Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Tahun 2025 di Alun-Alun Kidul Kabupaten Boyolali. (Humas Pemkab Boyolali)
Lebih Prioritas Mana, Infrastruktur atau Sumber Daya Manusia? : Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Tahun 2025 di Alun-Alun Kidul Kabupaten Boyolali. (Humas Pemkab Boyolali)
Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Tahun 2025 di Alun-Alun Kidul Kabupaten Boyolali. (Humas Pemkab Boyolali)

Lebih Prioritas Mana, Infrastruktur atau Sumber Daya Manusia?

Dilema prioritas pembangunan membutuhkan pendekatan realistis tapi sarat visi.


Nyuwardi
Anggota KAHMI Boyolali
Komisioner KPU Boyolali

 

Guncangan fiskal tengah dirasakan Pemerintah Kabupaten Boyolali. Pada tahun anggaran 2026, Dana Transfer ke Daerah (TKD) dari Pemerintah Pusat dipangkas hampir Rp254 miliar atau 15,02 persen. Artinya, total TKD yang diterima Pemkab Boyolali pada 2026 sebesar Rp1,4 triliun atau lebih kecil dari rencana tahun 2025 sebesar Rp1,6 triliun.

Detailnya, pengurangan alokasi dilakukan pada beberapa pos, yakni Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik, Dana Desa, dan Insentif Fiskal. Alokasi DAK Fisik untuk Boyolali pada 2026 bahkan sama sekali tidak ada alias nol rupiah.

Biasanya, TKD dialokasikan untuk mendanai penyelenggaraan urusan Pemkab, di antaranya pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik mulai dari kesehatan hingga pendidikan, serta pengurangan ketimpangan.

Secara nasional, pemangkasan TKD turun dari Rp919 triliun menjadi Rp693 triliun atau mencapai 29,34 persen dibanding tahun 2025. Penurunan anggaran TKD 2026 terbukti meresahkan para kepala daerah, sebab berdampak langsung pada belanja daerah. Lebih jauh, berpotensi mengganggu roda pemerintahan.

Mau tidak mau, Pemkab Boyolali hendak menerapkan skala prioritas secara ketat. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) apa pun wajib menempuh langkah efisiensi. Bila tidak demikian, guncangan fiskal dapat berubah menjadi bencana fiskal, lantaran defisit dan pemerintahan tidak lagi dapat dikendalikan.

Produktivitas Ekonomi

Setiap kali menarget efisiensi anggaran daerah, dilema pembangunan seketika muncul. Di satu sisi, warga membutuhkan infrastruktur memadai. Namun, di sisi lain, sumber daya manusia juga membutuhkan perhatian. Infrastruktur menjadi sia-sia, tanpa SDM yang cakap lalu menggerakkan perekonomian. Sebaliknya, SDM yang cakap tanpa infrastruktur tepat menjadi tak leluasa mengawal perubahan.

Dilema pembangunan infrastruktur dan SDM ibarat memastikan, lebih dahulu mana, ayam atau telur. Pada praktiknya, kedua hal tersebut jelas berjalan simultan, asalkan dalam koridor pengambilan kebijakan yang realistis tapi tetap sarat visi. Tidak mungkin, Pemkab hanya mementingkan infrastruktur tanpa merancang SDM berkualitas. Atau sebaliknya.

Baik pembangunan infrastruktur maupun SDM, orientasi produktivitas ekonomi yang paling utama. Kebijakan infrastruktur yang tepat dapat dirasakan publik dalam rupa produksi dan distribusi usaha mereka yang lantas lancar. Sementara SDM mumpuni dapat mendorong inovasi perekonomian daerah yang bermuara pada peningkatan daya saing.

Ketika kebijakan infrastruktur dan SDM dapat berbuah produktivitas ekonomi maka pertumbuhan ekonomi dan peningkatan standar hidup bukan lagi konsep di atas kertas. Daerah yang produktif ekonomi berarti berpendapatan lebih tinggi dengan input sumber daya yang ada atau berpendapatan sama dengan pemanfaatan input sumber daya yang lebih sedikit.

Teknisnya, jelas tak semudah membahasnya. Terlebih luas Kabupaten Boyolali yang lebih dari seribu kilometer persegi dan penduduk yang lebih dari sejuta orang mensyaratkan banyak pendekatan. Kebijakan yang tidak tepat sasaran, bermula dari kolaborasi data awal antara warga dan Pemkab yang tak lancar. Betapa penting bermusyawarah dengan tertib, hingga semua persoalan terurai.

Apalagi, Boyolali kini telah berubah menjadi entitas. Artinya, Boyolali bukan hanya tentang kewilayahan dan kependudukan administratif. Ia merepresentasi identitas kedaerahan yang terbawa ke manapun. Ketika kebijakan diambil, tidak serta-merta berurusan dengan warga yang tinggal di Boyolali. Kenyataannya, banyak warga Boyolali pergi merantau untuk bekerja dan berbisnis.

Entitas keboyolalian seperti ini selalu turut dalam tumbuh-kembang daerah, dalam kadarnya masing-masing. Misalnya, para orang tua yang merantau dan meninggalkan anak-anaknya untuk tetap di Boyolali bersama kakek-nenek tentu saja begitu memperhatikan kualitas lembaga pendidikan yang ada. Sebagian dari mereka, terkadang lantas membawa anak-anaknya untuk sekolah ke luar Boyolali, karena menilai sekolah-sekolah di Kota Susu kurang sesuai.

Produktivitas ekonomi yang lahir dari kebijakan infrastruktur dan SDM berhubungan erat dengan aktivitas perekonomian entitas Boyolali. Bila dapat dijalankan dengan baik, investasi yang lahir di daerah kelak akan didominasi oleh orang-orang Boyolali sendiri, walau permodalan mereka dapatkan dari aktivitas bisnis di luar daerah.

Titik Tumpu Pendidikan

Terlepas dari rumitnya menentukan proporsi keberimbangan kebijakan infrastruktur dan SDM, impak pada pendidikan tidak dapat diabaikan. Pendidikan yang dimaksud, bukan hanya formal tapi juga informal. Dari sanalah kesenjangan sosial dapat dipersempit. Pendidikan yang layak dapat mengangkat derajat sebuah masyarakat.

Ketika warga lebih banyak yang terdidik, kesempatan untuk mengubah daerah semakin membesar. Bila pun situasi dan kondisi belum memungkinkan, visi perubahan dapat dipatrikan ke jiwa-jiwa generasi baru Boyolali. Semangat tersebut pada akhirnya bisa berbuah sesuatu yang terkadang, sama sekali tidak diperkirakan.

Untuk itu, para pemimpin sebaiknya terus mempersolid kolaborasi. Mereka berperan besar pada penyelesaian setiap masalah yang muncul. Pembangunan pasar secara fisik, misalnya, bukan hanya bertujuan menjaga atau meningkatkan transaksi, tapi juga laboratorium eksperimen penting bagi pendidikan. Siapa pun dapat belajar, terhubung, dan berbuat hal konstruktif atas berjalannya pasar.

Distribusi kompetensi dan kepakaran tak kalah urgen. Karena anggaran terbatas, pilihlah personel yang tepat untuk pekerjaan yang tepat. Karena, bila pekerjaan tidak dikerjakan oleh ahlinya maka kerusakan sedang menunggu. Inefisiensi terjadi lantaran inkompetensi yang dianggap lazim atau bisa dimaklumi. Semua itu bergantung pada otoritas pendistribusian personel, baik itu pemerintah maupun non-pemerintah.

Seseorang yang kompeten lebih berdampak lusinan kali lipat daripada banyak orang inkompeten. Kebijakan penempatan dan penugasan seseorang yang tidak berbasis kompetensi dapat membahayakan tujuan efisiensi anggaran daerah. Karena langkah yang tidak strategis hanya akan menggiring Pemkab pada jurang defisit tak terkendali.

Tak mudah, begitu banyak orang bilang. Apalagi berurusan dengan kepentingan-kepentingan politis tertentu. Atau justru sekaranglah saatnya batas-batas primordial itu dikelola dengan baik. Seorang pemimpin, contohnya, tidak lagi akrab dengan konstituennya semata. Saat ia telah memimpin Boyolali maka siapa pun warga Boyolali berhak dilayani dengan tepat.

Lebih dari semua itu, pemangkasan TKD tidak dapat dihindari. Negara sedang berbenah lebih progresif dan transformatif. Kita yang berkepentingan atas penganggaran daerah sendiri juga memberi dukungan penuh kepada kebijakan Pemerintah Pusat. Dukungan yang bukan berarti tanpa kritik. Boyolali yang kita cintai ini haruslah terus dirawat penuh optimisme, bagaimanapun keadaannya.

Editor: Astama Izqi Winata


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik