

Mendaras Paradigma Profetik Islam Muhammad Iqbal
/ Opini
Kenabian merupakan sebuah gerakan peradaban yang menginspirasi manusia untuk bangkit dari keterpurukan dan menciptakan tatanan sosial yang lebih adil.
Wawan Kardiyanto
Akademisi ISI Surakarta
Bagaimana perkembangan Dunia Islam di masa depan? Pertanyaan pemantik yang jawabannya membutuhkan nalar kritis lebih mendalam. Tentu saja kita perlu menilik sejarah peradaban Islam di masa dahulu yang tidak terlepas dari peran para tokoh pembaru yang terus menyuarakan gagasan pemikirannya dan mengkaji berbagai ilmu pengetahuan dan keislaman.
Berdasarkan rekam historisnya, peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah, saat itu di bawah pimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Khalifah Al-Makmun (813-833 M).
Pada masa tersebut, fokus pengembangan dikhususkan dalam berbagai bidang, terutama pengembangan ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, astronomi, filsafat, sastra, dan banyak keilmuan lainnya. Bagdad kemudian menjadi kawasan pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang menarik perhatian dari berbagai kalangan.
Pasca-keruntuhan Dinasti Abbasiyah, Dunia Islam tidaklah meredup, melainkan terus berkembang secara perlahan, tersebar hingga ke berbagai pelosok belahan dunia. Ketenaran Dunia Islam memang mengundang banyak perhatian bangsa di dunia pada zaman itu. Namun, Islam tetap tumbuh dengan munculnya dinasti baru.
Beberapa dinasti yang tersohor, misalnya Dinasti Mamluk di Mesir, Dinasti Ilkhand di Persia dan Irak, serta Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Semuanya memiliki peran penting terhadap pengembangan Dunia Islam.
Lika-liku perkembangan Dunia Islam diwarnai oleh gagasan dan pemikiran para tokoh yang hidup di abad itu, seperti halnya Ibnu Sina yang dikenal sebagai Bapak kedokteran, Jabir bin Hayyan yang dikenal sebagai Bapak Kimia, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Qayyim, serta berbagai tokoh lain dengan bidang keilmuan yang berbeda-beda. Pemikiran mereka mewarnai peradaban Islam pada zaman dahulu hingga lahir tokoh pembaru.
Banyak tokoh intelektual Muslim dengan gagasan dan pemikirannya yang cemerlang. Seperti di abad ke-20, salah satu tokohnya bernama Muhammad Iqbal. Namanya tentu tidak asing di telinga uamt Muslim termasuk di Indonesia, terlebih di kalangan intelektual dan akademisi. Beliau adalah seorang tokoh intelektual, teolog, penyair, dan filsuf eksistensialis. Seorang pemuda yang lahir di Sialkot, Punjab, India, pada 9 November 1877 lalu.
Muhammad Iqbal lebih dikenal sebagai tokoh pembaru, karena gagasannya yang gemilang. Ia menggabungkan ilmu kalam, tasawuf, ilmu sosial, dan sastra untuk memahami ajaran Islam agar lebih mendalam. Ia juga mengembangkan paradigma profetik Islam dan lebih menekankan pada aspek kebangkitan spiritual, intelektual, dan sosial umat Islam.
Di dalam pemikiran Muhammad Iqbal yang mengembangkan konsep profetik Islam menekankan peran kenabian dalam membangun peradaban yang dinamis dan progresif. Gagasan Iqbal tentang kesadaran profetik sering didengungkan dalam berbagai karya-karyanya yang menyuarakan jiwa-jiwa profetik dan kental dengan nuansa profetologis.
Konsepsi kenabian yang dibangun oleh Iqbal dalam gagasannya memberi inspirasi untuk kebangkitan kalangan progresif. Ia membangun konsepsi kenabian yang tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga memiliki dimensi intelektual dan sosial yang kuat (Annisa, dkk., 2024). Kenabian bukan hanya peristiwa wahyu, tetapi juga sebuah gerakan peradaban yang menginspirasi manusia untuk bangkit dari keterpurukan dan menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan dinamis.
Pemikiran Iqbal lebih besar mengacu pada konsep yang dinamis, pembaruan, atau reformasi umat Islam yang penting dalam mengatasi kemunduran karena pemikiran atau tertutupnya pintu ijtihad yang relevan dengan perkembangan zaman. Bahwa manusia, dengan kemampuan khudi-nya, diharapkan mampu menciptakan suatu perubahan yang berdampak baik.
Ia membangun kesadaran profetik dan mistik melalui karya-karya hasil pemikirannya dengan pemaknaan yang begitu mendalam dan luas, terlebih berupaya untuk melakukan perubahan pemikiran keagamaan dalam Islam. Pemikiran Iqbal tentang profetik dapat ditelaah melalui beberapa konsep utama berikut.
Konsep Khudi atau Diri yang Sejati
Khudi arti harfiahnya adalah ‘ego’ atau self; dipahami sebagai kesadaran spiritual dan intelektual yang menjadi fondasi utama kebangkitan manusia atau menjadi subjek perubahan. Konsep ini merupakan gagasan utama dalam pemikiran Muhammad Iqbal.
Menurutnya, manusia memiliki tanggung jawab dalam sejarah. Khudi tidak dipahami sebagai ego atau arti negatif, melainkan kesadaran spiritual yang membuat manusia berkembang dengan potensinya menjadi lebih kuat, kreatif, dan mampu mengubah dunia.
Penjelasan Iqbal tentang khudi bisa kita lihat dalam sebuah bait kalimat puisinya, The form of existence is an effect of the Self. Whatsoever thou seest is a secret of the Self. When the Self awoke to consciousness. It revealed the universe of Thought. A hundred worlds are hidden in its essence (Iqbal, 1920).
Arti kalimat tersebut, “Bentuk kejadian adalah bentuk dari khudi. Apa saja yang kau lihat ialah rahasia khudi. Bila khudi bangkit pada kesadaran nyata. Dijelmakannya alam cita dan pikiran murni. Ratusan alam terlingkung dalam inti sarinya."
Sebuah larik puisi yang menyentuh relung jiwa menyimpan makna. Iqbal berpandangan, khudi harus diarahkan mendekati khuda—ego mutlak atau sesuatu yang hakiki yakni Allah SWT—agar spiritual khudi meningkat lebih baik. Khuda merupakan hakikat keseluruhan Sang Maha Pencipta, Allah SWT.
Melalui karyanya berjudul Asrar-i-Khudi, ia ingin menyampaikan gagasan untuk mengembalikan kesadaran manusia atau umat Islam terhadap identitas keislaman mereka. Menjawab setiap keresahan yang dialami oleh manusia agar mereka tidak mengabaikan hakikat diri mereka dan khuda.
Pemikiran Iqbal yang dikenal sebagai tokoh pembaru berupaya mengarahkan kebangkitan Dunia Islam dan membangkitkan semangat masyarakat di masanya agar bergerak ke arah dinamis dan meninggalkan pemikiran statis dan mencapai kemajuan. Meski salah satu karyanya pernah memunculkan kontroversi di masanya, tapi pada nyatanya dapat membuat masyarakat Muslim bangkit agar tidak kalah dari bangsa Barat (Iqbal, 2002).
Khudi merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk terus berkembang. Khudi sejati akan menyatu dengan kehendak Tuhan, tidak sekadar mengikuti hasrat atau keinginan duniawi. Tahapan tertinggi khudi pada manusia, yaitu menjadi hamba Tuhan yang taat meneladani sikap luhur Nabi.
Ada tiga fase yang perlu dicapai oleh manusia untuk menuju kesempurnaan khudi, yakni ketaatan terhadap hukum ilahi, penguasaan diri, dan perwakilan illahi. Menjadi manusia atau wakil Tuhan di bumi sebagai khalifah, manusia harus berupaya memiliki khudi dan berusaha mencapai kesempurnaan dengan mi'raj kehidupan ruhaniah.
Kita bisa memperkuat khudi dalam diri kita dengan beberapa cara, yaitu memperkuat cinta, faqr, semangat atau keberanian, toleransi, kasb al-halal, jujur, dan kreatif.
Iqbal berupaya mendekatkan manusia dan memasrahkan segala halnya kepada Tuhan Allah SWT. Melalui larik puisi karyanya yang berbunyi Let Love burn all fears. Fear only God, and live like a lion! Fear of God is a pillar of Faith. Afraid to other than Allah is shirk veiled. Free yourself from fear other than Allah! You are the owner of latent power Arise! (Iqbal, 1920).
Karya Muhammad Iqbal berjudul Rumuz-i Bekhudi mendiskusikan bahwa rasa takut, kekhawatiran, keputusasaan, dan sikap pengecut yang sering dialami oleh manusia merupakan sumber dari dosa kejahatan dan pelemahan tempo atau irama hidup manusia. Solusinya, dengan meningkatkan tauhid kepada Allah atau meningkatkan spiritual diri dan meneladani sikap luhur Nabi Muhammad.
Khudi dalam pandangan Iqbal bukan egoisme, melainkan kesadaran diri dengan kontrol diri yang tinggi agar mampu berkembang lebih baik. Konsep khudi yang dikenalkan oleh Iqbal membantu kita untuk menyadari bahwa potensi kesadaran diri dapat membantu manusia menjadi lebih baik.
Pengembangan Manusia Paripurna atau Insan Kamil
Menjadi insan kamil merupakan bagian dari tujuan profetik Islam. Manusia berupaya merefleksikan sifat kenabian agar memiliki kesadaran diri yang tinggi, selanjutnya tercipta manusia dengan keseimbangan antara spiritualitas dan perannya sebagai makhluk sosial.
Gagasan-gagasan Iqbal ini berupaya mengajak manusia untuk lebih kritis dalam membuka wawasan cakrawala. Bahwa pada hakikatnya manusia merupakan ciptaan Tuhan dengan segala potensinya, sudah selayaknya melakukan tugas duniawi dengan tanpa menghilangkan tugas pengabdian sebagai hamba dari Sang Pencipta manusia, yaitu Allah SWT. Khudi kesadaran diri memang suatu hal yang masih mistik, bukan pula ego, melainkan dorongan untuk membuat manusia lebih kuat dan berkembang ke arah yang baik atau tidak statis (Iqbal, 1934).
Insan kamil dalam gagasan Iqbal merupakan taraf atau derajat tertinggi yang dicapai oleh khudi. Kita juga mengetahui bahwa potensi yang dimiliki manusia senyatanya tidak terbatas. Ia bisa mengaktualisasikannya dalam kehidupan. Begitu juga seorang mukmin sejati. Di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, kreativitas serta kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur tersebut dalam wujudnya yang tertinggi tecermin dalam akhlak nabawi. Setiap mukmin bisa menjadi insan kamil dan berkembang ke arah kemajuan, bila ia memiliki khudi (kesadaran diri) yang tinggi.
Untuk membuat suatu perubahan atau inovasi kemajuan yang besar dan berdampak pada perkembangan Dunia Islam, senyatanya diri umat Islam harus berjalan ke arah kemajuan dengan tanpa mengabaikan tugas-tugas penghambaan kepada Tuhannya. Konsep khudi (kesadaran diri) dan konsep insan kamil ini menjadi bagian yang penting dimiliki oleh manusia.
Kita mengetahui bahwa Tuhan merupakan keindahan abadi. Keberadaan-Nya tanpa tergantung pada sesuatu, mendahului segala sesuatu, bahkan menampakkan diri dalam semua itu. Tuhan adalah sumber segala sesuatu. Sudah selayaknya manusia berupaya menjadi insan kamil dengan meningkatkan spiritualitas diri.
Dalam pandangan Iqbal, konsep Insan kamil bukan sekadar mencapai kesempurnaan spiritual, tetapi juga menciptakan perubahan sosial dan membangun peradaban. Mencapai tahapan tertinggi ini, manusia harus menempuh beberapa tahapan, mulai dari membangun khudi (kesadaran diri), melawan egoisme diri, kreatif dan mandiri, kemudian menyatu dengan kehendak Tuhan serta melakukan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan menjadi manusia paripurna.
Bahan Bacaan
Iqbal, Muhammad. 1934. The Reconstruction Religious in Islam. London: Oxford University Press.
Iqbal, Muhammad. 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, dkk. Yogyakarta: Jalasutra.
Iqbal, Muhammad. 1920. The Secrets of the Self (Asrár-i Khudi): A Philosophical Poem. Trans. Reynold A. Nicholson. London: Macmillan & Co.
Annisa K.F., Umi Nurul H., Hilmi H. M., Khainuddin. 2024. ‘Tinjauan Ilmu Kalam Pemikiran Ulama Modern Menurut Muhammad Iqbal’. Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir dan Pemikiran Islam, 5 (2). https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/takwiluna
Editor: Herlina