

Jalan Terjal Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Kabinet Merah Putih
/ Opini
Mampukah pemerintah menggerakkan sektor-sektor perekonomian dengan multiplier effect besar?
Anton A. Setyawan
Guru Besar Ilmu Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
Barisan pembantu Presiden dalam Kabinet Merah Putih yang telah resmi dilantik berjumlah 114 orang, terdiri dari 48 orang menteri, 56 orang wakil menteri, dan 5 kepala lembaga. Banyak pihak mengkritik kabinet ini terlalu ‘gemuk’, terlebih dengan nomenklatur baru yang berdampak pada semakin kompleksnya tata kelola pemerintahan.
Meski keputusan tersebut sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden berdasarkan pertimbangan ketercapaian visi misi pemerintahan, toh kekhawatiran tentang inefisiensi dan lusinan persoalan lanjutannya tetap membayangi kepemimpinan nasional di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pada kenyataannya, Kabinet Merah Putih langsung dihadapkan pada tantangan berat, berupa masalah-masalah krusial perekonomian Indonesia, yaitu penciptaan pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja berkualitas, mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan, serta memperkuat daya saing industri nasional.
Salah satu target pemerintahan Prabowo-Gibran adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun. Target ini dianggap ambisius di tengah perlambatan ekonomi global, di samping kondisi perekonomian nasional yang tidak kondusif.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo selama dua periode, pertumbuhan ekonomi nasional tidak pernah lebih dari 5 persen. Selain itu, angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia mencapai 6. Artinya, negara ini memerlukan tambahan modal berupa investasi sebesar 6 poin untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1 persen. Sebuah angka yang tidak efisien mengingat negara-negara lain di Asia hanya memerlukan 3 poin modal untuk meningkatkan 1 persen pertumbuhan ekonomi.
Mengapa demikian? Karena, banyak gangguan variabel ekonomi maupun non-ekonomi di Indonesia yang mengganggu aktivitas ekonomi. Beberapa di antara variabel-variabel tersebut, antara lain upah minimum, jumlah pekerja informal yang mencapai 59,17 persen dari total angkatan kerja, korupsi, dan pelayanan birokrasi yang lambat.
Variabel-variabel lain yang juga harus diperhatikan adalah variabel-variabel yang terkait dengan kondisi global, seperti pergerakan kurs US Dollar yang berdampak pada Rupiah, ketidakstabilan geo-politik global dan pertumbuhan ekonomi global.
Ancaman Deindustrialisasi
Target pertumbuhan ekonomi Kabinet Merah Putih sebesar 8 persen, meskipun berat, masih mungkin untuk dicapai. Syaratnya, pemerintah memilih sektor-sektor yang mampu menggerakkan perekonomian dengan dampak besar pada pertumbuhan ekonomi atau sektor dengan multiplier effect yang besar.
Pertumbuhan ekonomi berkualitas berarti mampu menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas, serta mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan. Industri pengolahan atau manufaktur menjadi salah satu sektor atau lapangan usaha yang memberikan multiplier effect pada perekonomian.
Data Badan Pusat Statistik sejak tahun 2018 menunjukkan bahwa industri pengolahan memberikan sumbangan besar pada pertumbuhan ekonomi dengan angka rata-rata sebesar 0,9 persen. Artinya, pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen maka industri pengolahan menyumbang hampir 1 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional. Apabila dibandingkan dengan lapangan usaha perdagangan besar dan eceran yang hanya menyumbang rata-rata 0,5 persen maka industri manufaktur memberikan sumbangan lebih besar.
Namun demikian, dari beberapa kelompok industri manufaktur, yaitu industri tekstil dan pakaian jadi, industri kayu dan barang dari kayu, serta industri furnitur justru terus mengalami penurunan. Secara konsisten ketiganya mengalami penurunan dalam kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini terkonfirmasi dari banyaknya perusahaan tekstil yang harus berhenti beroperasi atau mengurangi produksinya.
Sepanjang tahun 2024, sudah ada 7 perusahaan tekstil dan 15.114 pekerja yang terpaksa menerima pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada Oktober 2024, kembali salah satu perusahaan tekstil terbesar nasional dinyatakan bangkrut. Perusahaan tersebut adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau PT Sritex. Perusahaan dengan lebih dari 19 ribu lebih karyawan tersebut masih berusaha untuk mempertahankan produksi demi kepentingan karyawannya.
Masalah-masalah industri manufaktur menjadi prioritas yang sebaiknya segera diatasi oleh Kabinet Merah Putih, jika hendak mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen per tahun. Hal ini terkait dengan perbaikan daya saing industri manufaktur nasional dan pengurangan ekonomi biaya tinggi.
Ketimpangan Kesejahteraan
Kabinet Merah Putih juga dihadapkan pada persoalan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia. Angka Koefisien Gini Indonesia menunjukkan ketimpangan pengeluaran di Indonesia. Sejak tahun 2020, selalu berada di kisaran 0,38. Angka ini mengalami sedikit penurunan pada bulan Maret 2024 menjadi 0,379.
Indikator lain ketimpangan ditunjukkan dengan besarnya persentasi pekerja sektor informal yang lebih dominan dibandingkan angkatan kerja yang bekerja di sektor formal, yaitu sebesar 59,17 persen, sedangkan mereka yang bekerja di sektor formal hanya 40,83 persen.
Pemenang Nobel Ekonomi tahun 2024, yakni Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson mengembangkan teori pentingnya kelembagaan inklusif pada sebuah negara, serta keterkaitan antara sistem politik dan pertumbuhan ekonomi.
Dua paper utama mereka, ‘The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation’ yang diterbitkan American Economic Review Vol. 91 No. 5 bulan Desember tahun 2001 dan ‘Reversal of Fortune: Geography and Institutions in the Making of the Modern World Income Distribution’ yang diterbitkan The Quarterly Journal of Economics Vol. 117 No. 4 bulan November tahun 2002 menjadi dasar dari teori yang mereka kembangkan.
Dalam studi yang mereka lakukan, ketimpangan kesejahteraan antar-negara di dunia terjadi karena kualitas kelembagaan sebagai warisan kolonialisme di beberapa negara yang pernah dijajah imperialis dunia, 500 tahun yang lalu. Wilayah-wilayah tersebut pada 5 abad yang lalu merupakan daerah yang kaya, tetapi 1500 tahun kemudian menjadi miskin.
Hal ini terjadi karena para imperialis melakukan perubahan kelembagaan pemerintah dan sosial agar sesuai dengan prinsip pro-investasi, yaitu dengan meminimalkan partisipasi masyarakat. Konsep ini disebut ‘kelembagaan ekstraktif’. Akibatnya, lembaga pemerintah berpihak pada oligarki dan kelompok pengusaha kaya serta penguasa. Akses rakyat terhadap sumber daya ekonomi pun menjadi tidak merata.
Pada sisi lain, negara-negara bekas jajahan kemudian berkembang menjadi negara yang lebih demokratis. Mereka berusaha mengubah kelembagaan negara menjadi lembaga inklusif yang melibatkan masyarakat. Kelembagaan ini membuka partisipasi rakyat yang lebih banyak, sehingga ketimpangan kesejahteraan tidak terjadi.
Indonesia sebagai negara bekas jajahan yang telah mengubah diri secara perlahan menjadi lebih inklusif berpeluang besar untuk mengentaskan ketimpangan kesejahteraan. Dibutuhkan komitmen dan kesungguhan berikut dukungan rakyat banyak.
Pada praktiknya, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian bersama tujuh kementerian teknis di bawahnya, yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Kementerian Pariwisata, beserta pemerintah daerah pada level provinsi dan kota/kabupaten telah seharusnya bersinergi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Editor: Rahma Frida