Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Sukoharjo, Panji Alfian Syahrendra. (Set HMI Sukoharjo)
Menilik Netralitas Himpunan Mahasiswa Islam : Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Sukoharjo, Panji Alfian Syahrendra. (Set HMI Sukoharjo)
Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Sukoharjo, Panji Alfian Syahrendra. (Set HMI Sukoharjo)

Menilik Netralitas Himpunan Mahasiswa Islam

Cara pandang kader HMI kini begitu dipengaruhi oleh kualifikasi keilmuannya.


Panji Alfian Syahrendra
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Sukoharjo

 

Bagi mahasiswa baru, organisasi pergerakan mahasiswa acap kali dipandang menyeramkan. Salah satunya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Banyak mahasiswa menganggap HMI hanyalah organisasi mahasiswa seperti pada umumnya serta tak lain merupakan alat pergerakan politik pada khususnya. Terlepas dari pendapat tersebut, tentu ada aspek penyebab yang mendasarinya.

Secara general, HMI sudah menjadi organisasi yang sangat kokoh untuk dipertanyakan atau bahkan digugat keilmiahannya. Banyak aspek yang dapat dipelajari ketika seorang mahasiswa memilih HMI sebagai kawah candradimuka sekaligus wadah berdialektika.

HMI seolah-olah swalayan yang menyajikan banyak pilihan barang, dan mahasiswa diibaratkan pembeli yang bebas untuk masuk ke swalayan tersebut atau tidak. Tidak ada paksaan untuk tetap singgah dan menikmati banyaknya barang yang ditawarkan di swalayan, pun bila memilih pergi ke tempat lain.

Maksud dari analogi ini, bisa dimaknai sangat mendalam. Barang yang dimaksud, tak lain ‘ilmu’, sehingga begitu banyak nan luasnya ilmu yang ada di HMI, mulai dari ilmu agama Islam dan percabangan ilmu umum lainnya.

Permasalahan selanjutnya, apakah ilmu sekadar teori, atau ilmu yang menjadikan sekaligus membentuk jati diri kader HMI dan digunakan sebagai pandangan hidup?

Cara untuk menilai HMI secara tidak langsung, yakni dengan melihat kader HMI itu sendiri. Karena, kader merupakan representasi dari organisasinya. Tapi, apakah kader HMI sudah mampu menjadi cermin bagi organisasinya, atau justru menjadi aib bagi organisasi yang dengan rela ia masuk di dalamnya?

Netralitas Ilmu

Dari berbagai macam faktor, aspek yang perlu diketahui bersama adalah mengenai konsep ilmu yang dipelajari oleh semua kader HMI.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karyanya berjudul Islam and Secularism (1993), berpandangan bahwa ilmu adalah perkara internal, bukan eksternal semata. Ilmu menjadikan seseorang yang ragu atau skeptis menjadi yakin.

Menurut Al-Attas, ilmu adalah cahaya. Ilmu adalah gerak daya dalam memperoleh sesuatu, sehingga pemaknaan memandang hakikat sesuai seperti adanya. Ilmu adalah penetapan diri terhadap kalbu. Ilmu adalah tibanya makna ke dalam diri serempak dengan tibanya diri kepada makna.

Pelengkap ilmu, sambungnya, adalah hal yang dapat memperkenalkan diri terhadap batasan makna pengetahuan (had ma’nawi) serta pengenalan diri terhadap suatu perkara yang dikenali (hikmah).

Ilmu yang dianggap bermanfaat, baik untuk sekarang atau untuk kejadian setelahnya merupakan bentuk dari perubahan cara pandang dalam melihat pemahaman ilmu itu sendiri. Ilmu yang sejati akan menjadikan keadilan dan kedamaian sebagai pakaian bagi diri maupun sekitar.

Kerancuan dalam memandang ilmu (confusion of knowledge) sangat berbahaya dan seringnya kurang dipahami gejalanya. Hal buruk yang sudah telanjur terjadi dikarenakan tenggelam dalam kebingungan keilmuan menjadi pertanda awal sekaligus akhir bagi seorang yang salah dalam pemaknaan ilmu.

Ilmu yang dianggap objektif, netral, serta bermanfaat secara utuh, ternyata menyimpan sebuah motif yang perlu disingkap tabir penutupnya agar terlihat keaslian dari padanya.

Ilmu yang Benar dan Ilmu yang Salah

Ilmu dengan pengertian yang begitu eloknya, menurut Al-Attas memiliki dua pokok bahasan.

Pertama, ilmu yang benar (true of knowledge). Ilmu yang benar memiliki pengertian dan manfaat bagi pemiliknya untuk dapat memahami serta mengenali diri sendiri dan menjadi penerang ketika gelap agar tujuan hidup (purpose of life) tidak kabur dan jelas arahnya.

Ilmu yang benar akan menjadikan kader HMI mampu mengejawantahkan berbagai permasalahan, baik permasalahan dalaman maupun luaran, mampu menjadi agen perubahan, serta dengan suka cita mengusahakan cita-cita luhur HMI.

Selain itu, berusaha menjadi insan cita, yakni insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala.

Kedua, ilmu yang salah (false of knowledge). Ilmu bagian ini tidak menjadi penerang ketika gelap, justru menjadi alasan kegelapan itu muncul. Tidak mampu menjadikan sang pemilik mampu memahami dan mengenali diri jasadi dan ruhaninya serta kabur akan makna tujuan hidupnya. Ilmu yang salah merupakan penyakit yang susah untuk dilakukan diagnosis dan perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk mencabutnya dari hati dan akal sang pemiliknya.

Ilmu yang salah menjadikan kader HMI berpemikiran sempit, bersifat hipokrit, bermental komprador. Mereka jauh dari kualitas insan cita bahkan tega menjual harga diri serta martabat diri dan organisasinya. Ilmu yang salah adalah bahaya yang sesungguhnya.

Ilmu bersifat tidak netral, karena setiap ilmu pasti mengandung nilai nilai luhur bawaan yang mampu menjadikan pengaruh serta motif pemikiran dan tindakan bagi kader HMI.

Seorang kader HMI yang seyogyinya mampu menjadi seorang pemimpin, tentu perlu untuk memimpin dan menghilangkan belenggu-belenggu kejahilan yang menjangkiti pribadinya, sebelum menjadi pemimpin bagi orang lain.

Kader yang masih bingung dalam pemaknaan diri jasadi dan ruhani perlu untuk kembali belajar serta mendalami ilmu yang benar. Sebuah jalan yang akan menjadi alasan perubahan ‘cara pandang alam’ kader HMI.

‘Pandangan alam Islam’ menurut Al-Attas bukan sekadar cara pandang intelektual dalam mengkaji dan memahami sebuah realitas objek riil. Lebih dari itu, pandangan alam Islam (worldview of Islam) merupakan pandangan menyeluruh dalam menyikapi hal bersifat riil maupun non-materiil, dan menjadikan Islam sebagai parameter dalam mengukur sebuah kebenaran.

Pandangan alam berusaha memisahkan nilai-nilai subjektif ilmu. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya arah tujuan kader HMI yang sudah terlalu jauh dari jalan lurus buatan pendahulunya.

Tentu hal ini bukanlah perkara yang mudah. Perlu usaha sungguh-sungguh, disiplin, serta sistematis untuk membentuk cara pandang Islam yang ideal. Perlu kiranya kajian yang sistemis, membahas dikotomi antara ilmu yang benar dengan ilmu yang salah.

Kiranya hal tersebut mampu diusahakan oleh semua kader HMI, sudah barang tentu marwah serta nama baik HMI akan dengan sendirinya semakin harum, karena cermin dari kader-kader yang semakin matang, cerdas, serta cakap intelektual dan moralnya.

Editor: Herlina


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik