Pementasan Wayang Orang di Joglo Tumiyana. (Pemkab Klaten)
Revitalisasi Budaya, Sebuah Inovasi Nilai Kebudayaan : Pementasan Wayang Orang di Joglo Tumiyana. (Pemkab Klaten)
Pementasan Wayang Orang di Joglo Tumiyana. (Pemkab Klaten)

Revitalisasi Budaya, Sebuah Inovasi Nilai Kebudayaan

Kesadaran terhadap budaya menjadikan nilai budaya sebagai perangkat laku masyarakat.


Hanif Assabib Rosyid
Ketua Eksekutif Solo Institute. Founder Sala Library.
Alumnus Fakultas Hukum UMS.

 

Membicarakan bangsa ini, aspek kebudayaan tentu dianggap sebagai kumpulan warisan yang berharga. Kebudayaan bahkan mampu menjadi komoditas atau identitas sebuah entitas, baik itu suku, daerah, atau bahkan garis darah.

Kekhasan pada ritus atau kebiasaan dalam perilaku komunal secara terus-menerus dan turun-temurun semakin menegaskan bahwa memang ada ‘bekas peninggalan’ yang diwariskan, atau minimal, penerimaan atas wujud budaya yang diberlakukan.

Kesadaran terhadap budaya sepertinya belum dimaknai pada identitas nilai yang ada pada wujud kebudayaan dalam menjadikan nilai budaya sebagai perangkat laku masyarakat. Klasikisme budaya seolah tidak berdaya, apabila berhadapan dengan perkembangan industrialisasi.

Perkembangan dunia mesin seolah menciptakan masyarakat tersendiri dengan begitu cepat. Tampaknya, secara alamiah dunia itu membedakan diri dengan kebiasaan yang telah mapan dari laku agraris.

Dalam pergeseran budaya masyarakat desa, misalnya, budaya guyub dan saling tanggung pada momentum hajatan tidak lagi menarik, dan bahkan tampak berbelit-belit jika diberlakukan pada masyarakat industri yang mungkin saja waktunya harus habis sebagai pekerja. Meskipun kerumitan tersebut justru menciptakan satu pasar baru pada bisnis jasa pengolahan makanan (katering).

Berpisahnya nilai budaya sebagai basis nilai atau kearifan simbolis dengan aktivitas masyarakat pada akhirnya menempatkan budaya hanya pada level artefak. Keberadaannya tidak lagi terhubung dengan jiwa masyarakatnya, akan tetapi sebatas identitas yang terus-menerus dijaga.

Pada kenyataannya, melestarikan budaya disamakan dengan memunculkan kembali beragam jenis budaya. Bahkan lebih menyedihkan, pelestari budaya tidak paham betul, bagaimana budaya terbentuk dan mempengaruhi cara hidup masyarakat.

Kondisi itu semakin kentara setelah perkembangan teknologi mengambil peranan penuh atas aktivitas sosial. Paradigma ekonomis dan efektif menggiring anggapan, semua jenis inovasi hanyalah melulu soal efisiensi. Demikian menjadi tidak heran bahwa anggapan inovatif masih saja dipengaruhi oleh paham industri hitungan untung-rugi.

Meskipun sistem teknologi dibangun dengan pengetahuan manusia, atau lebih tepatnya dianggap sebagai hasil kerja manusia, namun tampaknya inovasi telah benar-benar dianggap sebagai sebuah hal yang hanya terkait dengan teknologi.

Jalan keluar yang terlalu teknis pada sistem aplikasi, meski memang menunjang kemudahan, terkesan semakin meminggirkan kebutuhan atas nilai budaya yang lebih abstrak dan mengandung etika.

Contoh, selama tahun 2024, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mencatat jumlah aplikasi yang dimiliki pemerintah setidaknya sebanyak 27.400 aplikasi, baik yang ada di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Angka tersebut bahkan memiliki orientasi berkembang hingga 50.000 aplikasi.

Implementasi e-government sepertinya menjadi arena baru bagi pelaksana pemerintahan untuk melakukan inovasi dalam bentuk bangunan aplikasi. Sekilas, memang tampak adanya dominasi ilmu pengetahuan dalam aplikasi yang dibangun bahkan bermuatan nilai yang nyata diperjuangkan, misal anti-korupsi, pelestarian lingkungan paperless, hinga integritas diimplementasikan dalam penyederhanaan administrasi birokrasi.

Tentunya kita tidak akan mendebat semua keuntungan yang didapat dari implementasi inovasi teknologi yang telah dibangun. Namun demikian, dalam paradigma sosial yang memiliki sifat tidak parsial menuntut pengakuan nilai yang dapat diberlakukan secara umum. Maksudnya, inovasi terhadap nilai budaya tentu saja tidak kalah penting dari inovasi teknologi yang cenderung parsial dan kasuistis.

Mengemas Nilai Budaya Menjadi Inovasi

Kesadaran dan pemahaman terhadap pedoman laku masyarakat akan medorong setiap komunitas bahkan lembaga pemerintah untuk terus-menerus mengemas berbagai tafsir nilai budaya sebagai bagian dari inovasi nilai budaya.

Secara metodologis, hal ini sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh para ulama ushul fiqh dalam disiplin ilmu alat masyarakat Islam. Dalil yang cenderung abstrak dan umum dari sumber hukum Islam kemudian di istinbath-kan dalam menjawab permasalahan aktual masyarakatnya.

Hasil dari aktivitas itu secara simultan memenuhi dua aspek sekaligus, yakni jawaban dari permasalahan faktual masyarakat dan perumusan atas tafsiran nilai yang dapat dipedomani menjadi laku masyarakat yang mungkin saja diambil secara definisi oleh masyarakat hukum sebagai yurisprudensi.

Aktivitas inovasi nilai budaya memang memerlukan langkah awal pada level akumulasi pengetahuan atas bentuk kebudayaan. Pengumpulan artefak dan sistem budaya bahkan menjadi wajib untuk dilakukan. Basis data tersebut kemudian dapat dikategorisasikan dalam beberapa jenis nilai yang relevan dibutuhkan dan menjawab realitas kehidupan masyarakat.

Lebih jauh, jika produk inovasi nilai budaya dikembangkan dengan metodologi dan kerangka konseptual yang tepat kemudian dimasukkan ke dalam agenda birokrasi maka dapat mendorong nilai budaya bukan hanya berlaku parsial pada tata sistem komunitas, namun dapat menjadi identitas sekaligus pedoman dalam agenda kebijakan yang bersifat publik.

Upaya revitalisasi budaya, dalam hal ini sangat membantu, meskipun sebatas artefak budaya. Justru hal ini dapat memberikan peluang terhadap proses identifikasi pengetahuan yang tentu saja di dalamnya mengandung nilai budaya. Hal itu semestinya menjadi agenda besar dan jangka panjang dalam sistem sosial budaya masyarakat.

Bagaimanapun, hampir seluruh peradaban yang terbentuk tidak akan mungkin menghindari aktivitas akumulasi pengetahuan. Meski hal ini terkesan belebihan, namun kita perlu sesekali membayangkan bahwa permasalahan dari pola relasi sosial yang begitu rigid dan rapat, jangan-jangan hanya bisa diselesaikan dengan kembali pada nilai budaya yang berwujud abstrak. Nilai budaya yang mengandung etika dan dipedomani oleh seluruh lapisan masyarakat.

Editor: Astama Izqi Winata


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik