

Resonansi Seni Profetik Atas Kepemimpinan Nasional
/ Opini
Ketika seni yang dipenuhi nilai-nilai keilahiahan menjadi bagian dari kepemimpinan nasional, yakinlah bahwa negeri ini akan selamat.
Wawan Kardiyanto
Akademisi ISI Surakarta
Kepemimpinan sering menjadi topik yang tidak ada habisnya diperbincangkan. Apalagi di musim pergantian pemimpin seperti sekarang. Mayoritas masyarakat mulai membahas kriteria dan standar pemimpin yang layak memimpin Indonesia. Jika yang terpilih adalah orang yang tidak kompeten maka masa depan negara berada di ambang kehancuran.
Tentu tidak ada warga negara yang menghendaki hal negatif terjadi. Pantas saja, banyak yang mulai menyorot rekam pengalaman pemimpin atau kandidatnya, mulai dari karakter atau kepribadian hingga kemampuannya. Skill menjadi pemimpin yang baik tidak banyak dimiliki oleh sejumlah kandidat. Oleh karena itu, membutuhkan kehati-hatian dalam menentukan pilihan yang tepat.
Kepemimpinan mumpuni salah satunya dipengaruhi oleh resonansi seni profetik. Anda bisa jadi tidak asing dengan lagu anak berbahasa Jawa dengan judul ‘Gundul-Gundul Pacul’? Beberapa referensi menuturkan, karya seni nan fenomenal tersebut dikreasi oleh Sunan Kalijaga untuk menasihati Sultan Trenggono, Sang Sultan Demak.
Atau tentang pertunjukan wayang kulit bertajuk ‘Lakon Dewa Ruci’, ‘Layang Kalimasada’, dan ‘Lakon Petruk Jadi Raja’. Anda pasti paham bahwa ketiganya merupakan ciptaaan Sunan Kalijaga. Pada Zamannya, banyak orang diperbolehkan untuk menonton tanpa membayar, dengan syarat, mengucap Dua Kalimat Syahadat. Secara substansi, lakon wayang yang dipentaskan Sunan Kalijaga banyak berbicara hakikat hidup dan kepemimpinan.
Karena kepemimpinan tak lain dan tak bukan adalah tentang seni memimpin. Kepemimpinan dapat ditengarai dari sikap, sebelum keterampilan. Artinya, dasar dari kepemimpinan, yakni kualitas individu (baca: akhlak). Pemimpin mumpuni memiliki integritas, kejujuran, kerendahan hati, keberanian, komitmen, ketulusan, kearifan, kepekaan, dan rasa percaya diri. Banyak orang menghargai para pemimpin, karena bisa dipercaya. Bukan semata karena keahlian yang mereka miliki.
Nah selanjutnya, mari menilik pembahasan tentang kepemimpinan yang mewakili nilai-nilai sikap tersebut. Semisal, pernyataan dari pakar yang memandang bahwa pemimpin lahir diberkahi dengan ciri fisik dan kepribadian khusus. Hal itu membedakannya dengan orang yang tidak memiliki sikap pemimpin.
Ada lagi yang mengidentifikasi sifat-sifat kepemimpinan merupakan faktor genetik. Para pemimpin memiliki kepercayaan diri yang bersumber dari pengalaman dan proses belajar, ciri fisik, kecerdasan, dan daya tarik tersendiri. Terdapat standar tertentu bagi seorang pemimpin yang harus dimiliki oleh sebagian besar pemimpin. Salah satunya, karisma.
Kepemimpinan Profetik
Salah satu tugas besar setiap pemerintah untuk melanjutkan estafet kepemimpinan yakni dengan melahirkan para pemimpin dari generasi muda yang memiliki kapasitas spiritualitas, intelektualitas, leadership, dan kemampuan memengaruhi orang lain.
Pemimpin yang berintegritas akan mendukung terciptanya sistem pemerintahan yang baik dan kesejahteraan bagi wilayah yang dipimpinnya. Setiap keputusan yang dibuat untuk kebaikan bersama. Betapa penting menginternalisasikan nilai-nilai kepemimpinan profetik dalam kepemimpinan nasional. Konsep ini membebaskan manusia untuk tidak menghamba pada manusia lain.
Kepemimpinan profetik memiliki visi kuat dan berpandangan positif ke depan, berusaha membawa perubahan agar lebih baik, menekankan masa depan yang berpusat pada nilai-nilai etika dan penuh integritas, mendorong pemberdayaan masyarakat, dan mengedepankan keadilan.
Istilah kepemimpinan profetik dikenalkan oleh Kuntowijoyo melalui gagasannya tentang urgensi ilmu sosial-transformatif atau lazim disebut dengan ilmu sosial profetik.
‘Gimmick’ Kepemimpinan
Dalam konteks mutakhir, perhelatan mencari pemimpin bangsa dan negara Indonesia pada pelaksanaan Pemilu 2024 menghadirkan tontonan para calon pemimpin yang terlihat pandai menggunakan gimik (gimmick) untuk mempengaruhi pemilih.
Gimik adalah bagian dari seni peran dalam seni drama atau teater. Mengutip Cambridge Dictionary, gimmick adalah sesuatu yang tidak serius atau tidak punya nilai sebenarnya, tetapi digunakan untuk menarik perhatian atau minat sementara orang, khususnya saat membeli sesuatu.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring, Badan Bahasa Kemendikbudristek, gimik merupakan sesuatu, baik alat atau trik, yang digunakan untuk menarik perhatian.
Dalam konteks perfilman, gimik berarti sudut pengambilan gambar khusus untuk menarik perhatian pemirsa dalam produksi program siaran. Sementara itu, dalam kontek seni, gimik adalah gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan perannya.
Munculnya istilah ‘gemoy’, ‘omon-omon’, ‘gas pol’, atau pun ‘Sorry, ye’ merupakan bentuk dari gimmick para calon pemimpin bangsa yang sepertinya berhasil mempengaruhi massa pemilih.
Selain itu, adegan calon pemimpin yang memberi rumah dan lahan kepada satu keluarga tidak mampu yang mendatanginya. Ada pula scene calon pemimpin yang tiba-tiba masuk ke warung nasi padang atau makan di warung soto di pinggir jalan. Itulah gimik.
Tantangannya, bagaimana menjadikan gimik sebagai cara kemas untuk mendapatkan ketertarikan pemilih oleh calon penguasa, kemudian merupakan starting point untuk menjalankan kepemimpinan profetik bagi calon pemimpin pemenang kontestasi.
Jangan sampai gimik-gimik yang ada tersebut hanya menjadi penyegar suasana persaingan dalam kontestasi dan menarik perhatian saat melakukan orasi, tetapi setelah itu, selesai tanpa makna.
Ketika belum menjadi pemimpin, semestinya calon pemimpin suka memperlihatkan gimik profetik yang menampilkan kebenaran, kebajikan dan keindahan, semisal kesederhanaan atau kepedulian pada ‘wong cilik’. Setelah menjadi pemimpin, kesederhanaan dan kepedulian itu bisa dijadikan budaya atau pun dasar dari dibuatnya kebijakan dalam membangun bangsa dan negara. Itulah salah satu makna penting kepemimpinan yang berseni profetik.