Momentum Presiden Joko Widodo makan siang bersama tiga Calon Presiden. (Setkab)
Pembenaran Tesis Geertz dalam Momentum Pilpres 2024 : Momentum Presiden Joko Widodo makan siang bersama tiga Calon Presiden. (Setkab)
Momentum Presiden Joko Widodo makan siang bersama tiga Calon Presiden. (Setkab)

Pembenaran Tesis Geertz dalam Momentum Pilpres 2024

Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Surakarta Daily

 

Dalam setiap Pemilihan Presiden, isu seputar tingkat keislaman calon sering kali menjadi pusat perdebatan yang menghasilkan ketegangan dalam masyarakat. Meskipun bersifat laten, isu ini terkadang menjadi manifes dalam bentuk yang tajam. Ia mewarnai kampanye hitam dalam pesta demokrasi yang punya daya rusak sangat serius.

Sebuah situasi yang bisa saja terangkat kembali ke permukaan, ketika perdebatan tentang seberapa ‘Islam’ para kandidat menjadi fokus utama pergunjingan masyarakat di seputar politik Pilpres 2024.

Meski masih debatable keakuratan studinya, isu ini berakar pada teori sosial Clifford Geertz yang lucunya secara kebetulan tecermin dalam kontestasi politik kekinian.

Ganjar Pranowo, sebagai salah satu calon potensial, dianggap mewakili kelompok abangan dengan menekankan pada praktik keyakinan lokal tradisional yang sinkretis. Semangat kebanggaan mereka biasanya dilukiskan dengan ungkapan, “Saya Indonesia... saya Pancasila.”

Sementara itu, Anies Baswedan, di sisi lain, diinterpretasikan sebagai perwakilan kelompok santri yang lebih taat dalam menjalankan prinsip-prinsip Islam. Ia dikenal sebagai figur yang memiliki kedekatan dengan nilai-nilai keagamaan dalam gaya kepemimpinannya.

Di lain pihak, Prabowo Subianto dianggap sebagai perwakilan dari kelompok priyayi. Kelompok yang terdiri dari golongan elite dengan kekayaan dan status sosial lebih tinggi. Meskipun tidak secara eksplisit abangan maupun santri, namun kecenderungannya kurang menonjolkan aspek keagamaan dalam pandangan politiknya.

Dalam karyanya yang terkenal, The Religion of Java, Geertz menggambarkan perbedaan dalam praktik keagamaan di masyarakat Jawa. Ia menjelaskan kelompok abangan yang cenderung memiliki keyakinan sinkretis dengan menggabungkan unsur-unsur keagamaan lokal dan agama resmi. Sementara santri menekankan kepatuhan pada prinsip-prinsip Islam yang lebih puritan (murni). Tentu saja perbedaan pandangan keagamaan itu, menurut Geertz, bisa memengaruhi pandangan politik dan arah dukungan masyarakat pada pemilu.

Dalam Pilpres 2019, perbedaan pandangan keagamaan di antara pendukung Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto pun terlihat.

Pendukung Jokowi rata-rata melihat dirinya sebagai sosok yang lebih inklusif terhadap nilai-nilai keagamaan. Mereka mengapresiasi keberagaman dan toleransi agama. Di sisi lain, pendukung Prabowo cenderung melihat dirinya sebagai orang Islam yang menegakkan prinsip-prinsip agama dengan tegas. Dalam hal ini, mereka melihat Prabowo seolah sebagai sosok yang konservatif dalam mendukung nilai-nilai keagamaan.

Namun, situasi Pilpres 2024 memperlihatkan dinamika yang berbeda dari Pemilu sebelumnya. Terlihat bahwa pendukung Anies Baswedan yang sekarang cenderung lebih memiliki orientasi keagamaan kuat. Mereka sebelumnya adalah pendukung Prabowo Subianto namun berubah sikap karena ketidaksetujuan terhadap koalisi antara Prabowo dan Jokowi. Terlebih, disebabkan oleh penunjukan Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo.

Di sisi lain, pendukung Ganjar Pranowo adalah mereka yang tidak menyukai Jokowi saat ini. Mereka merasa tidak puas atas kolaborasi Jokowi dan Prabowo. Mereka kini semakin tegak lurus mendukung Ganjar yang sebelumnya cukup galau menghadapi keterbelahan orientasi antara Jokowi atau Prabowo.

Lover Jokowi menjadi hater Jokowi karena hate dengan Prabowo kemudian menjadi lover Ganjar. Lover Prabowo menjadi lover Anies karena hate Prabowo koalisi dengan Jokowi. Lover Jokowi pindah haluan menjadi lover Prabowo karena Gibran.

Perubahan sikap para pendukung tersebut menunjukkan bahwa pergeseran dukungan tidak hanya disebabkan oleh figur atau calon yang dipilih. Ini menunjukkan bahwa teori Geertz tentang masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh nilai-nilai penting, seperti keyakinan keagamaan, menemukan pembenarannya. Karena, di balik simbol-simbol politik itu terdapat makna yang dapat dipahami oleh masyarakat Jawa, baik yang abangan, santri, atau pun priyayi.

Pendukung Anies yang tadinya mendukung Prabowo, namun berubah sikap karena ketidaksukaan terhadap keterlibatan Prabowo dalam koalisi dengan Jokowi, menunjukkan pergeseran dukungan berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini. Sementara itu, pendukung Ganjar yang awalnya memiliki keraguan antara Jokowi atau Prabowo, kini lebih teguh dalam mendukung Ganjar, karena ketidakpuasan terhadap kolaborasi antara Jokowi dan Prabowo.

Perubahan pola dukungan itu menegaskan bahwa pergeseran pemilih tidak hanya disebabkan oleh tokoh atau calon itu sendiri, melainkan juga oleh nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat, terutama nilai-nilai keagamaan yang menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan politik mereka.

Tingkat keberhasilan kampanye calon pada Pilpres akan sia-sia jika tidak mempertimbangkan peran nilai-nilai keagamaan sebagai kekuatan utama di balik pergeseran politik. Sebab, perubahan pendukung dari satu kandidat ke kandidat lainnya tidak hanya dipicu oleh sosok atau calon itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh pemahaman mendalam akan nilai-nilai keagamaan yang dianggap penting oleh masyarakat Jawa bahkan Indonesia pada umumnya.

Teori-teori sosial, seperti yang diuraikan oleh Clifford Geertz tentang abangan, santri, dan priyayi, mencerminkan kompleksitas dinamika politik. Perubahan pendukung dari Jokowi ke Prabowo lalu dari Prabowo ke Anies dan dinamika lainnya menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan memainkan peran sentral dalam menentukan arah politik.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam politik merupakan langkah awal yang sangat penting. Ini menegaskan bahwa politik bukan hanya mengenai figur, kekuasaan, atau uang semata, melainkan juga tentang pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai yang mereka yakini.

Perubahan pola dukungan dalam Pilpres mencerminkan kompleksitas masyarakat dalam menanggapi dinamika politik, menunjukkan bahwa pemilihan politik memiliki dimensi yang dalam dan tidak selalu dapat diprediksi. Fenomena yang membuka pintu bagi studi lebih lanjut guna memahami peran nilai-nilai keagamaan dalam dinamika perubahan politik yang lebih luas dalam konteks demokrasi di Indonesia.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik