Salah satu sudut bangunan utama Pabrik Gula Gondang Baru. (Arif Gunawan)
Titi Kala Mangsa Industri Gula Nasional : Salah satu sudut bangunan utama Pabrik Gula Gondang Baru. (Arif Gunawan)
Salah satu sudut bangunan utama Pabrik Gula Gondang Baru. (Arif Gunawan)

Titi Kala Mangsa Industri Gula Nasional

Political will, perbaikan manajemen industri gula nasional, dan dukungan desa menjadi kunci swasembada gula.


Sentot Suparna
Founder Lori Gondang Library. Tinggal di Kota Klaten.

Sekira tiga tahun lalu, tokoh industri gula, Soedjai Kartasasmita, menyuarakan keprihatinannya. Setelah 75 tahun Indonesia merdeka, semangat swasembada gula nasional mulai pudar. Hal itu disampaikan melalui tabloid Sinar Tani terbitan 11 Agustus 2020.

Soedjai Kartasasmita adalah figur di balik revitalisasi industri gula Pemerintah Orde Baru di era tahun 1970-an. Meskipun swasembada gula belum sempat terwujud, kala itu Indonesia mampu memenuhi kebutuhan gula konsumsi. Pada tahun 1984, produksi gula nasional mencapai lebih dari 2 juta ton.

Bak gayung bersambut, pada medio Juni 2021, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (Persero), Muhammad Abdul Ghani, seolah menanggapi keprihatinan Soedjai Kartasasmita itu. Melalui beberapa media, Muhammad Abdul Ghani menyampaikan rencana pembentukan Single Entity Gula (SEG) untuk menjawab tantangan swasembada gula tahun 2025.

SEG merupakan program restrukturisasi di lingkup Holding BUMN Perkebunan (PTPN Group). Melalui SEG, pengelolaan industri gula BUMN berdiri sendiri sebagai perusahaan baru (New Co), terpisah dengan pengelolaan komoditas sawit, karet, dan komoditas perkebunan lainya.

PTPN III (Persero) dapat menggandeng investor untuk merevitalisasi industri gula BUMN. Dibutuhkan dana sebesar Rp23 trilliun untuk program revitalisasi itu. Muhammad Abdul Ghani optimis, pada tahun 2025, SEG mampu memproduksi gula sebanyak dua kali lipat dari produksi gula Pabrik Gula (PG) BUMN ketika itu.

Dari 45 PG yang ada ditargetkan mampu memproduksi 2 juta ton gula per tahun, dua kali lipat dari target produksi tahun 2020, yaitu 900 ribu ton. Pada akhir penyampaiannya, Ghani hendak mewujudkan mimpi, mengembalikan kejayaan gula Indonesia tahun 1930-an.

Pembentukan SEG menjadi momentum pengulangan sejarah industri gula nasional. Langkah PTPN III (Persero) sama seperti yang dilakukan Soedjai Kartasasmita pada tahun 1971. Latar belakangnya pun tidak jauh berbeda. Kala itu, industri gula nasional semasa Orde Lama sedang mengalami keterpurukan seperti yang saat ini terjadi pada industri gula BUMN.

Permasalahan yang dihadapi juga identik, yakni kekurangan areal untuk pemenuhan bahan baku tebu (BBT), ditabah kondisi PG-PG yang mulai uzur. Demikian juga strategi yang ditempuh, seperti perluasan areal, pendirian PG baru, dan revitalisasi PG existing, termasuk keterlibatan investor di dalam pelaksanaannya.

Pada era Orde Baru, dukungan pemerintah terhadap industri gula sangatlah besar. Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang didukung Inpres No. 9 tahun 1975 menjamin ketersediaan areal untuk pemenuhan BBT. Bidang tata niaga gula relatif stabil, karena dikelola oleh Bulog sebagai distributor tunggal. Harga gula ketika itu dua kali lipat harga gula saat ini.

Memasuki era Reformasi, terjadi perubahan besar dalam iklim pergulaan nasional. Pelaku gula harus beradaptasi menghadapi sistem ekonomi global dengan tingkat kompetisi tinggi. Kondisi industri gula BUMN semakin berat dengan berdirinya PG-PG swasta yang lebih siap menghadapi persaingan bebas. Perlahan tapi pasti, industri gula BUMN semakin kehilangan kompetensi.

Dalam dunia gula, SEG bukan pemain baru melainkan eksponen lama yang mengalami ‘metamorfosis’, sehingga diharapkan mampu segera beradaptasi. Namun, mewujudkan impian Muhammad Abdul Ghani, tidak semudah membalik telapak tangan. Pada kenyataanya, selama 50 tahun sejak era Orde Baru, bangsa ini belum mampu mewujudkan swasembada gula. Sebuah ironi bila dikorelasikan dengan segala potensi yang ada di Indonesia. Bahkan di kurun waktu satu dekade terakhir, impor gula Indonesia sangatlah tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Dalam beberapa tahap, program SEG akhirnya terealisasi dengan terbentuknya PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), pada tanggal 17 Agustus 2021. Saham perusahaan dimiliki oleh PTPN III (Persero) Holding Perkebunan dan PTPN XI. Perusahaan ini memulai operasi khususnya pada tahun giling 2023.

PT SGN atau lebih sering dikenal dengan sebutan Sugar Co adalah sub-holding komoditas gula PTPN III (Persero) Holding Perkebunan yang ditugaskan untuk mengelola seluruh PG yang ada di lingkungan PTPN Group. Sugar Co didirikan sebagai wujud dari salah satu proyek strategis nasional (PSN), juga merupakan satu dari 88 Program Kementerian BUMN tahun 2020-2023 untuk mendukung akselerasi Program Ketahanan Pangan, khususnya swasembada gula nasional.

Impian Kejayaan Gula

Lantas mungkinkah terwujud impian tentang kejayaan gula itu? Ataukah polemik industri gula saat ini akan tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan selamanya? Pertanyaan yang semestinya bukan hanya tertuju pada ‘pelaku gula’, namun juga segenap rakyat Indonesia.

Bukankah kejayaan gula pada tahun 1930-an merupakan buah karya kaum imperialis-kapitalis Eropa yang ada di Hindia Belanda? Saat ini, mewujudkan kembali warisan kejayaan itu menjadi tantangan bangsa Indonesia.

Polemik industri gula di Indonesia bukan bersumber pada permasalahan teknis saja. Mendirikan sebuah Pabrik Gula (off farm) lebih sederhana dibanding pemenuhan bahan bakunya (on farm). Bidang on farm lebih sering menghadapi permasalahan non-teknis dan di luar kendali. Kesulitan pengadaan areal, kelangkaan pupuk, persaingan bahan baku tebu (BBT), dan masalah lainnya. Demikian pula karut marut tata niaga gula, dari tahun ke tahun selalu menjadi ‘momok’ bagi petani tebu dan Pabrik Gula.

Salah satu latar belakang pembentukan SEG adalah krisis BBT khususnya di Pulau Jawa. Keterbatasan jumlah BBT dibanding kapasitas Pabrik Gula yang ada, menyebabkan persaiangan atau perebutan tidak sehat. Pabrik Gula dengan performance tinggi umumnya mendominasi perolehan BBT, karena mampu menjangkau wilayah yang lebih luas. Ironisnya, persaingan itu juga terjadi antar-sesama Pabrik Gula BUMN.

Kebijakan sebagai langkah antisipasi terhadap persaingan itu sama sakali tidak ada. Akhirnya, PG-PG yang tidak memiliki performance standar, dari tahun ke tahun kemampuan operasionalnya menjadi semakin lemah.

Rata-rata Pabrik Gula di Pulau Jawa menggantungkan ketersediaan BBT pada petani. Persaingan BBT yang selalu terjadi menyebabkan hubungan kemitraan antara Pabrik Gula dan petani tebu dalam satu wilayah binaan menjadi semu dan labil. Demikian pula berbagai program binaan petani tebu menjadi tidak efektif. Kondisi ini merupakan salah satu gambaran ketidakseriusan pengelolaan sebuah industri gula.

Dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir, penyusutan jumlah BBT di Jawa Tengah, misalnya, mencapai lebih dari 40 persen, menyusul penutupan empat Pabrik Gula milik PTPN IX. Fenomena ini identik dengan situasi yang terjadi tahun 1998.

Dengan beberapa alasan, para petani tebu memilih untuk beralih profesi atau alih komoditas ke budidaya tanaman lain. Sebagian petani tebu beranggapan bahwa tata kelola industri gula sudah berbeda, tidak seperti harapan mereka.

Sebagian lainnya beralih komoditas, karena faktor psikis dan emosional. Mereka memandang kemitraan antara petani tebu dengan Pabrik Gula setempat merupakan ikatan batin yang tidak mudah dipisahkan. Sebuah ikatan kepentingan yang berkaitan dengan nafkah dan penghidupan puluhan tahun lamanya.

Penurunan jumlah BBT menjadi kontraproduktif terhadap program peningkatan kapasitas PG-PG BUMN yang sedang digalakkan. Multiplier effect yang menimbulkan kerugian operasional maupun finansial. Belakangan, persaingan BBT tidak lagi seketat beberapa tahun yang lalu, karena banyak PG BUMN telah di-beku-operasional-kan atau BKO.

Rencana SEG memperluas areal dengan pola konversi tanaman karet dan lahan Perhutani, bukan merupakan hal baru di industri gula BUMN. Meskipun implementasinya di Pulau Jawa belum mampu menunjukkan pencapaian seperti yang diharapkan. Produksi rata-rata tanaman ratoon tidak lebih dari 70 ton per hektare.

Mekanisasi dan kesiapan infrastruktur menjadi kata kunci yang harus diintensifkan. Di samping itu, penerapan kultur teknis tanaman tebu membutuhkan langkah-langkah inovasi, menyesuaikan topografi dan kondisi lingkungan yang berbeda.

Peran Penting Pemerintah Desa

Untuk menjalankan operasionalnya, SEG tidak dapat terpisah dari berbagai komponen daerah. Hal ini mengingatkan kita pada pola revitalisasi industri gula zaman Orde Baru. Saat itu, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa sangat berperan terhadap operasional Pabrik Gula.

Sejalan dengan semangat desentralisasi, sudah semestinya segenap komponen daerah dan masyarakat terlibat langsung dalam mewujudkan swasembada gula. Pola-pola bottom up akan mendorong komponen daerah ikut bertanggung jawab terhadap implementasi kepentingan nasional tersebut.

Semangat transformasi yang sedang digelorakan oleh pemerintah juga mengandung pengertian tentang peningkatan peran daerah terhadap kepentingan nasional. Implementasi program-program SEG diharapkan mampu mengakomodasi pengertian itu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa basis sebuah Pabrik Gula (sugar cane) adalah desa. Merupakan langkah inovatif yang sangat strategis bagi SEG untuk meningkatkan peran dDesa dalam operasional Pabrik Gula.

Saat ini, desa merupakan kekuatan ekonomi yang sedang tumbuh dan sangat berpotensi untuk dikembangkan. Melalui kolaborasi antara Pabrik Gula dan Pemerintah Desa, diharapkan keberlangsungan bidang on farm, pengendalian tata niaga gula, dan prospek hilirisasi akan terwujud.

Pabrik Gula merupakan agroindustri manufaktur yang selalu bersinggungan dengan berbagai kepentingan dalam masyarakat. Operasional Pabrik Gula berawal dari desa dan akan kembali ke desa berupa hasil produksi. Rangkaian proses produksi itu menunjukkan betapa strategis peran dan eksistensi desa terhadap sebuah Pabrik Gula.

Selayaknyalah desa turut memiliki, memberdayakan, dan menjaga keberlangsungan industri gula dalam konteks kepentingan nasional. Dalam konteks yang sama, SEG diharapkan mampu menjadi pelopor transformasi bidang industri gula yang berorientasi pada asas ekonomi kerakyatan.

Kolaborasi Pabrik Gula dan Pemerintah Desa tidak bisa secara spontan diwujudkan. Diperlukan berbagai kajian untuk merumuskan sebuah konsep yang komprehensif dan matang. Terwujudnya swasembada gula nasional melalui konsep kolaborasi itu sekaligus membuktikan bahwa industri gula nasional adalah milik rakyat dan untuk kepentingan rakyat.

Bukan begitu, Bapak-Bapak Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden?


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik