbaiki indikator ekonomi riil. Masalah utama yang dihadapi masyarakat, yaitu lapangan kerja berkualitas serta melemahnya daya beli menyebabkan kesenjangan kesejahteraan semakin terasa.

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan aktivitas ekonomi saat ini ternyata hanya menambah lapangan kerja informal, sementara lapangan kerja formal terus menurun. Ada sekitar 83,83 juta orang atau 57,95 persen dari total jumlah penduduk yang bekerja, menjadi pekerja di sektor informal. Pekerja sektor formal hanya berjumlah 60,81 juta orang atau 42,05 persen dari jumlah pekerja.

DPR hasil dari proses demokrasi Pemilu 2024 menorehkan tingkat partisipasi pemilih hingga 81,14 persen, sedangkan Pemilu Presiden mencapai 81,78 persen. Partai politik (parpol) yang berpartisipasi dalam Pemilu 2024 tentu saja berhutang budi pada para pemilih karena sudah memberikan suara. Rakyat berharap, pemerintahan dan anggota legislatif yang terpilih pun berkualitas.

Namun demikian, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Puncaknya, demonstrasi rakyat saat ini. Pemerintah yang bertugas untuk mengambil kebijakan ternyata tidak dikontrol oleh lembaga legislatif, karena semua parpol berkoalisi dalam sebuah koalisi ‘gemuk’ serta akhirnya menghasilkan kabinet ‘gemuk’ yang tidak efisien.

Fungsi kontrol DPR tidak berjalan dengan baik karena parpol sudah mendapatkan bagian dalam pemerintahan, baik pada jabatan menteri maupun wakil menteri. Kelompok kepentingan yang diharapkan menjadi fungsi kontrol lain juga dijinakkan dengan berbagai jabatan sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau staf khusus. Hal ini yang menyebabkan mekanisme kontrol terhadap pemerintah—yang sebenarnya diharapkan dari proses demokrasi—perlahan-lahan mati.

Oligarki Politik

Sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam proses Pemilu, politik uang sudah menjadi hal yang biasa. Seorang calon presiden, kepala daerah, atau anggota legislatif perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan suara. Masyarakat pemilih juga mengharapkan uang atau imbalan lain dari calon presiden, kepala daerah, atau anggota legislatif.

Motivasi calon pemimpin ketika menggunakan politik uang pada saat proses Pemilu atau Pilkada pasti menginginkan uangnya kembali. Karena, kerangka berpikir mereka, Pemilu dan Pilkada transaksional; uang ditukarkan suara.

Pertanyaannya, bagaimana parpol membiarkan mekanisme itu terus terjadi? Ternyata, parpol di Indonesia didominasi oleh kelompok tertentu yang mempunyai power lebih kuat dibandingkan kelompok lain. Kelompok tertentu ini mempunyai kekuasaan berlebih, karena kekuatan ekonomi mereka atau jejaring politik dengan penguasaan mereka atas sumber daya ekonomi.

Mereka bisa jadi adalah politisi yang juga pengusaha atau pengusaha yang jadi politisi. Merekalah yang membiayai berbagai aktivitas politik partai dan konstituennya. Hal yang tidak bisa dihindari, karena dalam sistem politik Indonesia, partai memang tidak mempunyai mekanisme untuk mencari sumber pembiayaan bagi aktivitas mereka.

Dominasi kelompok dengan sumber daya ekonomi yang banyak dalam partai politik memunculkan oligarki politik, atau segelintir orang yang memiliki kuasa besar. Mereka kemudian mendekat atau didekati oleh para pemilik parpol, yaitu politisi yang karena hubungan kekeluargaan dengan pendiri partai menjadi patron di dalam parpol. Hubungan tersebut memperkuat oligarki politik di dalam parpol.

Kelompok oligarki menjadi pengambil keputusan utama di dalam parpol, termasuk menentukan siapa yang layak menjadi eksekutif dan legislatif di pemerintah pusat maupun daerah. Dalam kondisi itu, para oligarkis di dalam parpol sebenarnya tidak memerlukan kandidat eksekutif maupun legislatif yang berkualitas, tetapi kandidat yang mengikuti kepentingan para oligarkis untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Hasilnya, tidak mengherankan bila ada pejabat atau legislatif dengan latar belakang tidak jelas. Selama ini, tidak ada mekanisme pengujian tentang bagaimana mereka memahami persoalan mendasar masyarakat, apalagi menjadi pengambil keputusan untuk mengatasi masalah tersebut.

Perilaku anggota DPR yang tidak peka terhadap masalah rakyat sebenarnya bukan hal yang mengherankan, karena mereka adaa tanpa melalui proses seleksi jelas, kecuali mampu mengumpulkan banyak suara, entah karena popularitas mereka atau sumber daya ekonomi yang mereka miliki.

Hal yang sama juga terjadi pada pejabat eksekutif. Keduanya memang tidak mengusung agenda kepentingan rakyat, tetapi kepentingan oligarki. Sebuah kondisi yang menyebabkan saluran aspirasi rakyat menjadi buntu.

Reformasi Parpol

Demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi beberapa hari terakhir sudah seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi elite politik Indonesia. Saluran aspirasi rakyat yang secara normatif ditempuh melalui kanal DPR,  faktanya tidak demikian, lantaran wakil rakyat tidak melakukan fungsi legislasi yang baik.

Beberapa regulasi yang merugikan rakyat bisa lolos tanpa ada kritik dan revisi dari DPR. Pada sisi lain, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Asset yang bisa mengurangi korupsi dan sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak segera dibahas dan disahkan.

Parpol perlu melakukan reformasi internal untuk memperbaiki kualitas kader mereka yang akan ditugaskan di ranah legislatif maupun eksekutif. Proses seleksi untuk menjadi kader maupun menjadi legislatif dan eksekutif perlu prosedur yang mempertimbangkan banyak aspek. Hal pertama adalah kompetensi; tidak hanya dari syarat ijazah, tetapi juga kecerdasan akademik, emosional, dan spiritual. Rekam jejak mereka juga dipertimbangkan.

Para pemilih atau masyarakat juga harus lebih cerdas. Masyarakat harus lebih kritis untuk menilai kandidat anggota legislatif dan eksekutif. Pertimbangan masyarakat untuk memilih berdasarkan tawaran uang, paket sembako, atau barang lain sebagai pembayaran atas suara harus segera ditinggalkan. Mereka yang terpilih karena membayar pasti tidak akan memperhatikan kepentingan pemilihnya.

Menghilangkan oligarki politik bukan hal yang mudah. Oligarki politik muncul karena ada kesenjangan pendapatan di Indonesia. Selama usaha untuk menghilangkan kesenjangan belum berhasil, oligarki politik akan tetap ada.

Editor: Arif Giyanto 


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik