Fort Engelenburg atau Benteng (Lodji) Klaten. (Tropenmuseum)
Tapal Zaman Klaten Bernama Fort Engelenburg : Fort Engelenburg atau Benteng (Lodji) Klaten. (Tropenmuseum)
Fort Engelenburg atau Benteng (Lodji) Klaten. (Tropenmuseum)

Tapal Zaman Klaten Bernama Fort Engelenburg

Fort Engelenburg dalam sejarahnya menjadi ‘brand’ pengenal Klaten yang efektif.


Sentot Suparna
Founder Lori Gondang Library. Tinggal di Kota Klaten.

Fort Engelenburg, nama lain dari Benteng (lodji) Klaten, pernah berdiri di tengah Kota Klaten, antara awal abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, di lokasi bekas benteng tersebut berdiri Masjid Raya Klaten. Tepatnya di sebelah utara alun-alun Klaten dan di sebelah selatan Plaza Klaten.

Pada awal berdirinya, di benteng tersebut ditempatkan satu kompi pasukan belanda, dipimpin seorang berpangkat Litnan dan bernama Pitlar. Kompi pasukan ini bertugas menjaga keamanan daerah Klaten, terutama jalur transportasi Surakarta-Yogyakarta.

Fort Engelenburg mulai dibangun tanggal 28 Juli 1804, atas prakarsa bersama antara Pemerintah Kolonial Belanda, Keraton Kasunanan Surakarta, dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pada tahun 1806, pembangunan benteng dilanjutkan dengan pembuatan gapura. Biaya pembangunan benteng serta penempatan pasukan Belanda dibebankan kepada Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Latar belakang pembangunan Benteng Klaten adalah situasi keamanan daerah yang memburuk akibat ketidakharmonisan hubungan antara Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran di satu pihak, dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta di pihak lainya. Situasi ini terjadi pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Ketidakharmonisan hubungan berkaitan dengan peristiwa palihan nagari (Perjanjian Giyanti) tahun 1755, yaitu pembagian wilayah Keraton Mataram Surakarta menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Rangkaian peristiwa yang lain adalah berdirinya Kadipaten Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga) tahun 1757.

Meskipun pembagian wilayah masing-masing kerajaan sudah menjadi kesepakatan, namun batas-batas wilayah belum ditentukan secara tegas. Selain itu, ada beberapa wilayah yang masuk dalam satu kepemilikan, tetapi letaknya terpencar (tumpang caruk). Kondisi tersebut sering kali memicu timbulnya perang antar-desa, tetapi tidak berkembang dalam skala yang lebih besar. Semua itu erat kaitannya pula dengan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda atas tanah-tanah vorstenlanden yang ada di daerah.

Ketika Pulau Jawa diperintah oleh Daendels tahun 1808-1811, sempat terjadi peristiwa yang hampir memicu timbulnya perang. Waktu itu pasukan Belanda ditarik dari Lodji Klaten dan digantikan prajurit Prangwadanan (Mangkunegaran). Peristiwa yang lantas membuat Sultan di Keraton Yogyakarta tersinggung dan mengancam akan menyerbu Lodji Klaten. Akhirnya, prajurit Prangwadanan ditarik dari Benteng Klaten dan perang dapat dihindarkan.

Kabupaten Pangreh Praja

Peran dan fungsi Fort Engelenburg mengalami pasang surut dan pernah digunakan sebagai rumah tahanan. Dinamika itu sejalan dengan perkembangan kebijakan Keraton Kasunanan Surakarta dan Pemerintah Kolonial Belanda.

Sejak 12 Oktober 1840, Keraton Kasunanan Surakarta membentuk sebuah lembaga di daerah yang disebut Pos Tundan, dipimpin seorang abdi dalem berpangkat Tumenggung, setara dengan pangkat seorang Bupati. Pembentukan Pos Tundan kemudian disempurnakan menjadi Kabupaten Gunung Polisi pada 5 Juni 1847.

Selanjutnya, pada 12 Oktober 1918, diubah lagi menjadi Kabupaten Pangreh Praja dengan kewenangan yang lebih luas meliputi bidang keamanan, hukum, dan pemerintahan. Dengan demikian, peran dan fungsi benteng (lodji) sebagai basis keamanan dan cikal bakal lembaga daerah semakin pudar.

Berdirinya benteng (lodji) di Klaten sebenarnya lebih merupakan simbol kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda dibanding kekuasaan tradisional (keraton). Pembangunan benteng (lodji) merupakan kebiasaan bangsa barat, baik Portugis maupun Belanda, sebagai simbol kekuasaan di daerah jajahannya.

Lebih dari itu, dengan menempatkan Asisten Residen di Kabupaten Gunung Polisi maupun Kabupaten Pangreh Praja, Pemerintah Kolonial Belanda berupaya menerapkan sistem indirect rule (pemerintahan tidak langsung). Sistem ini mengarah pada upaya pemisahan kawula dari pengaruh rajanya melalui para bupati di daerah.

Secara fisik, sisa-sisa bangunan Fort Engelenburg masih bertahan hingga pasca-Kemerdekaan Indonesia. Sekarang, saksi sejarah berdirinya benteng (lodji) Klaten sudah jarang ditemukan.

Awal pembangunan dan berdirinya Benteng (lodji) Klaten tercatat di berbagai sumber sejarah yang valid, dan merupakan momentum penting di mana sebuah desa kecil bernama Klaten mulai dikenal secara luas.

Sejak saat itu, Benteng (lodji) Klaten menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat sekitar sekaligus mendorong pertumbuhan kota dan daerah Klaten. Selain sebagai basis militer, Benteng (lodji) Klaten merupakan simbol kekuasaan dan pusat administrasi seputar urusan-urusan di tingkat daerah (cikal bakal pemerintahan daerah).

Atas beberapa pertimbangan tersebut, tanggal awal pembangunan Benteng (lodji) Klaten, 28 Juli 1804, ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Klaten sebagai hari lahir Kabupaten Klaten.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik