

Menyelami Estetika Seni Profetik Islam
/ Opini
Karya estetis tidak hanya menyentuh mata dan telinga, tetapi juga hati dan jiwa.
Wawan Kardiyanto
Akademisi ISI Surakarta. Alumnus FAI UMS. Pendiri Center for Unity of Sciences.
Editor: Rahma Frida
Memahami estetika, pikiran kita tentu akan terkoneksi dengan gambaran keindahan, seni, dan nilai. Seperti halnya keindahan arsitektur bangunan, lantunan sajak, syair-syair puisi dan prosa, alunan musik yang syahdu, dan berbagai macam lainnya.
Mengenal estetika lebih mendalam, kita bisa menelaah pemikiran tokoh Muslim. Salah satunya, Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi atau populer dengan nama al-Farabi, yang oleh kalangan bangsa Barat dikenal sebagai Alpharabius. Tokoh filsuf yang lahir pada tahun 872 M ini membawa konsep metafisika.
Musik dan seni memiliki pengaruh terhadap manusia. Al-Farabi menyusun 10 hierarki keindahan dan manusia berada di nomor 10. Di urutan ke-10, menurutnya, keindahan sejati datang dari pancaran cahaya Ilahi. Al-Farabi memandang bahwa semua benda, alam, karya seni, dan segalanya akan menjadi indah bilamana ikut berpartisipasi dalam keindahan milik Ilahi.
Bagaimana pendapat tokoh lainnya? Dalam hal ini, Ibnu Sina juga memaparkan perspektifnya bahwa semakin indah suatu hal, akan semakin intelektual karya seni tersebut. Menurutnya, keindahan tertinggi adalah milik Yang Maha Esa, karena dari Tuhan semua keindahan dan ilmu berasal. Tuhan menjadi sumber semua kodrat dan semua harmoni.
Pemikiran Ibnu Sina tidak jauh berbeda dari al-Farabi, di mana estetika keindahan dipandang sebagai suatu hal yang berusaha mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Pencarian keindahan sejati merupakan pencarian kodrat yang sebenarnya. Cara ini menjadi salah satu alternatif bagi manusia untuk mengenali diri dan Sang Penciptanya.
Spiritualitas dan Seni Islam
Keindahan memang hanya bisa dirasakan. Eksistensinya di luar diri manusia. Kita bisa melihat keindahan bila memandang suatu hal di luar diri, seperti mendengarkan alunan musik, melihat karya seni, cipta, dan karsa manusia, bahkan melihat panorama alam ciptaan Tuhan dan gugusan bintang-bintang di langit malam. Keindahan sering melekat dalam estetika (Gazalba, 1977). Sebagaimana firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan (berupa) bintang-bintang.” (Q.S. ash-Shaffat: 6)
Di dalam estetika seni profetik Islam, terdapat nilai-nilai ilahiah dan dimensi spiritual yang dapat mengantarkan manusia menuju keindahan yang hakiki, yakni Dzat Penciptanya. Tentang keindahan, Allah SWT juga berfirman dalam surat al-Hijr ayat 16,
“Sungguh, Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya.” (Q.S. al-Hijr: 16)
Ayat tersebut merupakan cerminan penjelasan akan keindahan ciptaan Allah SWT. Keindahan yang menenangkan hati, menginspirasi manusia agar meningkatkan kualitas spiritual diri. Tuhan menciptakan karya seni alam semesta yang tiada duanya di dunia ini.
Dengan kata lain, seni dalam pandangan Islam mengandung banyak nilai etika yang bisa kita renungi melalui kegiatan-kegiatan spiritual. Seni menyuarakan nilai-nilai ketuhanan yang secara tidak langsung dipandang sebagai alternatif menyuarakan misi profetik atau misi kenabian, serta membawa manusia menuju jalan keindahan hidup, kedamaian, dan kebaikan. Dalam konteks seni, ilmu, dan kehidupan sosial, misi profetik berperan dalam membentuk individu dan masyarakat yang lebih baik secara moral, spiritual, dan juga sosial.
Penjabaran di atas merupakan pengenalan sekilas tentang seni profetik Islam yang bukan hanya mencakup keindahan visual atau estetika, melainkan sebuah seni yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesadaran sosial, dan lainnya.
Di dalam seni profetik Islam, terdapat tiga prinsip utama yang menjadi pijakannya. Pertama, keimanan kepada Allah (tauhid), artinya seni merupakan refleksi kebesaran dan keindahan Tuhan.
Kedua, kemanusiaan (insaniah), artinya seni harus membawa manfaat bagi kehidupan manusia serta mampu mengangkat nilai moral dan etika.
Ketiga, keindahan dan kesempurnaan (ihsan), yang lebih mengedepankan harmoni, kebaikan, dan keseimbangan hidup.
Sejatinya, pengalaman keindahan telah banyak dialami oleh seseorang selama hidupnya, meskipun masing-masing individu berbeda intensitas dan kualitas pengalaman keindahan yang dirasakan. Dengan kata lain, kualitas penilaian indah setiap orang berbeda-beda.
Begitu juga dengan pengalaman estetika yang berpusat pada perasaan manusia serta menggugah dan menyegarkan relung jiwa. Pada dasarnya, pengalaman estetika yang berdimensi spiritual merupakan basis pemikiran imajinatif, di mana seseorang menyatu dalam nuansa (Kardiyanto, 2019).
Membahas estetika, tak jarang juga ditautkan dengan pemikiran tentang sejauh mana keindahan dapat tercipta, memberi rasa, dan memberi evaluasi terhadap keindahan itu—antara baik-buruk atau indah-jelek.
Kajian tersebut juga dibahas mendalam dalam rumpun ilmu Filsafat Estetika. Namun, satu hal yang perlu kita ketahui bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Standar estetika indah tidak bisa dikategorikan dengan komposisi atau standar tertentu. Apalagi pengalaman setiap manusia yang berbeda-beda, baik dari latar belakang daerah hingga budayanya.
Kita juga bisa merujuk pada gagasan dari Seyyed Hossein Nasr bahwa estetika berhubungan dengan seni. Menurutnya, seni bukanlah untuk kepentingan dirinya. Ketika harus memaknai, tidak ada istilah I'art pour I'art (Yudi, 2019). Seni dikaji dengan mengekspresikan sesuatu yang spiritual, mencerminkan tauhid sehingga mampu menyadarkan dan menuntun manusia untuk kembali kepada Allah SWT.
Pemikiran Nasr lebih cenderung bersifat perenial, yakni sudut pandang filsafat agama yang mempercayai adanya nilai dan norma bersifat abadi dalam kehidupan. Dengan kata lain, pandangannya tentang estetika tidak jauh berbeda dari pandangan Ibnu Sina dan al-Farabi bahwa keindahan dilihat dari nilai religius berusaha mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Nilai dan norma yang terkandung dalam setiap hal akan terlihat indah karena mengandung keberkahan.
Lebih dalam lagi, Nasr menyampaikan bahwa seni Islam mengandung tiga hal berikut. Pertama, mencerminkan nilai-nilai religius. Kedua, menjelaskan kualitas-kualitas spiritual yang bersifat santun akibat pengaruh nilai-nilai sufisme. Ketiga, adanya hubungan yang signifikan tentang hal-hal yang lembut atau memberi kesan saling melengkapi formasi antara masjid sebagai tempat ibadah dengan istana sebagai tempat persidangan kenegaraan.
Bentuk implementasi dari tingkah laku dalam seni Islam ini bisa dilihat dari rasa cinta manusia kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Nabi SAW melakukan sesuatu semata berdasarkan keinginan mendapatkan hikmah, dan nilai-nilai spiritual, seperti keberkahan.
Aspek batin dan barakah Nabi Muhammad SAW menjadi sumber seni Islam itu sendiri, di mana tanpa keduanya tidak akan lahir seni Islam. Nabi memberi manifestasi keesaan dalam keserbaragaman ciptaan Tuhan. Bahwa segala realitas yang ada di dunia ini, semuanya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, dan yang sesuai dengan kosmologi Islam.
Seni Kehidupan Habluminallah dan Habluminannas
Ada banyak cara dalam memahami atau mengenal estetika seni Islam. Karena, seni itu pada hakikatnya bersifat luwes, bebas, dan tidak kaku. Karya seni yang dimaksud di sini bisa dengan lantunan musik selawat, arsitektur bangunan masjid, keindahan panorama alam, dan berbagai bentuk kesenian lainnya. Apalagi di Indonesia, yang tetap mengikat kesenian dengan norma-norma berlaku.
Oleh karena itu, manusia bisa menikmati estetika atau keindahan seni dengan cara yang beragam seraya tetap on the track di jalan Allah. Artinya, seni dipandang sebagai bentuk ekspresi dari dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan prinsip-prinsip tauhid yang dapat menuntun manusia kembali kepada Tuhan.
Selain tentang aspek ketauhidan, seni profetik Islam juga mencakup aspek insaniah. Aspek ini dikenal dengan kemanusiaan. Adanya nilai dan norma memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Sebagaimana dalam konsep habluminallah dan habluminannas. Manusia beribadah atau berperilaku berlandaskan niat menjaga silaturahmi dengan sesama manusia serta menjaga hubungan dengan sesama makhluk, termasuk juga dengan alam.
Keindahan dalam perilaku atau bermuamalah (interaksi sosial) dalam Islam tecermin dari perilaku atau akhlak seseorang dengan sesama makhluk. Hubungan horizontal dengan sesama ini ditunjukkan dengan etika sosial yang membentuk hubungan harmonis, saling tolong-menolong, dan saling berbuat baik.
Melihat kembali makna keindahan dalam estetika murni, dipahami sebagai segala sesuatu yang diapresiasi dan diekspresikan dalam bentuk tindakan yang nyata dan fakta. Perilaku yang baik dapat menginspirasi orang lain untuk berbuat baik pula. Dengan kata lain, memberi energi positif terhadap lingkungan.
Mengenai estetika dalam perilaku manusia, kita mengetahui bahwa Islam pada hakikatnya diwarnai oleh ajaran-ajaran tentang keindahan, meskipun dalam sejarah perkembangannya pada masa terdahulu diwarnai dengan peperangan hingga tidak jarang disebut ‘agama para teroris’.
Agama Islam merupakan ajaran yang indah dan lembut, di mana dalam Al-Quran banyak disebutkan ajaran untuk berkasih sayang, menolong, memaafkan, toleransi, dan bersikap luhur dengan sesama manusia dan semua makhluk.
Konsep dasar lain dalam memahami estetika seni profetik Islam, yaitu dengan ihsan (kesempurnaan dan keindahan). Kata ‘ihsan’ di sini dalam definisi terminologi, berarti kebaikan yang sempurna. Dalam penjelasan Hisyam Kabbani al-tahaqquq bi al-‘ubūdiyyah ‘ala musyâhadatihadhrah al-rubūbiyyah bi nūr al-bashīrah. Artinya, puncak pencapaian dari ibadah seorang hamba yang berdasarkan atas penyaksian hakikat ketuhanan melalui penglihatan secara spiritual.
Dalam Islam, posisi ‘ihsan’ berada di urutan ketiga setelah Islam dan iman. Kedudukannya sangat penting. Tanpa ihsan, manusia tidak akan sempurna, karena posisinya sebagai puncak kebajikan atau wujud ketaatan kepada Allah SWT. Kemudian dalam konteks seni estetika profetik Islam, ihsan mencerminkan kesempurnaan dalam keindahan, moralitas, dan makna spiritual dalam seni.
Di samping itu, ada tiga aspek utama yang menghubungkan ihsan dengan estetika profetik Islam, di antaranya keindahan spiritual, keagungan moral, dan kesempurnaan ekspresi. Sebagaimana dalam Q.S. al-Ankabut ayat 69, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.”
Kita bisa menemukan ihsan dalam segala bentuk seni profetik, melalui beberapa hal, seperti tradisi sufi dengan ekspresi cinta kepada Allah dengan melantunkan ayat-ayat atau musik, serta syair-syair yang mengandung keindahan kata dan menginspirasi kebaikan bagi para pendengarnya.
Salah satu hal yang amat penting untuk kita yakini bahwa menyelaraskan seni dengan nilai-nilai ihsan berarti menciptakan karya yang tidak hanya menyentuh mata dan telinga, tetapi juga hati dan jiwa.
Bahan Bacaan
Gazalba, Sidi. 1977. Pandangan Islam tentang Kesenian. Jakarta: Bulan Bintang.
Kardiyanto, Wawan. 2019. ‘Seniman Pewaris Nabi Perspektif Kesenian Profetik dalam Seni Pertunjukan Teater Aliran Realis’. LAKON, Jurnal Pengkajian & Penciptaan Wayang, XVI (1).
Yudi, Iswah. 2019. ‘Estetika dalam Seni Islam Menurut Seyyed Hossein Nasr’. Jurnal Budaya Nusantara, 3 (1), 032-045.