Gibran Rakabuming Raka saat Debat Cawapres, Jumat (22/12/2023). (KPU).
Reviu Debat Cawapres: Ketika Sedikit Bicara Bukan Berarti Ingusan : Gibran Rakabuming Raka saat Debat Cawapres, Jumat (22/12/2023). (KPU).
Gibran Rakabuming Raka saat Debat Cawapres, Jumat (22/12/2023). (KPU).

Reviu Debat Cawapres: Ketika Sedikit Bicara Bukan Berarti Ingusan

Performa Gibran menunjukkan kepasitas kepemimpinannya.

Agus Zaini
Co-Founder Cakra Manggilingan Institute

Malam itu, Jumat (22/12/2023), kejutan mengesankan lahir dari panggung debat Calon Wakil Presiden 2024. Gibran Rakabuming Raka, sosok yang selama ini diragukan, dituduh tak berani berdebat, serta dianggap sebagai ‘anak ingusan’ yang tak mengerti apa-apa, kian membuktikan kapasitas kepemimpinannya.

Sekian waktu, Gibran diremehkan hingga di-bully habis-habisan lantaran jarang menghadiri forum-forum debat di luar agenda Komisi Pemilihan Umum (KPU). Gibran dikesankan irit bicara, termasuk saat berkampanye. Bahkan lebih banyak membisu bila ditanya para jurnalis soal isu-isu kekinian.

Menjelang digelarnya Debat Capres-Cawapres Kedua dengan topik ‘Ekonomi, Keuangan, Investasi, Pajak, Perdagangan, Pengelolaan APBN-APBD, Infrastruktur, dan Perkotaan’, banyak orang berpandangan, Gibran akan habis ‘dirujak’ dan dipermalukan oleh lawan debatnya.

Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Hasilnya di luar dugaan. Gibran tampil mengejutkan dan membalikkan keadaan. Fakta memperlihatkan, ia justru tampil elegan, percaya diri, dan lugas.

Gibran menguasai narasi dan panggung dengan tetap rendah hati. Beberapa pertanyaan yang ia ajukan membuat lawan debatnya mati kutu, tak berkutik. Tampak jelas seorang Ketua Umum partai politik yang sudah 17 tahun lebih menjabat, serta Profesor dengan rekam jejak Menteri Koordinator seperti ‘roboh’, tak kuasa menangkis manuver narasi seorang Gibran. Concern-nya dalam pembangunan ‘Indonesia Emas’ terucap jelas, lugas, dan gampang dimengerti oleh semua kalangan.

Jadi ternyata, selama ini, Gibran bukannya tak mau banyak omong. Ia memilih melakukan tindakan konkret, karena lebih penting ketimbang retorika. Rentetan janji bisa dikarang yang terkadang berujung omong kosong. Siapa pun bisa bicara apa saja, dan bahkan sangat mungkin mengklaim apa saja, karena masa depan belumlah terjadi dan terbukti.

Dalam diamnya, Gibran berkeliling Indonesia. Ia lebih banyak mendengarkan suara-suara dari rakyat, sambil membagikan makan siang dan susu gratis. Mungkin ia sadar, rakyat tak butuh omong kosong dan teori-teori manis yang ndakik-ndakik (terlalu banyak bicara).

Gibran seperti hendak melawan retorika dengan perbuatan. Rakyat sudah capek mendengar janji-janji. Gibran memegang teguh prinsip ‘bicara secukupnya, berbuat sebanyak-banyaknya’.

Performa Menunjukkan Kualitas

Dalam penampilan Gibran, ada hal yang tak terbayangkan banyak orang, terutama bagi kedua lawan debatnya. Kemarin, ia mengajukan pertanyaan sederhana tapi ternyata berhasil mematikan langkah para lawan debatnya. Misal, isu State of The Global Islamic Economy (SGIE) untuk Cak Imin dan carbon capture and storage yang ditujukan kepada Prof Mahfud.

Trik semiotik Gibran mampu membuat alur berpikir Cak Imin dan Prof Mahfud pun kusut. Cak Imin terlihat berkeringat kegerahan menghadapi serangan pertanyaan, bahkan mungkin karena sedikit gugup, microphone yang kokoh menancap di podiumnya sampai terjatuh. Cak Imin pun sempat terlihat pucat.

Sementara Prof Mahfud tampak kebingungan, lantas membuat jawaban yang bertele-tele serta berputar-putar bak labirin tak berujung.

“Kalau mengikuti pola yang sederhana saja. Misalnya, kalau regulasi sudah ada bagaimana? Kalau belum ada bagaimana? Kemudian opportunity-nya bagaimana? Kemudian lembaganya bagaimana? Kemudian komunikasi publiknya bagaimana? Kemudian... eee... eee... eee... ideologisnya bagaimana? Nah itu yang akan kita buat, kalau saya ditanya,” begitu jawab Menko Polhukam tersebut.

Prof Mahfud terlihat gagap, hingga berkali-kali mengucapkan, “Eee... eee... eee....”

Gibran mengulang lagi pertanyaannya, “... tapi pertanyaan saya belum dijawab sama sekali, Pak. Simpel sekali pertanyaan saya. Mohon dijawab sesuai pertanyaan yang saya tanyakan. Enggak perlu mengambang ke mana-mana, Pak.”

Inilah kelihaian Gibran yang belum pernah ditonton publik. Ia melontarkan pertanyaan mengecoh yang menyebabkan alur berpikir pihak lawan mengalami blocking sejenak.

Prof Mahfud terkecoh dan akhirnya malahan bluffing dengan bercerita seputar dasar-dasar ilmu hukum yang biasanya diajarkan dosen kepada mahasiswa semester 1.

Begitu juga dengan pertanyaan Gibran kepada Cak Imin tentang bagaimana menaikkan peringkat State of The Global Islamic Economy (SGIE) yang membikin Cak Imin kehilangan waktunya, karena bertanya balik ke Gibran dan mengaku tak paham, apa itu SGIE.

“Terus terang, SGIE saya enggak paham. SGIE itu apa?” ujar Cak Imin.

“Mohon maaf, kalau pertanyaannya agak sulit ya, Gus,” respons Gibran kemudian.

Gara-gara pertanyaan itu, reputasi Cak Imin jatuh. Gibran yang selama ini diejek dari mulai  pernyataan ‘asam sulfat’, ejekan ‘belimbing sayur’, hingga dinilai takut berdebat pun mengeruk surplus atensi positif dari publik, dan menambal isu negatif yang selama ini menyudutkan Walikota Surakarta itu.

Pasca-debat, Gibran mendapatkan tepuk tangan meriah, karena dinilai unggul. Publik menangkap penjelasan Gibran yang mudah dicerna dan tak bertele-tele.

Belajar dari Cara Gibran Mengapresiasi Lawan Debatnya

Setidaknya ada dua kesalahan Cawapres Cak Imin dan Prof Mahfud yang membuat keduanya babak belur. Pertama, tanpa disadari, timbul sedikit sifat sombong, karena merasa mudah menaklukkan Gibran yang dianggap ‘anak ingusan’. Kedua, karena muncul benih kesombongan maka lupa untuk mempersiapkan diri, dan bahkan menggampangkan sesuatu.

Jika Gibran kalah debat, itu hal yang wajar. Karena, dari sisi pengalaman dan track record tentu kalah durasi. Tapi jika Cak Imin dan Prof Mahfud kalah, merupakan aib yang memalukan. Cak Imin dan Prof Mahfud lupa bahwa sesungguhnya Gibran diuntungkan oleh hal-hal yang tidak dibaca keduanya.

Dari sosok Gibran, kita belajar bahwa kesombongan sangatlah berbahaya. Jangan pernah meremehkan siapa pun. Begitu dosis kesombongan makin meningkat, percayalah itu merupakan tanda-tanda kehancuran.

Meskipun Gibran memenangkan perdebatan, ia tetap berusaha rendah hati di hadapan orang-orang yang berusia jauh di atas dirinya. Ini lagi-lagi menambah nilai Gibran di mata publik.

“Saya sangat bangga sekali, saya menjadi bagian dalam perjalanan menuju Indonesia Emas. Saya ucapkan terima kasih juga Prof Mahfud, Gus Muhaimin. Saya sangat senang sekali bisa satu panggung dengan orang-orang hebat seperti ini. Senang sekali anak muda bisa bertukar pikiran dengan Ketua Umum partai dan seorang Profesor,” ujar Gibran sebagai penutup, seraya mendatangi satu per satu dan bersalaman penuh rasa hormat kepada senior-seniornya.

Ya, memang pantas jika dikatakan panggung debat malam itu menjadi milik Gibran. Sejatinya kemenangan tersebut bukan hanya milik Gibran, tetapi milik anak muda Indonesia. Karena, anak muda Indonesia harus Gibran, yaitu GIgih dan BRANi.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik