Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Rabu (10/9/2025). (Kemenkeu)
Mencermati Janji Menkeu Baru Soal Pertumbuhan Ekonomi : Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Rabu (10/9/2025). (Kemenkeu)
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Rabu (10/9/2025). (Kemenkeu)

Mencermati Janji Menkeu Baru Soal Pertumbuhan Ekonomi

Kunci pertumbuhan berkualitas nasional tergantung pada sektor riil yang menciptakan lapangan kerja; bukan sektor keuangan.


Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar Teknik Kelautan ITS  Surabaya
Penulis kelahiran Mlinjon, Tonggalan, Klaten

 

Ada yang menarik dari pandangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen per tahun. Paradigma keuangan pembangunan Menteri Purbaya bisa dianggap sebagai perwujudan model Prabowonomics, sebagai kombinasi antara Soemitronomics dan Habibienomics.

Tulisan pendek ini berusaha melengkapi argumen janji petumbuhan tersebut, sekaligus memastikan kualitasnya untuk sebuah Negara Kepulauan bercirikan Nusantara seluas Eropa bernama Indonesia.

Setiap bangsa yang maju memerlukan enam hal penting berikut. Pertama, perluasan kesempatan belajar yang memerdekakan jiwa warganya. Kedua, pasar yang terbuka dan berkeadilan. Ketiga, investasi yang memandirikan dan menciptakan lapangan kerja.

Keempat, birokrasi yang kompeten dan amanah. Kelima, pasokan energi yang cukup, paling tidak sekitar 3-5 Kiloliter atau setara minyak per kapita per tahun. Keenam, pemerintahan maritim yang hadir di laut secara efektif.

Sementara itu, misi utama negara adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam membangun ketertiban dunia yang berdasar perdamaian abadi dan keadilan sosial. Misi negara ini harus dilaksanakan oleh pemerintahan yang tidak hanya hadir di darat, tapi juga di laut.

Kini, Kabinet Merah Putih belum punya peta jalan untuk hadir di laut secara efektif. Rencana pembentukan satu pemerintahan maritim melalui a truly genuine full-fledged National Sea and Coast Guard  sampai hari ini mandek, karena konflik kepentingan antar-kementerian/lembaga.

Setiap negara, kepulauan atau bukan, memiliki ‘kepentingan maritim’, yaitu kepentingan trade and commerce. Di sini penting mencamkan sabda Rasulullah Muhammad SAW tentang ‘Sembilan dari sepuluh rezeki datangnya dari perdagangan’.

Untuk menjadi kaya, bangsa ini harus menjadi bangsa pedagang. Sementara itu, 70 persen perdagangan dunia dilakukan melalui jalur laut. Kemakmuran setiap bangsa ditentukan oleh kemampuan menyediakan berbagai barang dan jasa bagi semua warganya dalam jumlah dan mutu yang cukup, untuk hidup sehat dan produktif di mana pun mereka berada.

Perlu dicermati, jalur laut yang dibangun VOC dan Hindia Belanda masih lebih luas dan efektif daripada yang disediakan oleh Republik ini sejak kemerdekaannya. Program Tol Laut era Presiden Jokowi hanya sebuah lelucon jika dibandingkan dengan karya VOC.

Tidak saja Belanda bisa menjajah Nusantara cukup lama, VOC bahkan menjadi kongsi dagang terkaya di dunia pada masanya saat Belanda menjadi adidaya menggusur Spanyol, sebelum kemudian digantikan oleh Inggris.

Negara Maritim sebagai Strategi Geopolitik-Ekonomi

Bagi Negara Kepulauan bercirikan Nusantara bernama Indonesia, menjadi Negara Maritim adalah strategi geopolitik-ekonomi yang tak terelakkan. Sebuah default geostrategy yang belum digarap sungguh-sungguh oleh Kabinet Merah Putih.

Langkah pertama penting dalam strategi tersebut, yakni membangun armada kapal nasional sebagai infrastruktur perhubungan. Armada kapal nasional dalam berbagai ukuran dan jenis serta kecepatan tidak hanya penting dalam memastikan persatuan, tapi juga menyediakan pemerataan kesejahteraan umum. Infrastruktur perhubungan bukan hanya jalan dan jembatan, serta pelabuhan, tapi juga armada kapal nasional.

Salah satu ukuran Negara Maritim adalah produktivitas armada nasionalnya yang diukur dari ton.km per tahun serta diwujudkan oleh armada nasional. Hingga hari ini, produktivitas armada nasional kita masih tertinggal. Per Januari 2024, produktivitas nasional kita hanya sekitar 70 juta Deadweight Tonnage (DWT) per tahun yang didominasi kapal-kapal kecil dengan muatan bernilai rendah.

Negara kecil Singapura mencatat produktivitas tinggi sekitar 100 juta DWT per tahun, sementara Belanda hanya sekitar 20 Juta DWT per tahun namun dengan kapal-kapal besar berteknologi tinggi untuk mengangkut muatan bernilai tinggi.

Jika dikaitkan dengan perannya dalam perdagangan internasional maka Singapura adalah Negara Maritim, disusul Belanda, baru Indonesia. Hal ini menjelaskan mengapa Indonesia sulit keluar dari middle-income trap, karena perannya dalam perdagangan global sangat terbatas, sekalipun Indonesia jauh lebih kaya sumber daya alam dibanding Singapura dan Belanda.

Bahkan China yang bukan Negara Kepulauan tidak mau sekadar menjadi manufacturer of the world. Mereka kini berusaha menjadi transporter of the world  melalui program The New Maritime Silk Route.

Armada kapal dengan berbagai rute perjalanan ibarat jaringan jalan yang memastikan kelancaran aliran darah sebagai media nutrisi ke seluruh tubuh Republik seluas Eropa ini. Tanpa itu, banyak bagian tubuh daerah yang mengalami development stunting, tertinggal, dan miskin.

Penting dicermati bahwa pembangunan adalah sebuah proses perluasan kemerdekaan, bukan sekadar pertumbuhan tinggi tapi terpusat di beberapa kawasan tertentu saja, seperti yang terjadi selama 50 tahun terakhir.

Program debottlenecking yang membuat ongkos logistik tidak kompetitif adalah bauran moda transportasi yang masih didominasi oleh jaringan jalan privat, seperti jalan tol. Indonesia membutuhkan sistem logistik nasional bertulang punggung armada angkutan laut yang terhubung dengan angkutan sungai dan penyeberangan serta jaringan rel kereta api. Bukan jaringan tol privat.

Dominasi angkutan mobil dan motor sekarang tidak saja mencekik aliran darah ekonomi, tapi juga sumber ketidakadilan energi nasional. Akibatnya, pasokan energi untuk angkutan laut, sungai, dan rel sebagai jalur-jalur perdagangan yang penting justru tidak memadai. Kesenjangan spasial antara Kawasan Timur dan Barat juga tidak kunjung teratasi, akibat ketimpangan energi nasional tersebut.

Sebagai catatan akhir, kunci pertumbuhan berkualitas nasional kita akan tergantung pada sektor riil yang menciptakan lapangan kerja; bukan sektor keuangan. Sektor keuangan justru perlu menggairahkan sektor riil, terutama sektor perdagangan dan jasa.

Untuk Negara Kepulauan ini, armada angkutan laut menjadi instrumen kuncinya. Pasar yang adil diciptakan oleh kebijakan fiskal dan moneter yang berpihak pada kedua sektor tersebut, terutama yang memperkuat kemandirian pangan dan energi.

Editor: Arif Giyanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik