

Masih Muda Turut Tarekat, Mengapa Tidak?
/ Opini
Sebagian Muslim Indonesia mewarisi jalur tarekat yang bahkan telah ‘punah’ di negara asalnya.
Bagus Sigit Setiawan
Direktur Program Masjid Raya Sheikh Zayed. Alumnus Fakultas Hukum UMS. Penulis buku Santri Surakartan. Tinggal di Kartasura.
Beberapa tahun lalu, saya membaca buku yang memuat tanya-jawab seputar tasawuf. Saya tertarik membacanya, karena pertanyaan ditujukan kepada Habib Luthfi. Santri mana yang tak mengenal beliau? Seorang ulama yang tidak hanya menguasai ilmu syariat, tapi juga guru ilmu tasawuf yang cukup dikenal sebagai mursyid beberapa jalur tarekat (thariqah).
Habib Luthfi dikenal dekat dengan Gus Dur dan kiai-kiai ternama, seperti Kiai Abdullah Abbas dan Kiai Fuad Hasyim. Kedua kiai karib Gus Dur dan Habib Luthfi tersebut berasal dari Pesantren Buntet.
Dalam buku yang saya baca itu, salah satunya, membahas pandangan Habib Luthfi atas maraknya minat para pemuda sekarang pada dunia tarekat, sedangkan secara usia belumlah ‘matang’ atau masih muda. Mereka dengan rela berbaiat menjadi murid tarekat di depan seorang mursyid.
Sebelumnya, ilmu tasawuf atau tarekat dikenal sebagai ‘ilmu sepuh’. Artinya, hanya dikaji atau hanya dijalani oleh orang-orang yang dirasa sudah ‘matang’, atau berusia sepuh.
Menurut Habib Luthfi, keadaan itu justru merupakan sinyal baik perubahan zaman, di mana banyak anak muda yang sadar dan perlu mendalami ilmu tasawuf. Sebuah ilmu penyucian jiwa tentang akhlak. Sebelumnya, kesadaran ini hanya dimiliki oleh para generasi sepuh dan dianggap sudah menguasai atau melampahi ilmu-ilmu syariat dengan lengkap.
Pada dasarnya, Habib Luthfi menyatakan bahwa animo generasi muda pada tarekat adalah tanda dari keadaan positif, bukan sebuah ‘penyelewengan’ ajaran, atau dalam istilah Jawa disebut sebagai nggege mangsa.
Misalnya, tarekat Naqshabandiyah Haqqani yang dibawa oleh Syekh Hisyam al Kabbani. Beberapa pemuda termasuk para pesohor di dunia seni banyak yang berbaiat kepada Syekh Hisyam. Mereka menjalankan ketentuan-ketentuan seorang tarekat, sekaligus meniru cara berpakaian yang khas dari tarekat ini.
Murid-murid Syekh Hisyam dikenal dengan penutup kepala yang tinggi atau lancip, atau mengenakan imamah yang tebal melingkar di kepalanya, serta berpakaian khas ala Muslim Asia Tengah. Selain itu, mereka juga sering menggelar acara yang di dalamnya terdapat sentuhan kesenian, seperti tetabuhan musik rebana untuk mengiringi lantunan syair-syair sholawat yang dipadu dengan tarian sufi sama—atau sema—ala Jalaluddin Rumi.
Guru dari Syekh Hisyam, yaitu Syekh Nadzim, konon mempunyai hubungan yang dekat dengan nasab keturunan, sekaligus tarekat yang dibawa oleh Syekh Jalaluddin Rumi.
Pengaruh tarekat Naqshabandiyah yang dibawa Syekh Hisyam bahkan tidak hanya ada di Ibu Kota. Pengaruhnya sampai ke Kartasura, tempat tinggal saya. Apalagi ramai dikabarkan, Syekh Hisyam menjalin hubungan sangat baik dengan Kiai Salman Dahlawi, seorang mursyid sepuh tarekat Naqshabandi-Khalidiyah yang meneruskan jalur tarekat dari kakeknya, Kiai Manshur Popongan. Sikap yang kemudian diikuti pula oleh para murid Syekh Hisyam.
Beredar gambar-gambar dan rekaman video kunjungan Syekh Hisyam bersama gurunya, Syekh Nazim, ke Pesantren Suryalaya asuhan Abah Anom, salah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah. Syekh Hisyam didampingi oleh Habib Luthfi sebagai Ketua Jam’iyyah Ahli Thariqah An-Nahdliyyah (JATMAN), sebuah organisasi wadah tarekat-tarekat mu’tabarah di Indonesia yang seluruh anggotanya dari kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU).
Bukan hanya itu. Beredar juga foto Syekh Hisyam yang seperti sedang mendoakan Gus Dur. Atau foto Kiai Musthofa Bisri yang bertemu dengan Syekh Hisyam dan Syekh Jibril. Syekh Jibril disebut sebagai murid yang ditunjuk untuk meneruskan misi Syekh Hisyam di Indonesia.
Syekh Hisyam dengan penampilannya yang khas itu berkali-kali datang ke kampung saya, dan kebiasaan itu lalu diteruskan oleh Syekh Jibril, muridnya. Sejak itu, tidak sedikit kawan dan tetangga saya yang ikut berbaiat kepada Syekh Hisyam. Terlebih setelah Syekh Hisyam dengan kafilah Naqshabandi-nya menggelar acara shalawatan bersama Habib Syekh Assegaf di serambi Masjid Agung Surakarta. Banyak yang kemudian berbondong-bondong memasuki tarekatnya.
Indonesia Ramah Tarekat
Sebenarnya, sebelum itu, banyak para pemuda di kampung saya telah menjadi murid tarekat, terutama kawan-kawan sebaya saya. Mereka berbaiat tarekat Syadziliah di bawah bimbingan Kiai Masyhudi dari Madiun.
Setelah Kiai Masyhudi wafat, selanjutnya jamaah tarekat Syadzili dibimbing oleh Gus Wafi Maemon Zubair yang mendapat jalur tarekat dari Syekh Hisyam Al-Burhani, gurunya, yang berasal dari Syiria. Sebelumnya, jalur tarekat Syadzili di kampung saya berasal dari jalur dua guru tarekat Syadziliah di Jawa, yaitu jalur dari Syekh Ahmad Nahrawi dan jalur dari Kiai Idris bin Zahid Jamsaren Surakarta.
Umat Muslim di Indonesia bisa dikata beruntung. Sebab, mereka mewarisi jalur tarekat dari banyak tarekat yang ada. Bahkan bisa jadi di negara asalnya, tarekat-tarekat tersebut sudah ‘punah’ dan tidak bisa ditemui lagi para pengamalnya.
Di Indonesia, tarekat-tarekat itu bisa berkembang dengan baik. Hal ini tidak lain karena masyarakat Indonesia sudah memiliki bekal nilai-nilai spiritualitas yang selaras dengan alam pikir tarekat. Usaha-usaha mengekang hawa napsu dengan tirakat atau riyadah, biasa dilakukan oleh leluhur bangsa Indonesia, jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara.
Setahu saya, ada 44 tarekat mu’tabara dalam catatan Nahdlatul Ulama. Sebagian besar masih berkembang sampai saat ini.
Catatan mengenai perjalanan tarekat bisa kita tengok dalam banyak sumber, baik itu sumber kitab-kitab tasawuf sebagai kitab rujukan murid tarekat yang dikaji pada masa itu, serta fokus membicarakan sebuah tarekat.
Contohnya, kitab At-Tuhfah Al-Mursalah ila Ruh Al-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah Buhanpuri. Kitab ini sudah dikaji oleh umat Muslim pengikut tarekat Syattariyah pada abad ke-16 di bawah bimbingan Syekh Syamsuddin Pasai. Syamsuddin Pasai merupakan murid dari Syekh Hamzah Fansuri, guru Tarekat kelahiran Baros Sumatera yang hidup pada abad ke-16 dan ke-17.
Selain kitab Tuhfah karya Buhanpuri, ada kitab Ad-Durrah Al-Fakhirah karya Syekh Abdul Rahman Jami yang diajarkan oleh Syekh Yusuf Makassar di Pulau Sulawesi. Selain kitab-kitab kuno yang dikaji ketika itu, ada rujukan lain bersumber dari beberapa karya tulis kuno yang terpengaruh tradisi tarekat berbentuk serat, seperti yang berkembang di Jawa pada masa Demak, Pajang, dan Mataram Islam, atau karya lain yang berbentuk syair berbahasa Melayu, seperti ditulis oleh Syekh Hamzah Fansuri.
Menurut Ahmad Suaedy, pujangga-pujangga kraton yang kita kenal seperti Ranggawarsita, Yasadipura, dan pujangga-pujangga Kasunanan lain, sedikitnya sudah merampungkan kitab-kitab tasawuf, di antaranya Al Hikam karya Syekh Ibn Athaillah atau Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali. Fahruddin Faiz menyebut, beberapa serat yang ditulis Ranggawarsita dipengaruhi oleh tasawuf Ghazalian.
Memang tidak dapat disangkal bahwa kitab-kitab tasawuf dari Imam Ghazali dan Syekh Ibn Athaillah mewarnai hampir setiap pesantren salaf (tradisional) di Indonesia dari dulu sampai sekarang. Ranggawarsita pernah nyantri di Pesantren Gebang Tinatar yang diasuh oleh Kiai Hasan besari. Pengajian dua kitab tersebut masih banyak ditemui di pesantren-pesantren salaf di lingkungan Nahdlatul Ulama, seperti Lirboyo, Tebu Ireng, dan lainnya.
Editor: Herlina