Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungan kenegaraan perdananya ke China, akhir tahun lalu. (BPMI Setpres)
Mengakali Tarif Impor Trump : Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungan kenegaraan perdananya ke China, akhir tahun lalu. (BPMI Setpres)
Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungan kenegaraan perdananya ke China, akhir tahun lalu. (BPMI Setpres)

Mengakali Tarif Impor Trump

Tarif impor produk-produk Indonesia yang relatif lebih rendah dapat dimanfaatkan sebagai peluang.


Anton A. Setyawan
Guru Besar Ilmu Manajemen FEB
Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Apa yang dikhawatirkan oleh banyak pihak dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat akhirnya terbukti. Belum lama ini, negeri Paman Sam menaikkan tarif impor barang ke negara mereka dengan besaran yang bervariasi antar-negara mitra dagang.

Sedari 5 April 2025, Amerika Serikat menerapkan tarif dasar barang impor sebesar 10 persen untuk hampir semua negara, kecuali Kanada dan Meksiko. Beberapa negara yang dinilai menerapkan praktik perdagangan tidak adil dikenakan tarif impor tambahan.

Tarif impor produk dari China misalnya, dikenakan tarif tambahan sebesar 34 persen. Mau tidak mau, pada 9 April 2025, Negeri Tirai Bambu harus menerima kenyataan tarif impor total sebesar 54 persen untuk produk-produk ekspor mereka ke Amerika Serikat.

Negara-negara lain yang dikenakan tarif impor tambahan cukup besar antara lain Vietnam dengan tarif impor 46 persen dan Kamboja dengan tarif 49 persen. Amerika Serikat di bawah Presiden Trump juga mengenakan tarif impor sebesar 20 persen untuk produk-produk Uni Eropa. Sementara tarif impor untuk Indonesia terbilang besar, yaitu 32 persen.

Reaksi dunia pun beragam. China bereaksi sangat keras. Mereka bahkan membalas kebijakan ini dengan memberlakukan tarif balasan sebesar 34 persen terhadap produk-produk pertanian Amerika Serikat. Balasan ini memicu ancaman Trump untuk memberlakukan pengenaan tarif impor 50 persen terhadap produk-produk dari China.

Uni Eropa, Kanada, Australia, dan Jepang mengecam keras kebijakan kenaikan tarif impor Amerika Serikat. Namun demikian, Uni Eropa menghapus pengenaan tarif impor terhadap bourbon, anggur, dan produk susu dari Amerika Serikat, karena khawatir dengan ancaman kenaikan tarif yang lebih tinggi, yakni 200 persen, terhadap produk minuman beralkohol dari Eropa.

Kanada memberikan balasan terbatas untuk melindungi tenaga kerja lokal mereka. Vietnam dan Thailand mencoba bernegosiasi dengan Amerika Serikat terkait pengenaan tarif impor sebesar 46 dan 36 persen terhadap produk mereka. Setali tiga uang, Kamboja memutuskan untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat.

Bagaimana dengan Indonesia? Kebijakan pengenaan tarif impor sebesar 32 persen disikapi Pemerintah dengan sangat berhati-hati. Presiden Prabowo Subianto berencana melakukan negosiasi dengan Pemerintah Amerika Serikat. Fokusnya, mengantisipasi dampak kenaikan tarif impor terhadap perekonomian dalam negeri.

Dalam perkembangannya, Amerika Serikat menunda kenaikan tarif impor selama 90 hari untuk negara-negara yang bersedia menempuh jalan negosiasi demi kesepakatan perdagangan yang lebih adil bagi Amerika Serikat. Meski demikian, hal ini tidak berlaku bagi China yang membalas kebijakan kenaikan tarif impor Trump. Sang Presiden bahkan menaikkan tarif impor untuk produk-produk dari China hingga 125 persen.

Solusi Defisit Ganda

Pengenaan kenaikan tarif impor menunjukkan kembalinya strategi perang dagang Presiden Trump. Ia pernah melakukan hal yang sama pada periode pertama masa pemerintahannya tahun 2017-2021 dan nyaris menyebabkan krisis ekonomi global. Ketika itu, ia menerapkan kenaikan tarif impor, lantas direspons dengan aksi balas oleh China, sehingga memicu pelambatan ekonomi global dan berdampak pada perekonomian banyak negara.

Kebijakan perang tarif sempat mereda pada masa pemerintahan Joe Biden. Saat Trump kembali memimpin, perang dagang kembali berkobar bahkan dengan tarif impor yang semakin tinggi.

Keputusan Trump untuk mengenakan kenaikan tarif impor terhadap 180 negara senyatanya untuk memperbaiki perekonomian negara adidaya tersebut. Sejak lama mereka mengalami defisit ganda, yaitu defisit pada neraca perdagangan internasional dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sampai dengan Februari 2025, defisit neraca perdagangan Amerika Serikat mencapai US$ 122 miliar, sedangkan APBN mereka defisit US$ 307 miliar pada bulan yang sama.

Selain defisit ganda, Amerika Serikat dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai rata-rata 2,5 persen (data bulan Desember 2024) dan angka pengangguran terbuka 4,2 persen (data bulan Maret 2025). Pemerintahan Trump melakukan respons bervariasi untuk mengatasi permasalahan ekonomi nasional.

Defisit APBN Amerika Serikat diatasi dengan melakukan pemotongan dan efisiensi anggaran ekstrem. Mereka melakukan kebijakan pensiun muda kepada sekitar 75.000 pekerja federal dan memberhentikan 10.000 lainnya demi penghematan anggaran. Pemerintah Amerika Serikat juga mengurangi bahkan menghentikan banyak bantuan luar negeri, termasuk membubarkan USAID yang selama ini banyak membantu negara-negara berkembang dan negara miskin di dunia.

Presiden Trump memprioritaskan penyelesaian masalah defisit neraca perdagangan internasional, karena diharapkan dapat menjadi solusi persoalan penurunan kinerja industri lokal Amerika Serikat. Saat ini, industri lokal mereka mengalami penurunan, karena persaingan produk impor, terutama dari China. Kebangkitan industri China menjadi awal penurunan industri Amerika Serikat. Hal ini yang kemudian menyebabkan produk dari China menjadi sasaran utama kebijakan kenaikan tarif impor Trump.

Bagaimana Peluang Indonesia?

Indonesia mulai terkena dampak negatif perang dagang jilid II antara Amerika Serikat dan China. Melemahnya nilai Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan merupakan dampak langsung dari perang dagang dua raksasa ekonomi tersebut.

Secara umum, tiga dampak negatif dialami perekonomian Indonesia. Pertama, daya saing ekspor Indonesia semakin menurun, karena kenaikan tarif ekspor ke Amerika Serikat.

Kedua, perang dagang tahun ini merupakan ancaman nyata bagi industri padat karya di Indonesia.

Industri padat karya, terutama tekstil, tengah mengalami pukulan internal dan eksternal secara bersamaan. Banyaknya perusahaan tekstil di Indonesia yang ditutup karena kalah bersaing dengan produk impor, sekarang ditambah dengan naiknya beban tarif ekspor ke Amerika Serikat.

Ketiga, ketidakstabilan pasar keuangan yang menyebabkan nilai kurs Rupiah melemah dan IHSG fluktuatif.

Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah strategis untuk mengurangi dampak perang dagang Amerika Serikat dan China, yakni rencana negosiasi dengan Pemerintah Amerika Serikat untuk mencari win-win solution, serta memperkuat kerja sama ekonomi regional ASEAN untuk mengantisipasi dampak ekonomi jika perang dagang semakin memburuk.

Perang dagang memang memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun demikian, ada beberapa peluang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan para pelaku bisnis dan Pemerintah Indonesia.

Peluang pertama dengan memanfaatkan penurunan ekspor yang mungkin dialami Vietnam dan China. Caranya, memproduksi barang-barang substitusi dari kedua negara tersebut. Hal ini mungkin dilakukan, karena tarif impor Amerika Serikat terhadap produk Indonesia lebih rendah, sehingga harga produk Indonesia lebih murah.

Apabila negosiasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia bisa menurunkan tarif impor produk Indonesia maka harga produk kita dapat lebih bersaing.

Peluang kedua adalah strategi diversifikasi produk dan pasar ekspor. Para pelaku bisnis bisa melakukan diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara lain yang pasarnya menarik, misalnya Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin. Peran pemerintah diperlukan dengan memberikan insentif bagi eksportir untuk mengurangi biaya produksi mereka.

Kita tentu berharap bahwa perang dagang Amerika Serikat-China tidak berlanjut dan menyebabkan ketidakpastian global. Namun penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi risiko terburuk demi perekonomian dalam negeri yang tetap stabil.

Editor: Astama Izqi Winata


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik