Muktamar VII Jam;iyyah Ahlith-Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah Pesantren Futuhiyyah Mranggen, 21-23 November 1989. (Futuhiyyah Mranggen)
Ketika Islamisasi Sukses dengan Tasawuf : Muktamar VII Jam;iyyah Ahlith-Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah Pesantren Futuhiyyah Mranggen, 21-23 November 1989. (Futuhiyyah Mranggen)
Muktamar VII Jam;iyyah Ahlith-Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah Pesantren Futuhiyyah Mranggen, 21-23 November 1989. (Futuhiyyah Mranggen)

Ketika Islamisasi Sukses dengan Tasawuf

Tasawuf mengajarkan prinsip-prinsip dasar yang sangat diperlukan seorang arif.


Bagus Sigit Setiawan
Direktur Program Masjid Raya Sheikh Zayed. Alumnus Fakultas Hukum UMS. Penulis buku Santri Surakartan. Tinggal di Kartasura.

 

Fenomena tasawuf di Indonesia bukanlah hal baru. Selain karya-karya tulis lawas, catatan lain yang menyebut tentang perjalanan tarekat ditulis oleh seorang Indonesianis bernama Martin van Bruinessen dalam bukunya, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Karya yang diberi pengantar begitu bagus oleh Kiai Abdurrahman Wahid atau akrab dikenal sebagai Gus Dur itu sebagiannya memuat perkembangan tarekat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Martin mengutip pendapat sejarawan bahwa Islam, sebagaimana yang diajarkan kepada orang-orang Asia Tenggara yang pertama memeluk Islam, sangat diwarnai oleh berbagai ajaran dan amalan sufi. Para sejarawan telah mengemukakan, hal inilah yang membuat Islam menarik bagi masyarakat Asia Tenggara. Dengan kata lain, perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan islamisasi Asia Tenggara dapat berlangsung.

Martin sendiri mengaitkan keberhasilan penyebaran Islam dengan pandangan bahwa abad-abad pertama islamisasi Asia Tenggara berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat.

Pertama, Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111). Ia menguraikan konsep moderat tasawuf akhlaqi dan diterima kalangan fuqaha. Kedua, Ibnu al-Arabi (w. 1240). Karyanya sangat mempengaruhi ajaran hampir semua sufi belakangan. Ketiga, Syekh Abdul Qodir al-Jailani (w. 1166). Ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah.

Keempat, Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 1097). Darinyalah nama tarekat Suhrawardiyah diambil wafat setahun kemudian. Kelima, Najmuddin al-Kubra (w. 1221), seorang tokoh sufi Asia Tengah yang produktif. Ia pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah pada masa belakangan. Keenam, Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili (w. 1258), sufi Afrika Utara yang mendirikan tarekat Syadziliah.

Tarekat Rifa’iyah telah mapan sebagai tarekat menjelang tahun 1320, ketika Ibnu Bathutah meriwayatkan berbagai ritual tarekat ini. Tarekat Khalwatiyah menjelma menjadi tarekat antara tahun 1300 dan 1450. Naqshabandiyah sudah menjadi tarekat yang khas pada masa sufi sang pemberi nama, yakni Baha’uddin Naqshaband (w. 1389) masih hidup. Sementara pendiri tarekat Syattariyah, Syekh Abdullah asy-Syattar wafat pada tahun 1428.

Indonesia, Majelis Sufi Dunia

Di Indonesia, digelar Multaqa Sufi al-Alami (Majelis Sufi Dunia) di bawah kendali Rais Jam’iyyah Ahli Thariqah an-Nahdliyyah, Habib Luthfi bin Yahya. Dalam acara itu, Habib Luthfi sebagai tuan rumah, mengundang seluruh wakil tarekat yang masih ada di dunia. Banyaknya wakil pemuka tarekat yang datang dari berbagai negara dengan latar belakang jalur tarekat yang ada, bisa disebut saat ini Indonesia adalah pusat perkembangan tarekat dunia.

Bukan anggapan yang kosong jika Indonesia disebut menjadi pusat perkembangan ilmu tasawuf dari ragam tarekat yang ada. Sebab, selain kajian-kajian ilmu tasawuf yang ada di pesantren-pesantren Salaf di lingkungan Nahdlatul Ulama, lahir majelis-majelis pengkajian ilmu tasawuf di tempat-tempat lain yang lebih dekat dengan kalangan di luar pesantren.

Sebutlah pengajian kitab Al-Hikam dan Ihya’ Ulumuddin yang diampu oleh Gus Ulil Abshar Abdalla. Bahkan jadwal pengajian Ihya’ yang diampu oleh Gus Ulil dapat melampaui tradisi pengkajian yang ada.

Kang Ulil tidak hanya duduk menetap di satu majelis, namun ia berkeliling ke tempat-tempat di mana dia diundang. Undangan mengaji di luar itu oleh Mbak Ienas, istri Kang Ulil, disebut dengan Kopdar Ihya’. Kopdar tersebut diadakan di Solo, Yogyakarta, Semarang, Mojokerto, Jakarta, dan di ruang-ruang yang beragam, seperti masjid, pesantren, rumah-rumah, hingga kafe.

Selain Gus Ulil, ada Kiai Kuswaidi Syafi’i yang mendapat pengalem dari banyak kalangan. Sebab, ia mengadakan pengajian kitab tasawuf yang tidak biasa dibaca di lingkungan pesantren. Kiai Kuswaidi membaca kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh sufi besar dan oleh banyak kalangan dianggap sulit dipahami, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dan Syekh Jalaludin Rumi.

Sebenarnya, sebelum Gus Ulil dan kawan-kawan sebayanya, almarhum Kiai Asrori bin Utsman al-Ishaqi, seorang mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah yang tinggal di Kedinding Surabaya, telah lebih dahulu melakukannya.

Selain itu, pengajian yang dibimbing oleh Kiai Jamaluddin Ahmad, mursyid tarekat Syadziliah dari Jombang yang meneruskan jalur sanad tarekat Syadzili dari Syekh Amad Nahrawi melalui Syekh Abdul Jalil Tulungagung dari Syekh Mustaqim Ahmad Tulungagung dari Syekh Abdu Razaq Tremas dari Syekh Ahmad Kadirejo Klaten dari Syekh Ahmad Nahrawi al Makki.

Dan terakhir, pengajian kitab al-Hikam yang diampu oleh Kiai Imron Djamil. Pengajian ini mendapat tempat di hati pendengar radio di Indonesia.

Pengajian-pengajian kitab tasawuf di tempat-tempat lain yang tidak terekam lebih banyak lagi, tersebar di pesantren-pesantren tradisional NU, surau-surau, masjid, dan madrasah-madrasah. Di Kartasura, kitab Manaqib Syekh Abil Hasan Syadzili yang ditulis oleh Kiai Ma’ruf Mangunwijata masih rutin dibaca.

Di Alas Tuo Semarang, Kiai Haris Shodaqoh menggelar pengajian kitab al-Hikam yang juga diikuti oleh ribuan orang. Di Demak, Kiai Munif juga menggelar pengajian tasawuf yang diikuti ribuan murid-murid tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah yang dibimbingnya. Di Lirboyo, Kiai Anwar Manshur membacakan kitab al-Hikam diikuti oleh santri-santri senior yang datang dari berbagai daerah.

Dalam ajaran tarekat Syadziliah, ada ungkapan, “Sungguh musuh yang membawa kembali kepada Tuhanmu lebih baik daripada kekasih yang menyibukkanmu dari Tuhanmu.”

Ungkapan semacam ini keluar dari manusia-manusia pilihan yang jalan hidupnya senantiasa mendapat petunjuk dari Allah. Ia mengajarkan informasi yang dibutuhkan seorang murid dan salik dalam menempuh jalan makrifatullah serta mengajarkan prinsip-prinsip dasar yang sangat diperlukan seorang arif.

Editor: Herlina


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik