Paralegal Desa, Jembatan Keadilan dari Pinggiran
/ Opini
Masyarakat desa tak perlu lagi takut bila dihadapkan pada masalah-masalah hukum.
Singgih Sugiharto
Pemerhati Desa
Alumnus Fakultas Ekonomi UMS 1996
Pengurus HIPKA Kendal
Seminggu sebelum Penulis mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Paralegal yang diadakan oleh salah satu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) terkemuka Jawa Tengah, YLBH Putra Nusantara, saya bertemu dengan beberapa teman yang bertanya tentang apa itu paralegal.
Sebuah kata yang begitu ‘asing’ terdengar bagi sebagian kalangan awam. Bahkan tidak sedikit penegak hukum yang masih bertanya hal serupa. Umumnya, khalayak lebih familier dengan istilah advokat, pengacara, penasihat hukum, lawyer, dan istilah lain untuk jasa bantuan hukum.
Pada zaman pendudukan Belanda, paralegal lebih dikenal dengan sebutan gemachtegde. Dahulu paralegal lekat dengan sebutan ‘pakrol’ atau asisten pengacara. Sementara di Indonesia, paralegal mulai dikenal sekitar tahun 1975. Beberapa negara mengenal istilah yang hampir sama.
Dalam Peraturan Menteri Hukum Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2025 disebutkan bahwa paralegal adalah setiap orang yang memberikan bantuan hukum berdasarkan penugasan dari pemberi bantuan hukum. Paralegal tentunya sudah mengikuti pendidikan dan latihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang ada.
Pada Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) hingga ke tingkat desa. Desa sebagai wilayah masyarakat hukum terkecil membutuhkan paralegal. Istilah tepatnya, ‘paralegal desa’.
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Jo UU No 3 Tahun 2024, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan atau hak tradisional.
Kekhususan desa inilah yang menjadikan desa berciri khas tersendiri dibanding dengan pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat; terletak pada statusnya sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki otonomi asli.
Desa bukan semata-mata unit administratif bawahan, melainkan entitas yang diakui keberadaannya berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat setempat. Kekhususan desa tersebut kemudian memungkinkan perbedaan upaya penanganan persoalan hukum yang terjadi di masyarakat desa.
Bagi sebagian masyarakat desa, pemimpin desa—dalam hal ini kepala desa, kepala adat, kepala distrik, dan perangkat desa atau pamong desa—masih sangat dihargai dan menjadi ‘rujukan keadilan’ bila terjadi persoalan masyarakat, baik itu menyangkut persoalan hukum maupun persoalan di luar hukum. Kepatuhan masyarakat akan ‘fatwa’ pemimpin desa bisa menjadi ‘fatwa hukum’ yang berlaku secara lokal.
Namun, dengan berkembangnya teknologi, pergeseran budaya yang begitu cepat menimbulkan bertambahnya masalah di desa. Masalah itu tidak hanya bisa ditangani dengan kebiasaan adat dan budaya lama. Desa ber kewajiban menyediakan ‘tenaga ahli’ terdidik dan melek hukum dalam rangka menerima ‘aduan’ hukum dari masyarakat. Di sinilah pentingnya paralegal desa.
Gayung bersambut. Kementerian Hukum secara maraton mendorong dan menyosialisasikan pembentukan Posbankum sampai tingkat desa/kelurahan dalam upaya memperluas akses keadilan. Konon, di Jawa Tengah, dari 8.563 desa/kelurahan kini sudah resmi memiliki Posbankum. Artinya, tercapai 100 persen. Selain bukti nyata impelementasi Asta Cita Presiden, lebih dari itu langkah tersebut memperluas akses keadilan bagi masyarakat desa.
Namun persoalannya, setelah dibentuk Posbankum, apakah pemerintah—dalam hal ini pemerintah desa—telah membekali ‘penjaga hukum’ di desa dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan ilmu hukum yang memadai?
Sebab, akan menjadi masalah tersendiri jika kemudian Posbankum hanya semacam menjadi ‘rumah tak berpenghuni’. Atau jika berpenghuni pun, tuan rumah tidak mengetahui apa-apa yang akan dilakukan. Di sinilah pentingnya paralegal desa hadir.
Jembatan Keadilan
Selama ini, masyarakat masih menganggap hukum menjadi hal yang menakutkan. Banyak warga desa yang bahkan takut datang ke kantor polisi karena mengira semua urusan hukum pasti berakhir dengan biaya besar. Padahal, banyak persoalan di desa yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara sederhana dan bebas biaya, asalkan ada orang yang mengerti bagaimana cara menanganinya.
Nah, paralegal desa dapat memainkan peran penting. Mereka menjadi jembatan keadilan bagi masyarakat. Ketika ada konflik warisan, sengketa tanah, atau kasus kekerasan dalam rumah tangga, paralegal desa membantu menjelaskan hak-hak warga dan memberi tahu langkah apa yang bisa ditempuh. Mereka juga menjadi teman bicara bagi warga yang bingung atau takut menghadapi proses hukum.
Bahkan lebih dari itu, paralegal bisa menjadi ‘mediator perdamaian’ di tengah masyarakat. Dengan memahami nilai-nilai lokal dan adat setempat, mereka bisa menengahi konflik tanpa harus membawa semua masalah ke meja hijau. Pendekatan yang humanis dan berbasis kearifan lokal membuat paralegal lebih diterima oleh masyarakat. Selanjutnya, menjadi kewajiban bagi pemangku kebijakan agar membekali paralegal dengan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan perundangan.
Di balik peran sebagai juru ‘hakam’ di desa, paralegal memiliki kewenangan bantuan non-litigasi (di luar pengadilan) yang beragam, dari penyuluhan dan konsultasi hukum, investigasi perkara, penelitian hukum, mediasi dan negosiasi, sampai dengan pemberdayaan masyarakat serta drafting dokumen hukum.
Wewenang tersebut tidak serta-merta menjadikan paralegal jemawa akan perannya. Sebab, kembali pada tujuan awal bahwa terbentuknya paralegal karena masih minimnya jumlah advokat yang tergabung dalam organisasi bantuan hukum (OBH) atau yang juga dikenal dengan lembaga bantuan hukum (LBH). Persebaran OBH dan LBH tidak merata. Biasanya, terpusat di ibu kota kabupaten dan provinsi.
Dengan demikian, paralegal desa diharapkan mampu memberikan keteduhan bagi masyarakat desa, menjadi teman sharing dan diskusi, serta wadah mencari solusi bagi warga, sehingga tercipta masyakarat desa yang kondusif; jauh dari persoalan hukum. Masyarakat juga lebih mudah dalam mengakses keadilan. Tak lupa, paralegal desa dapat membantu kelompok rentan, miskin, marginal, dan minoritas.
Editor: Astama Izqi Winata
