Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Gugum Ridho Putra, dan Wakil Rektor V UMS, Supriyono (tengah), berfoto bersama di Gedung Rektorat UMS. (Set DPP PBB)
Memuliakan Diri dengan Ilmu Pengetahuan : Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Gugum Ridho Putra, dan Wakil Rektor V UMS, Supriyono (tengah), berfoto bersama di Gedung Rektorat UMS. (Set DPP PBB)
Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Gugum Ridho Putra, dan Wakil Rektor V UMS, Supriyono (tengah), berfoto bersama di Gedung Rektorat UMS. (Set DPP PBB)

Memuliakan Diri dengan Ilmu Pengetahuan

Benang merah UMS dan Partai Bulan Bintang ada pada komitmen pencerdasan bangsa.


Arif Giyanto
Chairman Surakarta Daily
Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Senin (21/7/2025) pagi, Rektorat Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menerima kunjungan Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang (PBB). Suasananya hangat, penuh obrolan bermakna, dan pembacaan potensi-potensi kerja sama di masa depan. Sedari dibuka, forum mengalir sedemikian adanya, tanpa beban dan canggung yang berarti.

Ketua Umum PBB, Gugum Ridho Putra, diterima Wakil Rektor V UMS, Supriyono. Usai memperkenalkan diri, Gugum menuturkan maksud kunjungan PBB ke kampus UMS. Selain bersilaturahmi, komitmen pencerdasan bangsa sebagai prioritas utama PBB membutuhkan kolaborator strategis, salah satunya UMS.

PBB berdiri pada 17 Juli 1998, persis 90 tahun setelah kelahiran Mohammad Natsir, salah satu tokoh inspirasi partai berlambang bulan bintang itu. Dengan penuh keyakinan, PBB mengaku sebagai partai politik Islam berwajah modern dan penerus Masyumi, sebuah partai politik pimpinan Natsir yang pernah eksis semasa Orde Lama.

Dalam buku berjudul Capita Selecta karyanya yang diterbitkan Bulan Bintang Jakarta tahun 1954, Natsir menyampaikan pandangannya tentang konsep pendidikan Islam sebagai solusi kebangsaan, karena membagi pengetahuan umum dan pengetahuan Islam secara seimbang. Ia berkata, “Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.”

Natsir menilai pendidikan sebagai bagian penting integrasi nasional, setelah struktur negara. Sejarah mencatat, pada 3 April 1950, ia mengajukan gagasan kembalinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menggantikan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang lantas dikenal sebagai ‘mosi integral Natsir’.

Salah satu referensi representatif tentang kiprah Natsir semasa mengampu amanah struktural negara ditulis Mohammad Dzulfikridin dalam buku karyanya berjudul Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Natsir dalam Dua Orde Indonesia terbitan Mizan Pustaka tahun 2010.

Persoalan pendidikan yang ditangani Natsir bermula dari dualisme sistem pendidikan yang memisahkan pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan agama ditangani Kementerian Agama, sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengurusi pendidikan umum. Kabinet Natsir melakukan proses konvergensi pendidikan umum dan pendidikan agama melalui dua kementerian tersebut.

Beberapa dekade sebelum gerakan pendidikan Natsir, Persyarikatan Muhammadiyah lebih dulu memperjuangkan integrasi ilmu agama dan ilmu umum. Sang Pendiri, Kiai Ahmad Dahlan memahamkan umat Islam tentang betapa pentingnya ilmu sains dalam menjawab tantangan kehidupan.

Buku berjudul Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri terbitan Republika Penerbit tahun 2018 menyajikan jejak perjuangan Kiai Dahlan dalam merintis pendidikan modern demi karakter generasi Islam yang peka zaman. Muhammadiyah bahkan sering disebut berisi kaum ‘cerdik-pandai’ lantaran keteladanan pendirinya yang begitu sungguh-sungguh membangun masyarakat melalui pendidikan berkarakter.

Kiai Dahlan wafat setelah Persyarikatan menginjak usianya yang ke-11. Ia tak bersua dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun, apa yang telah ia bangun bersama Muhammadiyah terus hidup bahkan hingga kini. Sementara Buya Natsir meneruskan cita-cita pencerdasan bangsa dengan kebijakan pemerintahan ketika menjadi pemimpin negara. Jasa dua sosok panutan ini pada masa selanjutnya sangat dirasakan rakyat Indonesia, bukan hanya umat Islam.

Pendidikan Kunci Kepemimpinan Nasional

Sewaktu sesi bincang interaktif, Ketum Gugum berpandangan bahwa bidang pendidikanlah kunci lahirnya kepemimpinan nasional. Tanpa peran lembaga pendidikan tinggi seperti UMS, persoalan kepemimpinan nasional yang berdampak pada hajat hidup rakyat banyak akan mengkhawatirkan. Sang Ketum seperti menegaskan kembali pernyataan-pernyataan Buya Natsir pada masanya tentang pentingnya pendidikan.

Terlebih di tengah serbuan informasi digital yang sangatlah berpengaruh pada cara pandang generasi muda. Menurut Gugum, anak-anak muda sebenarnya tertarik dengan khazanah sejarah Indonesia, terbukti dengan masih eksisnya beberapa brand media khusus elaborasi kesejarahan. Asalkan disajikan dengan penuh warna, ketokohan para pendahulu dapat menjadi inspirasi penting generasi sekarang.

Prof Supri mengamini hal itu. Ia bahkan menilai, peran media sosial begitu luar biasa berpengaruh pada generasi muda. Dalam dunia perguruan tinggi, meski kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum memungkinkan banyak calon mahasiswa untuk memilih perguruan tinggi negeri, kans perguruan tinggi swasta tetaplah besar asalkan dapat bersosialisasi dengan baik.

Guru Besar Ilmu Teknik Mesin tersebut juga menjelaskan kiprah UMS yang telah mendunia, terutama eksis di Benua Afrika. Ketika menuntut ilmu di UMS, secara etos belajar, mahasiswa asal Afrika memiliki kesamaan dengan mahasiswa Indonesia. Setelah mereka mampu berbahasa Indonesia, proses belajar menjadi lebih efektif.

Kerja sama UMS dan negara-negara Afrika yang telah berlangsung lama ini tentu saja berpengaruh pada pembangunan sumber daya manusia di sana. Bahkan alumni UMS turut berkiprah dalam berbagai sektor di negara asal mereka. Nilai pendidikan, pengajaran, dan pengabdian yang mereka dapatkan di UMS kemudian dapat diaplikasikan, sesuai kebutuhan masing-masing negara.

Demikian sebentuk sumbangsih pendidikan bagi kepemimpinan sebuah bangsa. Tanpa pendidikan, harapan menuju kehidupan yang lebih baik oleh kepemimpinan nasional yang berkualitas, mustahil terwujud. UMS dengan segala instrumen pendidikan yang dimiliki tak lelah berkontribusi pada peradaban dunia yang lebih beradab.

Program Sekolah Rakyat yang belum lama mulai beroperasi sesungguhnya wujud komitmen pemerintah untuk mencerdaskan bangsa. Sekolah asrama untuk anak-anak dari keluarga tak mampu dengan pembiayaan sepenuhnya oleh negara menandakan hal itu. Sebuah program prioritas yang tak mudah, tapi bukan mustahil, apalagi bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar rakyat Indonesia, pendidikan.

PBB dan UMS dengan sumber dayanya masing-masing tak mungkin menolak kebijakan ini. Sebab, Sekolah Rakyat sejalan seirama dengan nafas perjuangan keduanya. Orientasi membangun negeri yang berkeadilan dan berkemajuan sangatlah perlu pendidikan berkualitas. Pendidikan yang juga menyentuh setiap lapisan masyarakat, bukan hanya privilege segelintir orang. Pendidikan yang tidak memisahkan antara karakter dan ilmu pengetahuan.

Sekolah Rakyat termasuk dalam 11 program unggulan pemerintah, selain Makan Bergizi Gratis (MBG), program 3 juta rumah melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Koperasi Desa Merah Putih, Sekolah Unggul Garuda, Rehabilitasi sekolah, Cek Kesehatan Gratis (CKG) atau Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG), penuntasan tuberkulosis (TBC), Pembangunan rumah sakit berkualitas, lumbung pangan, serta pembangunan bendungan dan irigasi.

Kunjungan PBB ke UMS pada akhirnya lebih tampak seperti kolaborasi olah potensi kebangsaan. Tak ada wajah elektoral atau tendensi politik tertentu. UMS dengan tangan terbuka menerima PBB sebagai bagian dari pemangku kepentingan nasional yang bisa saja bekerja sama dengan UMS di berbagai hal, asalkan tidak di ranah politik praktis.

Indonesia tengah menuju usia seabad. Saat momentum itu datang, kepemimpinan nasional semoga telah didukung oleh pribadi-pribadi mumpuni yang lekat dengan prinsip-prinsip keadaban dan kemuliaan, demi Tanah Air yang semakin dicintai lantaran negara yang dapat mewujudkan tujuan nasional. Untuk mencapainya, kolaborasi PBB dan UMS begitu dibutuhkan. Mari memuliakan diri dengan ilmu pengetahuan.

Editor: Astama Izqi Winata


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik