Ilustrasi ulama penerus Rasulullah Saw. (Set SI)
Laudatio untuk Nabi : Ilustrasi ulama penerus Rasulullah Saw. (Set SI)
Ilustrasi ulama penerus Rasulullah Saw. (Set SI)

Laudatio untuk Nabi

Bagus Sigit Setiawan
Ketua Komite Presidium Solo Institute. Penulis buku Santri Surakartan.

Paman dari istri saya seorang pelukis. Keduanya pernah bercerita mengenai teknik menarik yang diajarkan dosen lukis dalam kelas lukis yang pernah diikuti semasa kuliah. Dalam sesi pelajaran melukis, dosen menyediakan satu model yang diletakkan tepat di tengah ruangan. Model bisa apa saja. Mahasiswa diposisikan mengelilingi model objek lukisan itu. Setelah  model ditentukan, mahasiswa ditugaskan untuk melukis sesuai dengan sisi pandang atau sesuai dengan tempat duduknya. 

Selain melatih ekspresi bentuk dan mencegah plagiat antara mahasiswa satu dengan yang lain, dosen juga menyadarkan bahwa perspektif manusia itu beragam. Bisa berbeda, satu dengan lainnya. Mungkin karena sebab ini, penilaian bagus-tidaknya lukisan atau karya seni pada umumnya, tidak mempunyai acuan baku yang harus diikuti. Bagus menurut sebagian orang, bisa jadi tidak bagus menurut yang lain. Soal selera. Selera orang bisa bermacam-macam.

Sebenarnya, pandangan berbeda bisa ada pada apa saja. Sebagian besar orang menyadari ini.Tapi, ada sisi pada manusia yang disebut oleh Nietzsche sebagai ‘kehendak berkuasa’ (the will to power). Manusia memiliki hasrat bawaan (fitrah) untuk menguasai sesamanya. Menguasai bisa apa saja, termasuk memaksakan selera itu tadi. 

Islam dalam ajarannya menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Manusia bebas menentukan keyakinannya masing-masing. Karena, menurut Islam, sudah jelas. Berbeda antara kebaikan dan keburukan. 

Jika kita menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai objek pandang, akan lahir beraneka ragam pemahaman tentang Nabi terakhir ini. Namun, dari banyak catatan yang ada, termasuk kalangan luar Islam, dapat ditarik garis besar atau kecenderungan arah bahwa mereka sepakat, Nabi Muhammad saw. merupakan sosok yang mengagumkan sebagai pemimpin sebuah kepercayaan yang lahir belakangan, dibanding kepercayaan lain yang lebih tua, seperti Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu, atau agama Kapitayan yang ada di Indonesia. 

Dalam Sirah Nabawiyah, dari riwayat orang-orang yang pernah sezaman dan berjumpa dengannya, lebih khusus lagi orang-orang yang pernah satu atap dengannya (ahlul bait), diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah sosok yang sangat humanis. Meminjam istilah Kiai Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ‘Manusia yang paling manusiawi’. Artinya, manusia yang paling mengerti manusia dan memanusiakan manusia.

Nabi Muhammad Saw. adalah pribadi yang sangat lembut, ramah, dan menarik. Diam dan bicaranya menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak pernah bertindak atau berbicara kasar.

Diriwayatkan Bukhari, Sahabat Anas ibn Malik ra. yang lama melayani Rasulullah Saw. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bukanlah pencaci, bukan orang yang suka mencela dan bukan orang yang kasar. Sementara menurut riwayat Imam Tirmidzi, dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa pribadi Rasulullah saw. tidaklah kasar, tidak keji, dan tidak suka berteriak-teriak.

Allah berfirman kepada Rasulullah saw. di dalam Q.S. 3: 159, “Maka disebabkan karena rahmat dari Allah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”

Menurut istri terkasih beliau, Sayyidatina ‘Aisyah ra. dan cucu kesayangan beliau Sayyidina Hasan Ibn ali ra., Rasulullah saw. juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya, memerah susu kambingnya, menjahit terompahnya yang putus, menyapu dan membuang sampah, memberi makan ternak, ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti, dan makan bersama-sama pelayan. 

Bagi umatnya, Nabi Muhammad saw. adalah contoh yang mudah diikuti langkahnya. Selain beberapa kebiasaan yang disebutkan, Sang Nabi memiliki kehidupan seperti manusia pada umumnya, seperti tidur, makan, minum, sakit, bekerja, berkeluarga, mempunyai keturunan, punya menantu dan juga besan, dan tinggal di rumah yang sederhana. 

Pemimpin Bersahaja

Nabi Muhammad saw. sebagai pranata agama sekaligus pranata negara atau politik, tidak hidup seperti layaknya raja-raja yang ada pada masa itu. Misalnya, di imperium Romawi, raja dan bangsawan memiliki kehidupan yang mewah. Lebih mewah ketimbang rakyatnya. Mereka tinggal di istana, dikelilingi para selir dan pelayan. 

Sesekali raja atau bangsawan mengadakan pertunjukan hiburan. Sebuah hiburan yang menegaskan kekuasaannya. Kita mengenalnya dengan nama Gladiator, yakni mengadu hewan dengan manusia. Biasanya para tawanan perang. Hal semacam ini tidak kita temukan pada sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw.

Jadi, sulit dimengerti bila ada yang mengaku umat Nabi Muhammad saw., tapi berlaku kasar, keras, tiran, kejam, tidak manusiawi, dan deretan perilaku keji lainnya. Barangkali mereka tidak mengenal betul pemimpin agung mereka yang begitu berbudi, lemah lembut, dan menyenangkan. Atau ada kesalahpahaman mengenai gambaran sosok Nabi Muhammad saw. Atau mereka mempunyai panutan lain dengan doktrin lain yang jauh berbeda dari apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Gus Mus menulis, keistimewaan Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah Allah. Kita menyebutnya sebagai rendah hati, tawadhu, atau andap asor. Apalagi mengingat beliaulah satu-satunya Nabi, yang pernah ‘berdialog’ langsung dengan Allah Yang Maha Esa di Sidratul Muntaha, dalam perjalan Isra Mi’raj yang menegaskan keluhuran derajat beliau di hadapan Allah.

Kebesaran dan kekuatan pribadi Rasulullah saw. inilah yang mendasari sikap dan gaya hidup sederhana yang beliau pilih. Tidak keliru jika Michael H. Hart menempatkan sosok Nabi Muhammad saw. pada urutan pertama dari 100 orang yang paling berpengaruh dalam sejarah.

“Tidak mudah untuk bersikap biasa, terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa,” tulis Gus Mus.

Momentum Pemilihan Umum 2024 dan berbagai konflik bersenjata di dunia saat ini semoga dapat memanggil karsa muhasabah masing-masing kita untuk terus menyanjung Rasulullah saw. Laudatio untuk Nabi.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik