Tim Advokasi Peduli Pemilu dalam salah satu sesi Sidang Mahkamah Konstitusi. (TAPP)
Menguji Undang-Undang Pemilu tentang Ketentuan Kampanye Pemilu 2024 : Tim Advokasi Peduli Pemilu dalam salah satu sesi Sidang Mahkamah Konstitusi. (TAPP)
Tim Advokasi Peduli Pemilu dalam salah satu sesi Sidang Mahkamah Konstitusi. (TAPP)

Menguji Undang-Undang Pemilu tentang Ketentuan Kampanye Pemilu 2024

Frasa ‘citra diri peserta Pemilu’ penting untuk diuji.

Dharma Rozali Azhar
Anggota Tim Advokasi Peduli Pemilu


Sepanjang tahap persiapan Pemilu 2024 telah ada beberapa peristiwa hukum dan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kronik bersejarah yang dapat menjadi diskursus penting, termasuk cara generasi baru dalam membangun persepsinya tentang isu-isu kebangsaan dan kenegaraan.

Baru pada Pemilu kali ini perubahan syarat batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi secara kontroversial. Putusan tersebut menyebabkan Ketua Mahkamah Konstitusi dijatuhkan dari jabatannya, karena terbukti melanggar kode etik.

Pada Pemilu kali ini pula, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, anak kandung Presiden turut dalam kontestasi Pemilihan Presiden dalam posisi masa jabatan sang ayah yang masih aktif, walaupun di ujung perjalanan. Berbagai kontroversi itu memunculkan risiko-risiko hukum dan politik yang terbilang baru bagi Pemilu Indonesia, khususnya bagi para pemilih.

Untuk mengantisipasi terjadinya risiko-risiko tersebut, begitu urgen dilakukan pengujian terhadap tiga isu hukum, terkait kampanye yang akan memengaruhi hak-hak pemilih.

Pertama, ketiadaan larangan bagi Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota untuk mengikuti kampanye peserta Pemilu yang merupakan anggota keluarganya.

Mengapa diperlukan larangan untuk ikut berkampanye bagi keluarga? Karena, hal ini berpotensi membuat jabatan Presiden dan semua jabatan yang telah disebutkan sebelumnya dapat disalahgunakan untuk mendukung dan menguntungkan peserta Pemilu yang merupakan anggota keluarganya. Hal ini jelas bertentangan dengan asas Pemilu bebas, jujur, dan adil.

Kedua, ketiadaan larangan bagi ‘pihak Lain’ di luar peserta Pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lain guna memengaruhi penyelenggara Pemilu dan atau pemilih yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Pada kenyataannya, pengalaman kontestasi Pemilihan Kepala Daerah menunjukkan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif dapat terjadi dalam bentuk program-program resmi pemerintah yang diiringi kampanye terselubung.

Larangan bagi ‘pihak lain’ ini dimaksudkan agar pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang terselubung berupa program-program resmi pemerintah dapat ditindak, sehingga peserta Pemilu yang menerima manfaat atau diuntungkan pelanggaran itu juga dapat diberi sanksi pembatalan atau diskualifikasi.

Ketiga, ketiadaan larangan bagi peserta Pemilu untuk menggunakan citra diri berupa gambar atau foto, audio, video dengan manipulasi digital atau bantuan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang dilakukan secara berlebihan, sehingga berpotensi memanipulasi persepsi pemilih terhadap kandidat dan menggiring pemilih menggunakan hak pilihnya secara keliru (misguided voting).

Manipulasi foto, audio, dan video untuk kampanye menggunakan teknologi digital atau pun AI lebih baik dilarang. Hal tersebut jelas bertentangan dengan asas Pemilu jujur, karena memunculkan keadaan misinformasi yang merugikan Pemilih.

Lebih dari semua itu,  ketiadaan larangan bagi Presiden dan Wakil Presiden serta jabatan- jabatan lainnya untuk ikut serta dalam kampanye anggota keluarganya yang menjadi peserta Pemilu, sebenarnya bertentangan dengan sumpah jabatan yang akan memegang teguh dan melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya.

Terlebih Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah melarang penyelenggara melakukan perbuatan nepotisme. Undang-Undang Nomor tersebut memaknai nepotisme sebagai setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Ketika ketiga persoalan ini diuji dan dikabulkan Mahkamah Konstitusi maka Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota dapat dicegah dari perbuatan nepotisme. Selain itu, pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang terselubung dalam bentuk program-program resmi pemerintah pun dapat dicegah. Penggunaan citra diri peserta yang dimanipulasi secara berlebihan juga dapat dicegah agar para pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dengan benar.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik