Masjid Raya Sheikh Zayed, salah satu destinasi religi utama di Kota Solo. (Setda Surakarta)
Laku Ekspresi Profetik : Masjid Raya Sheikh Zayed, salah satu destinasi religi utama di Kota Solo. (Setda Surakarta)
Masjid Raya Sheikh Zayed, salah satu destinasi religi utama di Kota Solo. (Setda Surakarta)

Laku Ekspresi Profetik

Manusia berperilaku dan beretika dengan meneladani akhlak utusan Allah yang bersumber dari firman-Nya.


Wawan Kardiyanto
Akademisi ISI Surakarta

Peradaban baru di masa modern menghadirkan ragam bentuk karya seni yang begitu kompleks. Berbagai kesenian berkembang sesuai dengan dimensi peradabannya. Era modern diwarnai dengan berbagai budaya bersifat sekuler yang mencerminkan perubahan serta menunjukkan adanya hubungan antara agama dengan kehidupan sosial.

Umat manusia, terutama para pemeluk agama, berhadapan dengan berbagai tantangan dan fenomena global yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Isu-isu kontemporer yang menghambat kehidupan manusia terus bermunculan, mulai sektor ekonomi, politik, hukum, lingkungan, hingga pendidikan.

Berbagai fenomena global yang dapat menciptakan lingkungan dinamis dan kompleks membutuhkan respons inovatif dari umat beragama. Artinya, untuk membaca berbagai peristiwa dan tren kekinian dapat dilihat dari kacamata agama, apakah itu baik atau buruk bila diterapkan.

Ada banyak doktrin atau ajaran-ajaran Islam yang responsif terhadap isu atau topik kontemporer. Beberapa contohnya, fenomena LGBT, isu lingkungan, etika dan moralitas manusia, serta masih banyak lagi. Semua itu membutuhkan respons agama, berupa penilaian baik atau buruk.

Untuk merespons berbagai fenomena tersebut, tentu saja diperlukan pendekatan komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai hal, seperti aspek sosial, budaya, rekam historis, dan juga kreativitas. Selanjutnya, menemukan cara bagaimana ekspresi profetik pada kenyataannya selaras dengan konteks realitas dan berkesinambungan.

Kita tidak bisa melupakan visi profetik sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Kuntowijoyo dalam tulisannya bahwa etika merupakan keprofetikan. Menurutnya, manusia berperilaku dan beretika dengan meneladani akhlak Nabi Muhammad yang bersumber dari firman Tuhan yakni kitab Al-Quran.

Hal-hal yang berkaitan dengan etika profetik termaktub dalam firman Allah pada QS Ali Imran ayat 110,  “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”

Dari ayat tersebut, ada tiga poin yang perlu digaris bawahi, yakni amar makruf yang berarti menyuruh manusia agar berbuat kebaikan. Hal ini relevan dengan humanisasi. Berikutnya, nahi mungkar yakni mencegah pada keburukan atau kemungkaran yang selaras dengan liberasi. Ketiga, beriman kepada Tuhan yang dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan transendensi.

Humanisasi, liberasi, dan transendensi, menurut Kuntowijoyo, merupakan visi profetik atau tugas kenabian dan kemanusiaan. Berikhtiar untuk melakukan hal kebaikan dengan maksud menyampaikan pesan bahwa hakikatnya manusia merupakan makhluk yang memiliki tindakan baik.

Hal itu juga pernah dikaji oleh John Locke yang menemukan teori tabularasa. Ia meyakini bahwa manusia pada dasarnya adalah bersih.  Dalam Islam, kita mengenal konsep fitrah, yaitu lingkungan dan orang sekitar yang mewarnai keyakinan, pola pikir, hingga diaplikasikan dalam tindakan.

Peradaban baru masa kini sarat dengan tata nilai yang lebih terbuka. Tuntutan keterbukaan menyajikan peluang dan tantangan yang harus diketahui dengan selektif oleh manusia. Sebab, banyak ekspresi tindakan telah membentuk budaya baru. Tidak sedikit yang bertentangan dengan nilai sosial.

Tidak sedikit manusia berekspresi dengan rujukan postingan internet kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan dan meyakini bahwa hal itu merupakan sebuah tren yang bila tidak dilakukan akan out of date. Tanpa filterisasi diri, tindakan seseorang bisa bernilai negatif dan berdampak pada kehidupannya.

Problem dan konflik yang tiada henti dipraktikkan oleh manusia, mulai dari tindakan kekerasan, konflik antar-suku, etnis di berbagai lapisan masyarakat, serta bencana alam yang tidak kunjung berhenti, menjadi salah satu peristiwa atau problem pelik yang perlu ditemukan solusi.

Setiap peristiwa yang terjadi, mulai dari bencana alam dan kerusakan moral, pada dasarnya bersumber dari sikap manusia. Atas dasar demikian, inilah alasan mengapa manusia harus memiliki moral yang baik dan menciptakan hubungan sosial yang positif antar-sesama. Kita juga tidak bisa melupakan bagaimana akhlak Nabi Muhammad terhadap sesama manusia dan menjalin silaturahmi dengan para sahabatnya.

Mengekspresikan Nilai Profetik

Ekspresi profetik bisa dilihat dari kualitas hidup manusia, apakah termasuk kategori berakhlak baik atau sebaliknya? Seseorang yang memiliki keilmuan dalam mengungkapkan pesan atau nilai-nilai profetik dan keilahiahan biasanya tecermin dari sikapnya yang berbudi luhur. Dalam setiap tradisi, profetisme dianggap sebagai suatu anugerah Tuhan kepada manusia. Kehidupan modern memengaruhi budaya-budaya baru, sehingga ekspresi profetik juga diaplikasikan menurut kepercayaan, budaya, dan tradisi spiritual masing-masing.

Sebagai umat Islam, mayoritas Muslim mendasarkan sikapnya pada wahyu Al-Quran dan Hadits Nabi yang merupakan landasan utama. Meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang alim dapat membuat seseorang secara tidak langsung membiasakan diri bersikap pada kebaikan. Selain itu, meyakini bahwa perilaku baik akan mendapatkan kebaikan, meski dalam rupa yang berbeda.

Umat Islam meneladani sifat dan sikap Nabi SAW, mulai dari berkata benar, jujur, amanah, sabar, dan konsisten dalam kebaikan kepada sesama. Sikap-sikap demikian sangat dibutuhkan dalam konteks kehidupan sosial sekarang. Berperilaku baik sama halnya mengupayakan diri untuk menjadi orang baik, sebagaimana perilaku Nabi Muhammad SAW.

Mengekspresikan nilai-nilai profetik tidak hanya tentang kata-kata, melainkan dengan tindakan–mencerminkan keyakinan dan prinsip yang dianut. Konsistensi kesadaran dan nilai-nilai memberikan kontribusi pada bangunan peradaban atau masyarakat yang lebih baik.

Misalnya, era digital diwarnai dengan penggunaan media sosial yang menyajikan plus dan minus dan berdampak signifikan bagi manusia. Kita bisa mencitrakan diri dengan postingan yang positif, menjaga komentar agar tidak menyinggung, serta menghindari ujaran kebencian.

Postingan yang positif akan memberikan energi positif bagi orang lain. Cukup banyak kita menemukan postingan konten reels atau video serta gambar-gambar di Instagram yang mengandung edukasi, inspirasi, dan motivasi. Ada pula konten yang mengundang emosi negatif hingga menyulut konflik dan berujung di meja pengadilan.

Poinnya, mari menyiapkan diri di era digital dengan tetap mengontrol diri atau emosi diri agar lebih kuat. Sebab, ekspresi spiritual seseorang dilihat dari ekspresi tindakannya.

Mari mengulik ingatan tentang serangkaian peristiwa mengkhawatirkan seperti postingan online dengan kandungan kekerasan yang berpengaruh terhadap kondisi mental para pembacanya. Kasus-kasus di media sosial sangatlah banyak dan mudah untuk ditemukan, hingga munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai payung hukum bagi para korban kekerasan online agar mereka tetap aman berselancar di media sosial.

Cukup sering rasanya kita menemukan kasus-kasus pencemaran nama baik melalui postingan-postingan di media sosial dan tersebar di berbagai platform media. Hal itu sebagai dampak dari kemudahan akses informasi masa kini. Segala macam bentuk peristiwa yang terjadi menuntut kita semakin memperkuat spiritual diri sehingga memiliki kontrol yang positif agar mampu mengendalikan diri.

Peaceful Coexistence

Membangun kesadaran kemanusiaan dalam diri merupakan bagian dari ajaran Islam. Dalam universalitas Islam, kalangan Muslim tradisional memiliki tokoh panutan, dikenal dengan Walisongo, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

Tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa pada abad ke-16 hingga 17 berhasil mengombinasikan aspek sekuler dan spiritual, yakni mengenalkan Islam dengan cara yang apik. Para tokoh melakukan akulturasi budaya, sehingga Islam mudah diterima oleh banyak kalangan masyarakat. Tindakan Walisongo tersebut merupakan ekspresi Islam kultural yang berhasil mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memiliki sikap penerimaan dengan toleransi tinggi dan hidup berdampingan meski berbeda (peaceful coexistence).

Ekspresi tersebut dapat kita temui, seperti beberapa waktu kemarin, dalam suasana bulan Ramadhan 1445 H, berbagai trending topic seperti ‘war takjil’ dengan umat non-Muslim, saling berbagi kebaikan terhadap sesama tanpa memikirkan latar belakang agama. Respons positif muncul dari berbagai kalangan hingga membangun kesadaran kemanusiaan dan menikmati indahnya penerimaan akan perbedaan dengan tetap hidup damai tanpa adanya sikap fanatisme hingga menolak berkomunikasi dengan orang yang berbeda agama.

Kita perlu mengingat lagi bahwa meneladani sikap Nabi harus menyeluruh atau tidak setengah-setengah, termasuk akhlak Nabi yang berbuat baik kepada sesama manusia meski non-Muslim sekalipun atau terhadap orang yang tidak suka. Nabi Muhammad telah mempraktikkan bagaimana bersikap baik dan menjalin hubungan baik. Itulah yang perlu kita teladani sebagai umat Muslim; bukan memilah ajaran atau akhlak Nabi mana saja yang sesuai dengan keinginan kita.

Bahan Bacaan

Mawardi, Kholid. 2013. ‘Seni sebagai Ekspresi Profetik’. Ibda’; Jurnal Kebudayaan Islam. 11 (2), 131-147.

Kardiyanto, Wawan. 2019. ‘Kesenian Profetik Membangkitkan Khittoh Seni Back to Basic (Telaah Kesenian dan Keislaman’. Lakon; Jurnal Pengkajian & Penciptaan Wayang. 16 (2), 94-106.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik