Presiden Joko Widodo bersama tiga Calon Presiden 2024 di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 30 Oktober 2023. (Presiden RI)
Menemukan Pemimpin Masa Depan : Presiden Joko Widodo bersama tiga Calon Presiden 2024 di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 30 Oktober 2023. (Presiden RI)
Presiden Joko Widodo bersama tiga Calon Presiden 2024 di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 30 Oktober 2023. (Presiden RI)

Menemukan Pemimpin Masa Depan

Pengalaman memimpin menjadi ukuran penting seorang kandidat pemimpin.

Muhamad Zuhdi
Pemerhati Isu-isu Kepemimpinan. Alumnus UMS. Ketua Umum HMI Cabang Sukoharjo Periode 1999-2000

Republik tengah bersiap dengan sebuah gawe besar, bernama Pemilihan Umum 2024. Kontestasi kepemimpinan nasional ini dapat menjadi trigger penting perubahan negeri menuju perikehidupan yang jauh lebih bermartabat. Sebaliknya, bila salah pilih, bisa saja justru terjerembab ke lubang kemunduran yang semakin dalam.

Suka tidak suka, kontestasi berujung pada keharusan setiap kita untuk memilih nama seseorang. Bisa jadi Anda mengenalnya. Atau sama sekali tak pernah mendengar kiprahnya. Bahkan mungkin tak kenal dan tak tahu portofolionya. Wajar bila kemudian kita akan mencari tahu dan berusaha menemukan para pemimpin terbaik agar kita tak celaka.

Lazimnya perubahan, apalagi dalam spektrum yang sangat besar, tanda-tandanya pasti ada. Beberapa literatur memaparkan peristiwa-peristiwa besar, tidak lama sebelum kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. Ketika itu, Makkah yang bertanah gersang tiba-tiba menjadi subur. Padahal, biasanya, hanya pohon kurma yang hidup di sana.

Tidak jauh dari Makkah, tepatnya singgasana Raja Persia, Kisra Anusyirwan, mendadak bergoyang bahkan belasan balkon istananya runtuh. Hal itu kurang lebih bersamaan dengan padamnya Api Majusi di sana yang telah menyala lebih dari seribu tahun.

Bukan hanya itu, momentum kelahiran Sang Rasul juga ditandai dengan munculnya Burung Ababil yang menghancurkan Pasukan Abrahah, serta para ahli kitab Yahudi dan Nasrani yang melihat bintang besar dan bercahaya.

Peristiwa-peristiwa menakjubkan tersebut memberi pesan kuat tentang begitu urgennya kelahiran seorang pemimpin. Persiapan penyambutan bukan hanya dilakukan oleh manusia, tapi juga semesta alam. Tanda alam yang dapat dipahami bagi orang-orang berilmu dan sudi berpikir ini seperti memberi petunjuk bernas tentang perubahan besar-besaran yang bakal kunjung datang.

Benar adanya. Terbukti setelah kelahirannya, Nabi Muhammad SAW benar-benar berhasil mengubah tatanan dunia yang semula gelap menjadi terang benderang. Perilaku buruk manusia diantarkan olehnya pada akhlak yang mulia. Beliau menyampaikan firman-firman Allah SWT yang disebut Al-Quran.

Menerka Kandidat

Bagaimana dengan proses kelahiran para pemimpin Indonesia? Apakah dipenuhi dengan tanda-tanda alam yang luar biasa? Apakah dibersamai dengan situasi dan kondisi khusus yang mensyaratkan ketidaklaziman?

Apabila itu sulit untuk dipahami, mari merunut kriteria para kandidat sedikit lebih spesifik dengan memerhatikan wawancara perilakunya (interview based on behavioral). Teknisnya, kita harus bertanya pada para kontestan, “Apa yang sudah dan pernah Anda lakukan?” Kita tidak menanyakan, “Apa yang akan Anda lakukan bila Anda nanti terpilih?”

Secara strategis dapat dipahami bahwa penggunaan pengalaman masa lampau seseorang biasanya dapat meramalkan potensi keberhasilan yang akan ia capai. Hal ini dapat memberikan kerangka berharga bagi kita untuk memahami, bagaimana pengalaman masa lalu dapat memengaruhi persepsi pengalaman masa depan seorang kandidat.

Secara detail, setidaknya enam hal berikut dapat menguatkan kesimpulan kita pada kualifikasi seorang kandidat. Pertama, kita dapat mengetahui pemahaman seorang kandidat tentang situasi atau prosedur dalam pengimplementasian kebijakan. Tanpa pengalaman dan pemahaman menerapkan kebijakan, kapasitas seorang pemimpin patut diragukan. Bagaimana mungkin ia dapat memaksa orang lain untuk taat, sementara dirinya belum pernah menjalaninya?

Kedua, mengetahui kinerja seorang kandidat pemimpin saat menghadapi tugas tertentu. Dari pengalaman sebelumnya, terutama saat mengomandoi tugas-tugas khusus, seorang kandidat dapat dinilai kemampuannya. Karena, bisa jadi, dalam setiap penugasan, dinamika persoalan yang muncul sangat bermacam.

Ketiga, kita dapat melihat implementasi suatu teori kebijakan dan bukan sekadar pemahaman konsep atau gagasan. Dengan rekam jejak implementasi kebijakan seorang kandidat dapat dinilai keberhasilan dan kegagalannya. Ketika kebijakan telah diimplementasikan, semua realitas yang ada menjadi aktual, tidak lagi berbentuk konsep atau gagasan.

Keempat, pengalaman yang cukup dapat meminimalisasi penilaian subjektif. Tidak aneh bila preferensi pemilih pada para kandidat sering ditumpukan pada suka atau tidak suka. Namun, buah pengalaman di masa lampau dapat bersumbangsih besar pada preferensi pemilihan. Subjektivitas dapat ditekan sedemikian rupa dan dikedepankan penilaian objektif atas realitas keberhasilan sang kandidat.

Kelima, kita pun dapat mengetahui performance kandidat pemimpin di masa yang akan datang. Setidaknya, membaca proyeksi keberhasilan kepemimpinannya. Aspek sebab-akibat dapat dipegang-teguhi. Ketika seorang kandidat berhasil pada masa kepemimpinan sebelumnya, sangat dimungkinkan ia dapat berhasil pada masa kontestasinya kali ini. Pun sebaliknya.

Keenam, berkah pengalaman masa lampau pada akhirnya dapat pula dijadikan dasar seorang kandidat pemimpin dalam mengambil keputusan yang tepat, ketika ia benar-benar dipilih nanti dan dipercaya sebagai pemimpin.

Empat Kuadran Anies Baswedan

Suatu ketika, salah satu Calon Presiden, Anies Baswedan, menjelaskan prinsip-prinsip utama kepemimpinan dengan gambaran ‘Empat Kuadran’. Menurutnya, karena seorang pemimpin hidup dalam kenyataan, bukan idealitas, dalam pengambilan keputusan akan dihadapkan pada situasi dan kondisi empat kuadran.

Keempat kuadran dibangun oleh garis vertikal dan garis horizontal. Garis vertikal merepresentasi nilai (value), sementara garis horizontal mewakili baik dan buruk (konsekuensi).

Kuadran pertama, pengambilan keputusan seorang pemimpin berdasarkan pada nilai yang benar dan memiliki konsekuensi baik. Kuadran kedua, keputusan berdasarkan nilai benar, tapi tidak berkonsekuensi baik. Kuadran ketiga, seorang pemimpin berkeputusan dengan dasar yang salah, tapi berkonsekuensi baik. Terakhir, pada kuadran keempat, pemimpin mengambil keputusan dengan dasar salah lantas berkonsekuensi buruk.

Pada kenyataannya, seorang pemimpin tidak selalu dihadapkan pada persoalan dengan dasar yang jelas gamblang akan benar atau salahnya. Dengan begitu, tak mudah juga untuk paham akan konsekuensinya, apakah baik atau buruk. Wilayah abu-abu seperti ini yang kemudian memperhadapkan para pemimpin pada judgement, leadership, pengalaman, kemauan mengambil risiko, serta ujian kepemimpinan.

Kontestasi Pemilu 2024 mensyaratkan ketercukupan pengalaman seorang kandidat dalam memimpin. Karena, kapasitas itu memungkinkannya untuk mampu memecahkan situasi kuadran abu-abu. Para pemimpin yang terus menggali dasar kebenaran agar menghasilkan kepemimpinan yang baik. Bukan para pemimpin yang sesuka hati mengambil dasar salah, lantas menjustifikasinya dalam propaganda keberhasilan yang tak berujung.

Selamat memilih, wahai rakyat Indonesia.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik