

Menambang Akhirat
/ Opini
Kaum agamawan tetap harus punya solusi pada persoalan yang ada sepanjang zaman.
Bagus Sigit Setiawan
Penulis buku Santri Surakartan
Belakangan, perkara konsesi izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan ramai diperbincangkan publik. Sebagian kalangan tampak terburu-buru menghubungkan hal ini dengan moral etik atau norma keagamaan yang menyebut bahwa semestinya ormas keagamaan hanya mengurus soal-soal keagamaan, seperti ketuhanan, akhlak, dan serupa itu.
Konsesi izin tambang tiba-tiba tampak menyiutkan peran agama sebagai penjaga tatanan kehidupan. Seakan-akan agamawan yang mengurus soal ekonomi belum pernah ada. Banyak yang lupa bahwa sejarah agama di Eropa zaman lampau tidak hanya dipenuhi catatan kepemilikan alat produksi, tapi juga urusan politik.
Menurut saya, pertanyaan penting yang perlu diusung, yakni sejauh mana batas wilayah ormas keagamaan mengurusi ruang hidup manusia? Benarkah ormas keagamaan sebatas mengurusi urusan doa, atau cukup menyeru toleransi bila terjadi bentrokan antar-ormas atau umat beragama?
Bagaimana dengan kelompok penyumbang bahan bakar kerusuhan, yakni para konglomerat, pemodal kakap, pengeruk kekayaan negara, untuk terus mempermainkan umat beragama dengan isu keagamaan atau politik yang menyeret para pemuka agama untuk bermain, tiap lima tahun sekali, dengan modal kekayaan hasil mengeruk lahan?
Apakah ormas keagamaan cukup diam, bengong, atau sibuk menghardik, lalu tak berdaya menyaksikan penjarahan besar-besaran kekayaan yang terkandung di dalamnya, lalu dengan gagah, membangun usaha kecil-kecilan, mencoba untuk merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan mereka para penjarah itu?
Beberapa tanggapan yang saya temui, ada yang langsung melambung dengan menghubungkannya pada kasus kerusakan lingkungan selama ini, tanpa memerinci, siapa yang telah merusak, dan apa solusi paling logis untuk menindak para perusak itu, juga mengapa tidak bisa ditindak.
Selanjutnya, apabila ormas keagamaan yang berbeda dengan perusahaan lantas dianggap tidak pantas mengelola tambang, apa kemudian perusahaan swasta milik klan atau keluarga tertentu boleh seenaknya? Siapakah yang mampu mengelola tambang dengan baik, sesuai peraturan yang berlaku? Misalnya, dikelola kemudian direhabilitasi. Bukankah ormas keagamaan dibekali ajaran adiluhung Kitab Suci dengan mentor manusia suci?
Apakah mungkin seluruh urusan pertambangan dikelola satu pintu? Contoh, oleh negara saja, tanpa melibatkan pengusaha, perusahaan swasta, atau ormas keagamaan. Mungkinkah ketergantungan negara pada hasil tambang dapat total dihilangkan?
Dilema Agamawan
Ketika itulah berperan sebagai agamawan menjadi serba-repot. Pada satu sisi, mengurus agama sering kali dicemooh, dianggap tidak penting, dianggap kuna, tidak menjawab persoalan keumatan yang semakin hari semakin maju. Ajaran agama dianggap sudah usang.
Pada sisi lain, saat mengurusi hal lain pun dicurigai, serta dianggap tidak kompeten dan menabrak persoalan yang bukan menjadi wilayahnya, lalu didesak untuk tetap berada di sudut ruang sepi, tetap fokus pada urusan dengan Tuhan, lantas cukup fokus mendidik dan membimbing umat dengan ketentuan dan batasan yang ditentukan.
Namun, setelah fokus hanya mengurusi urusan batin, lalu kembali diposisikan kepada sangkaan pertama, para agamawan dianggap tidak hadir di tengah-tengah masyarakat, eksklusif, tidak membumi, tidak menjawab kebutuhan umat, dianggap terbelakang, dan tidak berkemajuan.
Jamak dipahami bahwa kaum agamawan akan menggunakan pendekatan fiqih untuk menjawab persoalan hidup. Fiqih dapat menjawab kekhawatiran umat, apakah sebuah perkara dilarang oleh agama atau tidak.
Fiqih juga dapat menyambut kekhawatiran pihak-pihak yang menyayangkan ormas keagamaan untuk turut dalam konsesi izin tambang. Mereka takut, Tuhan akan marah. Saking khawatirnya, hingga perlu berpendapat bahwa sebaiknya agamawan mana pun cukup mengerjakan hal-hal yg bersinggungan dengan ketuhanan.
Setelah dijelaskan dengan baik, pendekatan fiqih mampu mengabarkan bahwa ternyata ada peluang, Tuhan tidak marah, justru senang dan menghendaki. Ormas keagamaan akan benar-benar bekerja dengan baik dalam pekerjaan yang selama ini berdampak buruk, sebab kinerja yang buruk dan pengelolaan yang tidak tepat aturan, baik aturan Tuhan maupun pemerintah.
Misalnya, mencoba solusi phaseout yakni penghentian bertahap pengelolaan tambang. Jadi, tugas ormas cukup mengawal dengan ketat usaha mulia itu untuk semua usaha tambang yang ada dan masih berjalan sampai sekarang. Meski tentu bukan hal mudah pula untuk meyakinkan pemerintah dan para legislator untuk membuat aturan yang mendukung phaseout.
Dalam waktu bersamaan, ormas keagamaan dapat terus mendakwahi pengusaha dan pemilik modal untuk sadar bahwa ada alternatif selain kemaruk menambang untuk menghasilkan keuntungan. Karena begitulah cara ‘menambang akhirat’. Menambanglah hal baik dengan cara yang baik sebanyak mungkin agar kelak selamat di akhirat.