

Menjadi Kader Umat Kader Daerah
/ Opini
Kader dan alumni HMI di Kabupaten Boyolali berkomitmen pada kebaikan dan kemajuan daerah.
Nyuwardi
Anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Boyolali
Jumat (3/10/2025), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Insan Cita Boyolali beraudiensi dengan Bupati Boyolali, Agus Irawan. Sejumlah isu dan persoalan kedaerahan didiskusikan intens. Bupati mengapresiasi inisiasi HMI Boyolali dan kepengurusan menyampaikan komitmennya untuk turut berkontribusi pada pembangunan daerah.
Pertemuan tersebut tentu saja bukan pertemuan biasa, apalagi ala kadarnya. Mas Bupati sebagai representasi kepemimpinan formal Boyolali tengah berbincang dengan organisasi kemahasiswaan Islam tertua di Republik ini. Kiprah HMI sebagai wadah perkaderan kepemimpinan nasional telah berlangsung lama, manunggal bersama bangsa dan negara Indonesia.
Orientasi kiprah yang tak melulu beririsan dengan lingkup isu-isu nasional, yakni dengan concern pada persoalan kedaerahan, merupakan bukti eksistensi HMI di level akar-rumput. HMI tumbuh dan berkembang bersama rakyat, jengkal per jengkal. Berhasil-tidaknya kepemimpinan nasional sangatlah ditentukan oleh kaderisasi kepemimpinan daerah.
Dalam buku berjudul Peta Jalan Kepemimpinan Himpunan Mahasiswa Islam karya Muhammad Dedy Miswar, dkk. terbitan Nas Media Pustaka tahun 2023 diulas begitu pentingnya kearifan lokal sebagai pilar penting kebangsaan. Fenomena tentang kaum muda yang kesulitan mempertahankan kearifan lokal akibat gempuran budaya asing sungguh nyata adanya. Untuk itu, kaderisasi HMI tidak meninggalkan kearifan lokal demi melahirkan calon-calon pemimpin daerah yang mumpuni. Bila berhasil, bangsa berperadaban dapat tercapai.
Kader-kader HMI Boyolali pada setiap aktivitas berorganisasinya tidak mungkin berlepas diri atas persoalan-persoalan kedaerahan. Mereka lahir, tumbuh, dan besar di Kota Susu. Apa yang terjadi di tanah kelahiran mereka, jelas memengaruhi kehidupan mereka. Artinya, baik-buruk Kabupaten Boyolali menyusul kontribusi kader-kader HMI Boyolali untuk daerahnya.
Kontribusi yang dirancang dan diaktualisasikan itu berdasar pada Tujuan HMI, ‘Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT’. Tujuan HMI menjadi pembeda utama gerakan kedaerahan HMI Boyolali dengan organisasi lain.
Misalnya, isu pengaktifan kembali Sekolah Sungai. HMI Boyolali mendasarkan inisiasi ini pada Peraturan Bupati Boyolali Nomor 61 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Sekolah Sungai. Kebijakan tersebut dinilai sangatlah penting dalam upaya pelestarian lingkungan dan mitigasi bencana berbasis masyarakat. Terlebih, mengingat masih banyaknya sungai di Kabupaten Boyolali yang dipenuhi sampah.
Inisiasi yang berdasar pada regulasi mencerminkan sikap akademik HMI. Usulan untuk mengaktifkan kembali Sekolah Sungai merepresentasi sikap pencipta. Sementara upaya pelestarian lingkungan dan mitigasi bencana berbasis masyarakat sebentuk sikap pengabdi.
Selanjutnya, gerakan Sekolah Sungai dalam kacamata HMI tidak berdiri sendiri. Ide tersebut berdasar pada firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 30 dan Al-A’raf ayat 56. Firman pertama menegaskan peran manusia sebagai khalifah yang diberi amanah untuk menjaga dan merawat bumi. Firman kedua memerintahkan larangan perusakan alam. Dengan begitu, Sekolah Sungai dapat dikatakan sebagai laku amaliah dengan rujukan nilai-nilai quraniyah.
Secara substansi, Sekolah Sungai tak lain bermaksud untuk melaksanakan iktikad konservasi sungai. Terdapat aspek keadilan dan kemakmuran di sana. Aspek keadilan Sekolah Sungai terlihat kuat pada kebijakan yang mempertimbangkan hak-hak warga yang tinggal di sekitar sungai, kepastian akses air sungai yang merata bagi semua kalangan, ruang partisipasi warga, serta manfaat keberlanjutan bagi generasi yang akan datang.
Sementara aspek kemakmuran Sekolah Sungai tampak pada kemanfaatan ekonomi. Sungai yang terawat dengan baik akan berguna bagi usaha-usaha ekonomi warga, seperti perikanan, pariwisata, dan pertanian, lantas meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, ekosistem sungai yang terjaga dari pencemaran mengurangi risiko banjir dan bencana alam lain.
Demikianlah. Sekolah Sungai pada akhirnya dapat disimpulkan sebagai ejawantah dari Tujuan HMI. Apa-apa yang diusahakan bukan hanya didedikasikan pada lingkup horizontal sesama manusia dan alam, tetapi juga pengabdian keilahiahan. Sekolah Sungai demi menggapai ridha Allah SWT.
Kader Daerah Kompeten
Dalam buku karyanya berjudul Kader Umat Kader Bangsa terbitan Intrans Malang tahun 1999, Viva Yoga Mauladi menggarisbawahi aktualisasi kader HMI yang tidak harus sebatas lingkup umat Islam. Wakil Menteri Transmigrasi Kabinet Merah Putih tersebut berpandangan, kader HMI tidak alergi persoalan-persoalan politik. Ia bahkan menghukuminya ‘wajib’.
Berliana Kartakusumah, penulis buku Insan Kamil 5.0: Kaderisasi HMI untuk Kepemimpinan Nasional Era Society 5.0 terbitan Pandiva tahun 2023, menjelaskan bahwa menurut istilah, kader dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang terorganisasi secara terus-menerus dan menjadi tulang punggung bagi suatu kesatuan yang lebih besar. Kader HMI memiliki integritas kepribadian yang utuh; beriman, berilmu, dan beramal saleh, sehingga siap mengemban tugas dan amanah dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Frasa ‘kader umat kader bangsa’ dapat dikontekstualisasi menjadi ‘kader umat kader daerah’. Wajib hukumnya, kader HMI peduli pada persoalan-persoalan keumatan dan daerah. Lantaran wajib, wajar bila kritisisme berbasis solusi konstruktif serta partisipasi luas kemasyarakatan menjadi budaya organisasi yang tidak perlu diperdebatkan. Integritas kepribadian yang utuh kader-kader HMI menjadi semacam ‘garansi’ untuk bersumbangsih terbaik untuk tanah kelahirannya.
Setelahnya, kompetensi menjadi kunci. Sebab, untuk memberikan hasil terbaik, kompetensi kader-kader HMI benar-benar dipertaruhkan. Kompetensi yang dimaksud, berupa kapasitas intelektual, profesional, kepemimpinan, serta integritas diri.
Intelektualisme kader HMI termaktub dalam tradisi keilmuan yang terus dikembangkan, berupa pemikiran-pemikiran kritis. Prasyarat menuju ke sana, yakni wawasan kader-kader HMI yang harus komprehensif. Tanpa keilmuan, pemikiran kritis, dan wawasan komprehensif, mustahil daerah dapat berkembang sesuai yang diharapkan. Setiap perubahan membutuhkan ketercukupan ilmu, bukan aksi serampangan tanpa dasar.
Kompetensi kedua, profesionalitas. Kader HMI merupakan mahasiswa-mahasiswi di perguruan tinggi masing-masing. Pada masanya, mereka tak hanya mengurus organisasi HMI. Kader HMI mengedepankan kedalaman ilmu pengetahuan berikut keterampilan praktis yang relevan dalam dunia kerja. Aktivisme HMI berpadu padan dengan kemampuan akademik yang tidak setengah-setengah.
Berikutnya, kompetensi kepemimpinan. Materi-materi kepemimpinan yang didapat serta praktik berorganisasi membentuk kader HMI menjadi pemimpin. Kompetensi ini bermuara pada kemampuan prima dalam mengelola organisasi serta tulang punggung perubahan. Cara berpikir kritis, kemampuan menulis, public speaking efektif, penguasaan teknologi informasi, ditambah kemampuan menjalin dan merawat relasi yang baik menampakjelaskan kompetensi tersebut.
Tak lupa, kompetensi integritas diri. Setiap kader HMI bertanggung jawab untuk mengabdikan diri kepada umat dan masyarakat umum, serta memperjuangkan keadilan sosial dan kemakmuran. Pranata nilai dan moral yang terinternalisasi ke dalam diri kader-kader HMI membuat mereka hadir sebagai pribadi yang tangguh, konsisten, dan tak mudah goyah akan godaan-godaan duniawi.
Walhasil, kiprah aktualisasi kader-kader HMI di daerah masing-masing akan selalu ditunggu. Inisiasi mereka murni lahir dari sistem organisasi yang tertata baik. Sistem yang tak melulu menargetkan keberhasilan nyata, tapi juga bentuk konsisten dari ikhtiar menjadi pribadi-pribadi yang beriman dan bertakwa. Sebab, HMI adalah ‘kader umat kader daerah’.
Editor: Arif Giyanto