Debat Capres-Cawapres kali ketiga. (KPU)
Reviu Debat Capres Ketiga: Bila Tak Semua Hal Maklum Dibicarakan : Debat Capres-Cawapres kali ketiga. (KPU)
Debat Capres-Cawapres kali ketiga. (KPU)

Reviu Debat Capres Ketiga: Bila Tak Semua Hal Maklum Dibicarakan

Prabowo kecewa pada kapasitas kepemimpinan nasional kedua Capres lain, karena tidak peduli pada kerahasiaan negara yang memang tidak untuk diumbar sembarangan.

Agus Zaini
Co-Founder Cakra Manggilingan Institute

Dalam Debat Calon Presiden 2024 kali ketiga yang digelar Minggu (7/1/2024) lalu, saya mencatat beberapa substansi dari Capres Prabowo Subianto yang alangkah lebih baik, bila diketahui oleh kedua Capres lain. Namun sayang, Capres Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tak benar-benar memahaminya.

Debat Capres ketiga mengangkat tema ‘pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik’. Topik ini agak krusial, karena tidak semua hal boleh menjadi konsumsi publik.

Prabowo menyadari adanya garis batas itu. Tapi ternyata tak begitu dengan lawan-lawan debatnya. Kedua Capres lain hanya memahami kulit persoalan, untuk tidak mengatakannya bermain di ranah abu-abu teoretis-normatif.

Pertama, Argumentasi ‘Mi instan’

Semua orang sangat bisa berkomentar apa saja atas hasil kerja orang lain, sebagaimana Ganjar dan Anies kepada Prabowo. Semua omongan kedua Capres tersebut masih sebatas ‘akan’. Ibarat sambil melempar batu, keduanya menagih apa yang dikerjakan Prabowo selama kurang lebih empat tahun sebagai Menteri Pertahanan.

Persis yang dialami Presiden Joko Widodo selama ini. Ia bekerja menata infrastruktur dan membangun Indonesia, tapi kita terbiasa tak kaget tatkala seseorang mengkoreksi kebijakan Jokowi seolah paling mengerti, tanpa rujukan yang jelas.

Apa itu sesuatu yang asuk akal? Tentu tidak. Tapi, itulah yang terjadi. Ganjar dan Anies mengoreksi Prabowo dengan menggebu, padahal urusan pertahanan tidak seperti menyajikan mi instan.

Dalam soal Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista), bukan soal bekas atau baru. Prabowo punya perhitungan dari segi teknis hingga politis. Dalam soal penganggaran, misalnya, ia harus bersepakat dengan DPR, termasuk Menteri Keuangan, yang tak sepenuhnya berada dalam kendali Prabowo.

Sementara urusan jual-beli Alutsista juga tidak semudah jual beli kangkung di pasar. Melobi produsen atau negara lain agar mau menjual teknologi alat perangnya ke Indonesia tidaklah gampang. Karena pada dasarnya, tidak semua negara di dunia ini ikhlas Indonesia menjadi negara maju.

Ganjar dan Anies terkesan pura-pura tidak tahu dalam soal ini. Mereka lupa, partai politik yang mengusung keduanya turut menyetujui, atau tidak menutup kemungkinan, menghambat rencana kerja Prabowo sebagai Menteri Pertahanan.

Meminjam analogi berumah tangga maka untuk membeli sesuatu, siapa pun pasti berkeinginan terbagus dan termahal. Namun, karena ada berbagai syarat yang tak terpenuhi, dicarikanlah opsi tengah agar sesuatu itu tetap terbeli.

Kedua, Logika Lucu Anies dan ‘Omon-Omon’-nya

Saya agak tergelitik mendengar respons Anies kepada Prabowo saat masuk ke topik hubungan internasional, yang spesifik bertanya tentang strategi memperkuat kerja sama negara Selatan-Selatan.

Dalam hal ini, Prabowo benar dan sangat masuk akal. Baginya, apabila Indonesia hendak menjadi leader negara-negara Selatan, bangunlah ekonomi secara baik, sehingga rakyat sejahtera. Karena terbukti, apa yang dibangun Jokowi selama ini membuat banyak negara Afrika datang ke Indonesia untuk belajar.

Salah satunya, kebijakan hilirisasi yang membuat produk Indonesia bernilai tambah, lalu menghasilkan PDB signifikan, inflasi yang terkendali, dan angka kemiskinan yang relatif turun, bahkan Indonesia cukup berhasil dalam membangun industrinya.

Artinya, agar didengar oleh negara lain, Indonesia harus menjadi contoh. Leader memberikan keteladanan, bukan hanya ‘omon-omon’.

Tapi Anies salah kaprah dan dengan enteng berkata, “Ketika kita membangun dengan baik, tidak otomatis jadi contoh.”

Lah? Pernyataan Anies ini sungguh kacau bagi saya.

Saya berikan logika dasar sederhana. Jika Anda mengajak atau mengajari orang lain bagaimana menjadi kaya, apakah yang lain bakal percaya, jika Anda miskin.

Begitu juga dalam relasi antar-negara. Apa jadinya ketika Indonesia bercerita atau mengajari negara lain bagaimana membangun ekonomi nasional, tapi di saat yang sama ekonomi negeri ini babak belur? Apa negara lain akan hormat?

Itu sebabnya, Prabowo mengutip Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha. Seorang pemimpin haruslah menjadi contoh yang baik bagi pengikutnya. Leadership Indonesia ditentukan oleh bagaimana keberhasilan sebagai bangsa, baru kemudian disegani.

Leadership, apakah negara (atau perorangan) harus dengan contoh. Ing ngarsa sung tuladha. Kita mau bawa agenda... mau cerita, cuma omon-omon, tidak bisa. Kalau ngomong, ngomong, ngomong... kumaha? Negara Selatan melihat karena kita berhasil membangun ekonomi. Jadi, tidak hanya omon-omon. Kerjanya omon-omon saja tidak bisa. Itu yang akan membuat kita memimpin negara-negara Selatan,” terang Prabowo penuh keyakinan.

Ketiga, Tidak Semua Hal Bisa Dibicarakan

Ada satu hal yang tidak dipahami Anies dan Ganjar, dan keduanya terkesan menganggap Alutsista bukanlah sesuatu yang mendesak. Rekan Anies, Cak Imin bahkan pura-pura heran, kenapa negara mengucurkan uang besar untuk pengadaan Alutsista, padahal katanya, negara tidak sedang berperang.

Dari situ tampak, Anies dan rekannya tidak memahami persoalan. Begitu juga Ganjar yang mempertanyakan jet tempur Mirage 2000-5 dari Qatar.

Saya coba menafsirkan, apa yang dipikirkan Prabowo ketika menggunakan hal-hal sederhana untuk memahamkan Anies dan Ganjar.

“Mas Anies, coba tunjukkan negara maju mana yang tidak memiliki angkatan militer yang kuat? Amerika, Rusia, China adalah negara yang memiliki angkatan militer yang kuat. Makanya menjadi negara maju,” tutur Prabowo.

Karena bagi saya, militer dan pertahanan adalah syarat mutlak agar suatu negara bisa memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik. Jika Anda seorang konglomerat, lalu tinggal di rumah sederhana tanpa penjagaan, apakah Anda tidak lantas dirampok?

Ibarat rumah, pertahanan dan militer merupakan pagar, pekarangan, pintu, dan jendela. Indonesia yang kaya sumber daya alam ini dengan pertahanan yang lemah, lantas apa yang kira-kira akan terjadi? Karena, sektor inilah garda terdepannya.

Apa jadinya, jika kita tidak bergegas membenahi sektor pertahanan, meskipun banyak tantangan? Siapa yang menggaransi, Indonesia tak akan diserang negara jahil yang hendak menjadikan Indonesia musuhnya? Jadi bagi saya, jika ingin menjadi negara yang kuat secara ekonomi maka pertahanan harus menjadi perhatian paling utama.

Meskipun tidak semua negara memiliki kekuatan militer, seperti Swiss, tapi hal itu tergantung pada politik internasional masing-masing negara. Indonesia masih berpegang pada politik bebas-aktif, sedangkan banyak negara membangun aliansi. Artinya, jika ada negara lain menyerang maka negara yang masuk kelompok sekutu dalam aliansi otomatis turun tangan.

Tapi tidak demikian dengan Indonesia. Politik bebas-aktif punya konsekuensi bahwa Indonesia harus membangun kekuatan pertahanan dan militer secara mandiri.

Selain itu, hal yang paling riskan, Anies dan Ganjar merasa, urusan pertahanan tidak perlu dirahasiakan. Sungguh sangat berbahaya pandangan ini.

”Bapak cinta atau tidak dengan negara ini? Masa kita mau buka semua kekurangan kita? Semua masalah kita buka di depan umum, apakah itu pantas? Di negara yang baik, di negara maju, masalah rahasia ada, Profesor,” ucap Prabowo kepada Anies.

Betapa aneh bin ajaib jalan pikiran Anies dan Ganjar yang mendesak Prabowo untuk ‘telanjang buka-bukaan’ dalam urusan pertahahan dan militer. Jelas logika yang salah dan rasanya sangat miris, sehingga membuat Prabowo kecewa dengan kedua Capres. Bagaimana mungkin, calon pemimpin republik berpikir demikian?

Terakhir, pertanyaan Ganjar tentang Indeks Pertahanan Indonesia yang katanya turun dengan mengutip pelbagai lembaga. Sebuah data yang tentu harus diteliti. Sama seperti media, siapa penyokong lembaga yang dikutip Ganjar? Apa kepentingannya? Berafiliasi kepada siapa?

Ganjar menyebut rujukan Global Based Index-nya Institute for Economics and Peace, Global Militarisation Index yang bersumber dari Bonn International Centre for Conflict Studies (BICC), dan Asia Power Index dari Lowy Institute.

Sudah menjadi rahasia umum, tidak sedikit NGO atau lembaga di dalam negeri atau luar negeri yang menyoroti Indonesia dengan tidak bebas nilai. Jadi, bukan soal data yang benar atau salah, tapi penting mengetahui motivasi lembaga-lembaga tersebut.

Ganjar sepertinya pura-pura tidak mau tahu dalam perkara semacam itu, di mana tidak semua hal bisa dijelaskan dengan sekadar kata-kata.

Lagi-lagi, Anies dan Ganjar tak peduli, dengan mengusung jurus adu urat. Keduanya tidak lagi ambil pusing materi yang didebatkan tersebut dapat berbahaya bagi negara atau tidak. Itu sebabnya, Prabowo kecewa, karena kedua rekannya dirasa tidak lagi mencintai negara, demi ambisi menjadi Presiden.

Prabowo memilih untuk lebih banyak mengalah, dan menutup rapat informasi yang berpontensi berbahaya bagi negara. Bersyukur, Prabowo tidak terpancing untuk meladeni Anies dan Ganjar yang terkesan tak masalah membongkar kekurangan negara. Asal menang debat adu urat.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik