Meneguhi Mimpi Rendra tentang Laut
/ Literatur
Laut selalu dibahas dalam setiap kontestasi politik, tapi tak kunjung menjadi kenyataan.
Muhammad Taufik Nandito
Pegiat literasi, alumnus Fakultas Psikologi UMS
Sejarah berbicara bahwa tradisi laut pernah membawa suku-suku bangsa di seantero Nusantara berjaya. Ilmuwan sosial Ignas Kleden dalam esai berjudul ‘Dari Laut dengan Kapitan Perahu’ pernah menulis bahwa sejarah dan budaya laut di Indonesia dapat menjadi landasan untuk menentukan kepribadian bangsa.
“Indonesia adalah negara kepulauan, dan bila diingat juga bahwa tradisi kelautan memiliki akar sejarah yang patut dipikirkan, apakah mungkin, dan bagaimana caranya, pula ini dapat diterapkan dalam politik Indonesia menghadapi masalah serius mengenai kepemimpinan,” tulis sosiolog sekaligus kritikus sastra itu.
Sebagaimana renungan Ignas Kleden tentang budaya maritim, penyair masyhur WS Rendra, dalam suatu fase pernah menaruh minat mendalam terhadap persoalan laut. Selain terdapat dalam sekian puisinya, ia menuangkan gagasan tentang kelautan dalam berbagai esai dan pidato kebudayaan.
Sebermula, ketertarikan Rendra pada berbagai hal tentang kelautan bisa kita jumpai dalam salah satu puisinya yang berjudul ‘Rumah Kelabu’. Dalam puisi itu, ia menulis, “Daratan adalah rumah kita... dan lautan adalah kebebasan. Daratan adalah rumah kita... dan lautan adalah rahasia.”
Laut, dalam puisi itu, ia umpamakan sebagai kebebasan dan rahasia. Sementara rumah, dua kali ia tulis dengan metafora daratan secara berulang. Penggalan puisi tersebut mengandaikan keselarasan biografi dirinya yang penuh akan cita-cita kebebasan, petualangan, dan perlawanan, kendati ia berangkat dari sebuah keluarga yang menjunjung tinggi keharmonisan khas budaya Jawa.
Rendra menuturkan gagasan tentang laut dua dekade silam, ketika diundang mengisi orasi budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Momentum yang bertepatan dengan penganugerahan Akademi Jakarta untuk maestro tari Retno Maruti pada medio 2005. Orasi Rendra berjudul ‘Paradigma Masyarakat: Rakyat Belum Merdeka’.
Dalam kesempatan ini, Rendra membahas persoalan budaya yang masih membelenggu pola pikir masyarakat. Terbelenggunya pola pikir itu membuat Rendra gusar, sebab pada akhirnya menekan kehendak bebas masyarakat. Soalnya, kehendak bebas itulah yang menurut Rendra mengantar suatu bangsa ke berbagai penemuan dan kemajuan.
Mengenai laut sendiri, Rendra berujar, bangsa Indonesia terlalu banyak memperhatikan urusan daratan dan agraris, tetapi melupakan pentingnya kelautan. Menurut Rendra, urusan laut sama pentingnya dengan persoalan di daratan. Ia berpendapat bahwa laut merupakan pokok dari keterbukaan dan kedaulatan sebuah bangsa.
Persoalan yang pernah tertuang dalam esainya berjudul ‘Terjebak Nilai Lama yang Feodalistis, Agraris, dan Fasistis’. Rendra menulis, penguasa yang bermental agraris lazim menggunakan intrik politik untuk memusatkan kekuasaan. Namun, masyarakat yang berbudaya dagang di kawasan pesisir lebih mengandalkan perdagangan dan keterbukaan terhadap hal yang bersifat kebaruan.
Sejarah Laut dan Kekuasaan
Sejarah bangsa sebelum menyatu menjadi Indonesia juga berbicara begitu. Menurut Rendra, Jawa pada masa awal Kerajaan Demak bisa diperhitungkan, sebab kekuatan laut atau maritim mereka sangat andal. Terbukti, raja kedua Demak, Pati Unus, bisa menyerang Portugis di Malaka berkat kekuatan maritim mereka.
Namun setelah Demak berpindah ke pedalaman, Pajang, kekuatan itu berangsur-angsur menghilang. Penerus Pajang, Mataram Islam bertindak sama. Mereka tidak terlalu mengindahkan kekuatan laut dan mengesampingkan pentingnya kawasan pesisir. Itu bisa terlihat dari kebijakan mereka yang mempertahankan kekuasaan di pedalaman pulau.
Rendra berpendapat, penguasa yang mengutamakan daratan selalu merasa tidak aman terhadap kawasan pesisir. Ini disebabkan kawasan pesisir umumnya menumbuhkan potensi kekuatan ekonomi berkat perdagangan dan bantuan-bantuan tak terduga. Kekuatan ekonomi itu dikhawatirkan memicu perlawanan terhadap penguasa yang berada di tengah-tengah pulau.
Dengan begitu, mereka yang menyandang gelar penguasa di Tanah Jawa biasanya disimbolkan dengan kesatuan semesta dan dunia, bukan luas dan terbuka seperti samudera. Sebutan itu antara lain Hamengkubuwono (memangku dunia), Pakubuwono (pasak dunia), Paku Alam (pasak alam), atau Mangkunegara (memangku negara).
Argumentasi Rendra tentang bahaya pemusatan kekuasaan dari watak agraris sudah ia tulis sejak 1996. Tulisannya dimuat ketika singgasana Presiden Soeharto mulai sering disasar banyak pihak dan dua tahun setelah itu ia lengser. Pun berkaitan dengan karakter Presiden Soeharto yang berasal dari tanah Mataram dan pola kekuasaannya yang mirip dengan ulasan Rendra tentang kuasa.
Sembilan tahun sesudah tulisan Rendra terbit, Majalah Tempo edisi 2005 mewawancarai Rendra. Ketika ditanya mengapa ia mulai sering menyinggung tentang maritim, ia menjawab semua hal terkait persoalan bangsa harus dilihat dari portofolio masa lalu dan portofolio masa depan.
Menurut Rendra, masa lalu bangsa ini pernah berjaya berkat laut. Namun, persoalan bangsa kita tampaknya bermula dari peminggiran wilayah pesisir dari prioritas pembangunan. Ironi semakin terasa lantaran orang menyebut Indonesia sebagai Tanah Air yang mengandaikan kejayaan dari darat dan laut, tapi kenyataannya laut kapiran di berbagai agenda pembangunan.
Dalam wawancara yang sama, saat ditanya harapannya tentang maritim, ia menjawab lugas bahwa Indonesia perlu membangun ulang kekuatan syahbandarnya.
“Potensi perdagangan bangsa ini luar biasa. Tetapi harus diberi infrastrukturnya. Pertama, daulat kelautan baru dengan pembuatan kapal-kapal, dermaga kecil, dan pelabuhan yang sudah ada seperti Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak harus menjadi taraf internasional,” tandasnya.
Mimpi-mimpi Rendra tentang laut bermula ketika sebuah kekuasaan yang lama berjalan mulai tergagap dengan perkembangan zaman. Pendapat dan segala mimpinya tentang kelautan mencerminkan keselarasan dengan wataknya yang terbuka, selalu menyesuaikan diri, dan mencoba menggali kebutuhan masa depan bangsa.
Waktu berlalu. Setiap kontestasi politik, perkara laut selalu disebut. Mungkin demi menarik hati, hal itu harus disinggung. Tapi, kini yang kita lihat, mimpi-mimpi Rendra tentang laut dan keadaannya sekarang ini justru lebih tampak seperti penggalan puisi dari penyair Chile, Pablo Neruda,“Kita melihat dan membiarkannya benar-benar mati, tapi kita tak pernah bisa menguburnya.”
Editor: Rahma Frida
