Guru Besar Manajemen Pendidikan UMS, Sofyan Anif, dalam sebuah pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (PWM Jawa Tengah)
Meniris Pragmatisme Pendidikan : Guru Besar Manajemen Pendidikan UMS, Sofyan Anif, dalam sebuah pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (PWM Jawa Tengah)
Guru Besar Manajemen Pendidikan UMS, Sofyan Anif, dalam sebuah pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (PWM Jawa Tengah)

Meniris Pragmatisme Pendidikan

Pendidikan Muhammadiyah membentuk karakter siswa yang berimplikasi pada karakter sosial.


Sofyan Anif
Guru Besar Manajemen Pendidikan UMS. Bendahara PWM Jawa Tengah.
Rektor UMS 2017-2021 dan 2021-2025.

 

Sejak awal berdirinya, Persyarikatan Muhammadiyah telah mengusung konsep pendidikan yang jauh melampaui batas pragmatisme. Terlebih, saat derasnya arus modernisasi dan globalisasi melanda perikehidupan berbangsa dan bernegara kita sekarang. Pendidikan sering kali direduksi menjadi sekadar sarana untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi.

Mari menyandingkan tujuan pendidikan nasional dengan prinsip dasar pendidikan dalam Muhammadiyah. Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pendidikan Muhammadiyah, penting untuk memahami makna pendidikan secara umum. Pendidikan sejatinya adalah proses transformasi nilai, bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan dan teknologi.

Transformasi nilai yang dimaksud tidak terbatas pada aspek intelektual, melainkan juga mencakup nilai-nilai yang bersumber dari agama, adat istiadat, serta budaya yang telah disepakati secara kolektif dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi fondasi dalam pembentukan karakter peserta didik, baik di tingkat pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.

Pergeseran paradigma pendidikan dewasa ini membuat berbagai kalangan prihatin. Sejak era globalisasi hingga memasuki Revolusi Industri 4.0 bahkan 5.0, konsep pendidikan cenderung menyempit. Pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan kognitif semata.

Banyak pakar yang mengartikan pendidikan sebagai transformasi nilai yang hanya fokus pada ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Tujuannya menjadi sangat pragmatis, yakni menghasilkan lulusan yang siap bekerja dengan keterampilan teknis.

Akibatnya, kualitas sekolah atau lembaga pendidikan pun kerap hanya diukur berdasarkan capaian nilai akademik. Sekolah dianggap favorit jika nilai ujian nasionalnya tinggi. Ukuran keberhasilan menjadi materialistis dan mengabaikan dimensi nilai yang lebih dalam. Inilah yang membuat konsep pendidikan menjadi bias.

Empat Kekuatan

Dalam konteks tersebut, Muhammadiyah tampil sebagai oase di tengah kekeringan nilai. Sedari lahir pada tahun 1912, Muhammadiyah telah memprakarsai model pendidikan yang menyeluruh dan holistik. Sistem pendidikan Muhammadiyah dirancang untuk melahirkan lulusan yang memiliki empat kekuatan, yakni intelektual (IQ), spiritual (SQ), sosial (SQ), dan emosional (EQ). Empat kekuatan ini menjadi ruh pendidikan Muhammadiyah.

Konsep demikian sangat relevan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian yang utuh.

Muhammadiyah tidak hanya mendorong transformasi pengetahuan, tetapi juga transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. Misalnya, nilai taawun atau tolong-menolong yang diajarkan Islam. Nilai ini tumbuh dari akar budaya gotong royong masyarakat Indonesia, namun dikuatkan dalam ajaran Islam sebagai bagian dari karakter sosial yang harus dikembangkan dalam pendidikan.

Sungguh disayangkan, banyak lulusan perguruan tinggi dengan predikat cumlaude yang justru terlibat dalam praktik korupsi. Boleh jadi mereka cerdas secara akademik, tetapi karena miskin nilai spiritual dan sosial, kecerdasannya justru menjadi alat untuk menyalahgunakan wewenang. Pendidikan yang hanya mengedepankan aspek kognitif dinilai gagal membentuk manusia yang utuh dan bermoral.

Untuk itulah pendidikan Muhammadiyah terus diperkuat dengan pendekatan balanced education. Hal ini tecermin dalam lahirnya berbagai institusi pendidikan unggulan Muhammadiyah yang menyandang label ‘PK’ atau Pendidikan Karakter. TK, SD, hingga SMA dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah kini banyak menambahkan embel-embel ‘PK’ yang menunjukkan penekanan pada pembentukan karakter siswa secara holistik.

Konsep pendidikan Muhammadiyah selaras dengan pesan Al-Quran dalam surah al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.”

Ayat ini menjadi fondasi teologis bagi konsep pendidikan seimbang antara dunia dan akhirat yang digagas Muhammadiyah. Pendidikan bukan semata untuk kepentingan duniawi, namun juga menjadi bekal untuk kehidupan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan harus membentuk manusia yang tidak hanya cakap dalam keilmuan, tetapi juga berakhlak dan berjiwa sosial.

Jika empat ranah—kognitif, spiritual, sosial, dan emosional—diinternalisasi secara utuh dalam sistem pendidikan maka akan lahir generasi yang tidak hanya kompeten, tetapi juga amanah. Mereka mampu mengintegrasikan ilmu dengan iman, serta memadukan keterampilan duniawi dengan visi ukhrawi. Demikian keunikan pendidikan Muhammadiyah yang membedakannya dengan pendekatan-pendekatan pendidikan lain.

Editor: Astama Izqi Winata


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik