Peluncuran buku 'Memoar Aktivis LSM' karya Agus Dodi Sugiartoto, Jumat (8/8/2025). (Arif Giyanto)
Peluncuran Buku ‘Memoar Aktivis LSM’ Demi Asa Gerakan Lingkungan dari Masa ke Masa : Peluncuran buku 'Memoar Aktivis LSM' karya Agus Dodi Sugiartoto, Jumat (8/8/2025). (Arif Giyanto)
Peluncuran buku 'Memoar Aktivis LSM' karya Agus Dodi Sugiartoto, Jumat (8/8/2025). (Arif Giyanto)

Peluncuran Buku ‘Memoar Aktivis LSM’ Demi Asa Gerakan Lingkungan dari Masa ke Masa

Penulis mengisahkan perjalanan panjangnya sebagai aktivis LSM sedari awal hingga panggung global.


BLULUKAN, Colomadu | Di tengah suasana hangat Restoran Boga Bogi, Colomadu, Karanganyar, Jumat (8/8/2025), seorang tokoh pergerakan lingkungan hidup di Kota Surakarta dan sekitarnya, Agus Dodi Sugiartoto—akrab disapa Sido—meluncurkan buku karyanya bertajuk Memoar Aktivis LSM: Masyarakat, Lingkungan, dan Demokrasi.

Buku terbitan Pandiva ini bukan sekadar catatan perjalanan hidup, melainkan jejak panjang perjuangan dari seorang aktivis yang telah meniti jalan perlawanan sejak Era Reformasi 1998.

Perjalanan Agus Dodi, dari aktivis lokal Soloraya hingga jejaring internasional, membuktikan bahwa gerakan dari akar rumput bisa berdampak global. Dari aktivitas lokal ke panggung dunia. Buku memoarnya menjadi pengingat bahwa perjuangan bukan sekadar aksi di jalanan, tetapi proses panjang membangun kesadaran, jaringan, dan solusi yang nyata.

Bagi Agus Dodi, perjuangan NGO bisa diringkas dalam tiga kata kunci, yakni empowering, networking, dan advokasi, disingkat ERNA. Semacam filosofi perjuangan, Prinsip ini telah membawanya terlibat dalam isu-isu besar bahkan mempengaruhi kebijakan Bank Dunia.

“Menjadi intelektual organik itu penting. Kita harus membumi, tapi tetap punya visi besar,” ucap Sido.

Menurutnya, aktivis LSM tidak hanya membela kelestarian alam, tetapi juga memperjuangkan hak-hak masyarakat yang hidup dari sumber daya tersebut.

Sementara Hari Mulyadi berpandangan, gerakan lingkungan sering menjadi pintu masuk bagi perjuangan yang lebih luas, termasuk isu sosial dan demokrasi. Baginya, kunci utama perjuangan NGO atau LSM adalah basis riset yang kuat.

“Jangan berjuang hanya bermodal teriak. Data itu senjata. Dari riset. Kita dapat melakukan analisis sosial untuk mengetahui kebutuhan nyata masyarakat,” tegasnya.

Ia juga menekankan pentingnya kemandirian NGO dan ‘persekongkolan hati nurani’, baik di pemerintah maupun masyarakat, sebagai kekuatan moral yang tidak tergantikan.

Lebih spesifik, Adi Nugroho menerangkan pentingnya gerakan yang organik dan akuntabel. WALHI bukan hanya bicara degradasi lingkungan, tetapi juga hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan pengelolaan sumber daya alam.

“Gerakan harus organik. Kalau organisasi kita sehat, banyak pihak yang ingin bekerja sama. Donor akan mencari mitra yang terpercaya dan akuntabel,” kata Adi.

Refleksi Lintas Generasi

Peluncuran buku diinisiasi oleh Yayasan Masyarakat Indonesia Hijau (YMIH) dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah, menghadirkan tokoh-tokoh penting gerakan lingkungan, seperti Hari Mulyadi (LPTP), Presidium WALHI Jawa Tengah 1990-1992); Adi Nugroho (Yayasan Dian Pradikta Indonesia, serta Direktur Eksekutif WALHI Jawa Tengah 2003-2005); serta Fahmi Bastian (Direktur WALHI Jawa Tengah).

Dalam sambutannya, Fahmi Bastian menyampaikan tujuan acara sebagai momentum penting untuk merefleksikan kembali gerakan lingkungan di masa kini. Sebuah refleksi gerakan lintas generasi.

“Kita perlu melihat alur sejarah yang tertuang dalam buku ini. Meskipun generasinya berbeda, ruh perjuangan para pendahulu sangat relevan untuk dihidupkan kembali,” ujar Fahmi.

Penulis: Amri Yahya
Editor: Arif Giyanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik