

Menjadi Surakartan, Bila UMS Hendak Mendunia
/ Opini
Masyarakat Surakartan merasa familier pada UMS, karena sejak dahulu, banyak program kerja sama dengan warga sekitar, mulai dari konsultansi kebijakan, hingga kegiatan mahasiswa.
Albicia Hamzah
Alumnus Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penulis buku Menjadi Surakartan.
Editor: Astama Izqi Winata
Ikhtiar mencapai predikat World Class University terasa semarak bagi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Jauh dari nuansa ambisius, karena inheren dengan jalan kehidupan civitas academica-nya. Lekat dengan optimisme, lantaran napas keilmuan yang diembuskan benar-benar bertumpu pada kemaslahatan lebih luas. Dekat di hati, sebab menjadi UMS berarti juga menjadi Muhammadiyah, dengan khazanah amaliah yang cukup.
Adalah Quacquarelli Symonds, perusahaan asal Britania yang mengkhususkan diri pada analisis institusi pendidikan tinggi di seluruh dunia. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1990 oleh Nunzio Quacquarelli tersebut menilai sekira 1.500 institusi perguruan tinggi di seluruh dunia, mulai dari Eropa, Asia, hingga Amerika Utara.
Ribuan perguruan tinggi ini dinilai dalam delapan kategori atau indikator untuk secara efektif menangkap kinerja universitas, termasuk reputasi akademik dan pemberi kerja, rasio fakultas atauu mahasiswa, dan kutipan penelitian. Lebih detail, delapan indikator yang digunakan dalam QS World University Ranking, yakni academic reputation, employer reputation, citations per faculty, faculty student ratio, international students ratio, international faculty ratio, international research network, dan employment outcomes.
Salah satu hasilnya, pada tahun 2017, Quacquarelli Symonds menempatkan UMS pada peringkat kedelapan, dari sembilan perguruan tinggi di Indonesia yang masuk daftar mereka. UMS menjadi satu-satunya perguruan tinggi swasta dalam daftar itu. Dari tahun ke tahun, penilaian demi penilaian pun berubah, berdasarkan fakta terbaru. Namun, UMS tetap memiliki tempat khusus di mata QS World University Ranking.
Barangkali kita bisa memulai pembahasan dengan reviu penting dari Pemerhati Dunia Pendidikan Internasional dan SDM Global, Bimo Sasongko. Dalam karyanya berjudul Gagasan Bimo Sasongko: Indonesia 2030 Sejuta Indonesia di Jantung Dunia, Pendiri Euro Management Indonesia tersebut menulis, dari 254 juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 60 ribu siswa atau mahasiswa yang tengah melanjutkan studi di luar negeri.[1]
Bimo menilai, keadaan ini merupakan perbandingan yang sangat timpang dari segi proporsi jumlah penduduk, apabila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, India, Korea Selatan, Arab Saudi, dan RRT.
Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat. Sebelum menjadi negara maju, bersama masyarakat Eropa, mereka berduyun-duyun datang ke pusat peradaban yang dibangun kaum Muslimin. Sementara peradaban Muslim berhasil mencapai kegemilangan, karena belajar dari peradaban lain yang telah maju pada masa itu, yakni Yunani.[2]
Ekspresi Bimo terasa emosional, lantaran SDM Indonesia dirasa kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan internasional. Namun, pesan pentingnya, Bimo seperti tengah menyeru pada semua kalangan pendidikan untuk terus belajar pada sumber-sumber berkualitas, yang menurut saya, bisa di dalam atau di luar negeri.
Menjadi Surakartan
Dahulu, sering kali ada pertanyaan santai, tapi sebenarnya serius, tentang lokasi kampus UMS yang berada di Sukoharjo, sementara namanya menyebut ‘Surakarta’. Apakah branding Surakarta lebih dikenal dibandingkan Sukoharjo? Atau UMS sejak berdirinya memang menyasar eks-Karesidenan Surakarta sebagai captive-nya?
Eks-Karesidenan Surakarta terdiri dari Kota Surakarta (Kota Praja Surakarta), Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen (Kabupaten Sukowati), Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Klaten. Sebagian orang menyebutnya dengan ‘Solo Raya’. Sementara saya lebih memilih istilah ‘Surakartan’.
Bagaimanapun, Surakartan adalah wilayah dengan jutaan torehan sejarah yang berpengaruh besar pada hitam-putihnya Nusantara. Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Selo, Amangkurat, Paku Buwono, Mangkunegara, Presiden Joko Widodo, dan sederet nama besar memenuhi jengkal per jengkal sejarah wilayah Surakartan. Dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, pada kenyataannya, telah berhasil membangun tatanan perikehidupan baru yang semakin membaik pada masa sekarang.
Secara strategis, sebagai entitas kebudayaan dan spektrum perekonomian, Surakartan adalah satu; manunggal. Rasanya sulit memisahkan satu bagian dengan bagian lainnya, karena ikatan yang kuat. Kota Surakarta sebagai wajah utama tidak hadir sendiri, tapi merepresentasi semua wilayah Surakartan. Ada semacam persamaan kepentingan untuk menjaga kebersatuan ini, tidak semata karena faktor administrasi pemerintahan.
Sedikit guyonan, UMS bisa juga singkatan dari Universitas Muhammadiyah Surakartan. Namanya, Surakarta. Lokasinya di Sukoharjo. Banyak mahasiswanya berasal dari Boyolali, Wonogiri, Sragen, Karanganyar, dan Klaten. Rasa memiliki dan dimiliki Surakartan tampak pada saling-butuh yang positif. UMS sulit eksis tanpa Surakartan. Sebaliknya, Surakartan berbangga atas eksisnya UMS. Pada praktiknya, banyak juga mahasiswa yang datang dari luar Surakartan, luar Pulau Jawa, bahkan luar negeri.
UMS pada awalnya tampak seperti perguruan tinggi lokal yang malu-malu bersaing dengan sesama universitas Muhammadiyah. Universitas Muhammadiyah Malang atau Universitas Muhammadiyah Yogyakarta terasa lebih maju dan senior. Belum lagi, status kampus swasta yang tampak berbeda dengan kampus negeri, terutama Universitas Sebelas Maret (UNS), membuat mahasiswanya kurang percaya diri. Namun, lambat laun, UMS hadir dengan kekhasan tersendiri dan semakin diminati oleh masyarakat.
Apabila ditilik lebih dalam, kekhasan lokal yang dimiliki UMS sesungguhnya menjadi daya pikat utama. Masyarakat Surakartan merasa familier pada UMS, karena sejak dahulu, banyak program kerja sama dengan warga sekitar, mulai dari konsultansi kebijakan, hingga kegiatan mahasiswa. UMS juga menjadi jujugan bagi calon mahasiswa yang tidak diterima seleksi UNS. Situasi ini semakin memperbanyak jumlah mahasiswa Surakartan di UMS yang tentu saja berpengaruh besar pada dinamika dan situasi pembelajaran yang ada.
Faktor kemuhammadiyahan menjadi penentu lain. Surakartan, selain Yogyakarta, adalah basis aktivitas warga Persyarikatan. Eksisnya Muhammadiyah berpengaruh pada penerimaan mahasiswa UMS dari kalangan keluarga dan jaringan Persyarikatan. Sebagian bahkan dikirim khusus oleh Muhammadiyah untuk belajar di UMS agar kelak setelah lulus, dapat berbakti dan berkiprah untuk Persyarikatan. UMS merupakan wadah kaderisasi Muhammadiyah.
Dari Surakartan lantas Mendunia
Sekarang, UMS tumbuh pada masa Society 5.0. Era ketika teknologi dan manusia bersanding untuk kebaikan semesta. Menurut World Economic Forum (WEF), pekerjaan yang paling dicari di seluruh dunia pada 2025, yakni Data Analysts and Data Scientist, Artificial Intelligence (AI) and Machine Learning Specialist, Big Data Specialist, Digital Marketing and Strategy Specialist, Process Automation Specialist, Business Development Professionals, Digital Transformation Specialist, Information Security Analyst, Software and Application Developer, serta Internet of Things Specialist.
Apakah UMS mampu beradaptasi, kemudian turut berkontribusi signifikan pada era Super Smart Society? Jawabannya, jelas mampu. Karena, sumbangsih teknologi yang besar selalu ada di setiap zaman. Artinya, penguasaan atas teknologi adalah hal wajib. Namun, teknologi tetaplah alat atau peranti menuju tujuan yang sesungguhnya, seperti kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, dan kebaikan-kebaikan lain.
Teknisnya, UMS dapat memotret Surakartan dengan kaca mata Society 5.0. Surakartan sebagai sumber pengetahuan dan basis pengembangan teknologi juga pasar potensial tidak urung merupakan modal penting pergerakan UMS. Pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi dapat bersumbangsih pada kebijakan nasional dapat dirintis. Misalnya, berapa banyak mahasiswa UMS yang memilih desanya sendiri sebagai objek studi? Seberapa besar kapasitas keluarga-keluarga di desa untuk memanfaatkan pekarangannya, dan tidak tergantung pada resesi dunia? Tentu masih banyak lagi pertanyaan serupa.
Kemampuan UMS untuk mengelola semua sumber daya Surakartan dengan optimal, melalui sudut pandang perguruan tinggi, berarti merupakan ‘kendali’ atas perubahan. Apabila memadai, UMS akan merepresentasi banyak data penting yang dibutuhkan dunia. Bila mumpuni, UMS akan mewakili banyak analisis strategis yang dicari lembaga-lembaga bisnis dan politik dunia.
Pada titik ini, sumber daya manusia adalah kuncinya. SDM yang bervisi internasional, tapi berdiri tegak dan kukuh di atas Tanah Air-nya. SDM berpikir terbuka yang mampu beradaptasi dengan gerak zaman, tapi lengkah khazanah pranata dan kebajikan lokal. SDM yang dapat berkolaborasi dengan belahan dunia mana pun, justru bersama-sama orang-orang di sekitarnya.
Apa yang lantas dibutuhkan? UMS perlu mengevaluasi semua relasi kelembagaannya dengan representasi warga Surakartan, baik lembaga formal maupun informal. Seberapa erat relasi ini dan seberapa mungkin ditingkatkan pada level yang lebih strategis. Apabila telah dinilai baik, peningkatan diarahkan pada jangkauan kepentingan yang lebih luas. Apabila belum dirasa cukup, upaya membangun jalan dari awal, bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan.
UMS tentu saja dapat terhubung dengan semua Pemerintah Desa dan Pemerintah Kelurahan di Surakartan misalnya. Ribuan jumlahnya, memang. Tidak mudah, memang. Tapi relasi tersebut dapat membawa UMS pada representasi yang tidak tanggung-tanggung. Terlebih, kini desa telah memiliki rekognisi cukup untuk berbuat lebih banyak dibanding masa-masa sebelumnya.
UMS tentu saja dapat terhubung dengan semua pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah se-Surakartan. Pasti banyak jumlahnya. UMS tentu saja dapat terhubung dengan semua tokoh informal, penggerak masyarakat. UMS tentu saja dapat terhubung dengan semua sumber literasi di Surakartan. Berserak jutaan, jelas. Namun, semua itu memang perlu ditempuh.
Pada akhirnya, mari berkirim doa terbaik untuk ikhtiar UMS menuju World Class University. Sebuah capaian yang tidak dimaksudkan untuk bergagah-gagahan, tapi upaya untuk menjadi umat terbaik dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi orang lain. Wallahu a’lam.