

Ketika Lebih dari Tujuh Juta Orang Menganggur
/ Opini
Dibutuhkan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang didominasi lapangan usaha dengan serapan tenaga kerja tinggi.
Anton A. Setyawan
Guru Besar Ilmu Manajemen FEB
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Persis pada tanggal 5 Mei 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data penurunan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2025 mencapai 4,87 persen secara year on year (Y on Y). Apabila dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2024 atau quarter to quarter (Q to Q) maka pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau tumbuh negatif sebesar 0,98 persen.
Sejumlah tiga lapangan usaha menjadi penyumbang kontraksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) triwulan I tahun 2025, yaitu jasa pendidikan yang tumbuh negatif 8,45 persen, pertambangan dan penggalian yang tumbuh negatif 7,42 persen, serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang tumbuh negatif 6,97 persen.
Dari sisi pengeluaran, tiga komponen menjadi penyumbang terbesar kontraksi pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2025. Pertama, komponen pengeluaran konsumsi pemerintah (PKP) yang terkontraksi sebesar 39,89 persen. Kedua, komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) mengalami kontraksi 7,40 persen. Ketiga, komponen ekspor barang dan jasa yang tumbuh negatif sebesar 6,11 persen.
Kontraksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun 2025 berdampak pada peningkatan angka pengangguran terbuka. Pada bulan Februari 2025, jumlah penduduk yang tidak bekerja (angka pengangguran terbuka) sebanyak 7,28 juta orang atau 4,76 persen. Dibandingkan dengan bulan Februari 2024, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 83,45 ribu orang atau 1,11 persen.
Sejak akhir 2024, terbit kekhawatiran tentang pelambatan ekonomi di Indonesia dan hal ini terbukti pada triwulan I tahun 2025. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dalam tiga bulan terakhir juga berdampak pada peningkatan angka pengangguran terbuka. Sebuah sinyal yang sebenarnya telah dikeluhkan dunia usaha sejak awal tahun lantaran penurunan penjualan.
Pada kenyataannya, keputusan pemerintah untuk melakukan efisiensi mulai berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada sisi lain, pemerintah tidak kunjung menata iklim investasi yang lebih kondusif, sehingga terjadi deindustrialisasi.
Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen, karena angka pertumbuhan ekonomi sebesar itu diharapkan bisa menyelesaikan beberapa masalah. Sejak tahun 2000, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4,7 sampai 6 persen. Angka pertumbuhan ekonomi 6 persen dicapai pada masa pemerintahan Presiden SBY, sementara pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan bergeraknya aktivitas ekonomi diharapkan berdampak pada masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan di Indonesia. Konsep ini disebut dengan ‘pertumbuhan ekonomi berkualitas’, yakni pertumbuhan ekonomi yang bisa berdampak pada pembukaan lapangan pekerjaan baru. Pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh lapangan usaha dengan serapan tenaga kerja tinggi.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada bulan Februari 2025, ada tiga lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Pertama, pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 28,54 persen. Kedua, perdagangan besar dan eceran, serta reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor sebesar 19,26 persen. Ketiga, industri pengolahan sebesar 13,45 persen.
Tiga lapangan usaha tersebut juga mengalami pertumbuhan signifikan secara Q to Q dari triwulan IV tahun 2024 ke triwulan I tahun 2025. Lapangan usaha pertama tumbuh sebesar 10,52 persen. Lapangan usaha kedua tumbuh sebesar 5,03 persen. Lapangan usaha ketiga tumbuh 4,55 persen.
Berdasarkan data tersebut, pemerintah sebenarnya telah memiliki panduan untuk meningkatkan investasi pada lapangan-lapangan usaha yang menyerap banyak tenaga kerja. Pertanyaannya, apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup berkualitas untuk memberikan daya ungkit pada penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas?
Penulis melakukan simulasi dengan model ekonometrika yang mengukur pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penambahan jumlah orang yang bekerja dengan menggunakan data PDB atas dasar harga berlaku dan jumlah penduduk bekerja usia di atas 15 tahun tahun 2000 sampai dengan 2024.
Hasilnya menunjukkan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi naik 1 persen maka jumlah orang yang bekerja meningkat sebanyak 267.000 orang. Setiap tahun, peningkatan jumlah angkatan kerja di Indonesia rata-rata sebesar 3,3 juta orang. Berarti setiap tahun ada sekitar 3,3 juta orang yang masuk ke dunia kerja.
Ketika setiap satu persen peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 267.000 orang angkatan kerja baru maka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari konsep pertumbuhan ekonomi berkualitas.
Pekerjaan Berkualitas
Ada yang salah dengan perekonomian Indonesia. Daya ungkit pertumbuhan ekonomi terhadap penambahan jumlah orang bekerja ternyata rendah. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Komponen konsumsi rumah tangga berkontribusi antara 55-60 persen terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Daya beli masyarakat yang menurun akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi.
Kedua, ketergantungan pada sumber daya alam. Hal ini tecermin pada kontribusi ekspor komoditas primer, seperti batubara, CPO, nikel, dan gas alam. Risiko dari pertumbuhan ekonomi yang tergantung pada sumber daya alam begitu rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar global.
Lapangan usaha yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi saat ini mengalami perubahan lanskap dari padat karya menjadi padat modal. Lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, serta reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor, juga industri pengolahan sudah menggunakan teknologi dalam proses produksi. Proses bisnisnya bergerak ke arah digitalisasi, sehingga tidak lagi memerlukan banyak tenaga kerja. Hal itu menjelaskan, mengapa pertumbuhan ekonomi tidak banyak berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja formal.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas juga menyebabkan dominasi pekerja sektor informal dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia. Sekarang, sekitar 83,83 juta orang atau 57,95 persen dari total jumlah penduduk yang bekerja menjadi pekerja di sektor informal. Pekerja sektor formal hanya berjumlah 60,81 juta orang atau 42,05 persen dari jumlah pekerja. Dominasi pekerja sektor informal menunjukkan struktur ketenagkerjaan yang tidak sehat, karena pekerja sektor informal dibayar di bawah upah minimum dan minim perlindungan hukum.
Persoalan ketenagakerjaan demikian memerlukan solusi, meskipun tidak mudah untuk diselesaikan. Berikut beberapa alternatif solusinya. Pertama, mengurangi gap kompetensi antara kebutuhan industri dengan lulusan pendidikan formal maupun informal. Perkembangan teknologi yang dipergunakan di dalam proses bisnis perlu diantisipasi oleh lembaga pendidikan, sehingga lulusan yang dihasilkan bisa diserap oleh dunia kerja.
Kedua, mendorong pemberdayaan UMKM dengan digitalisasi dan penguatan kualitas sumber daya manusia, karena jenis usaha ini menyerap banyak tenaga kerja. Ketiga, memperbaiki iklim investasi dan mengembangkan skill kewirausahaan pada calon pekerja berusia muda, sehingga kelompok tersebut bisa menciptakan lapangan kerja baru secara mandiri.
Pertumbuhan ekonomi hanya sebuah indikator yang menunjukkan kondisi ekonomi sebuah negara. Indikator riil yang memberikan manfaat bagi rakyat banyak adalah terciptanya pekerjaan yang layak bagi mereka dan bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Kita berharap, pemerintah mampu menyusun kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat banyak. Bukan hal mudah, tapi tak ada kata menyerah.
Editor: Astama Izqi Winata