Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025. (Setkab)
Denyut Krisis Ekonomi Itu Bernama PPN 12 Persen : Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025. (Setkab)
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025. (Setkab)

Denyut Krisis Ekonomi Itu Bernama PPN 12 Persen

Dapatkah pemerintah menemukan jalan tengah yang mampu mengakomodasi tuntutan rakyat tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi?


Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Surakarta Daily


Menyebalkan, memang. Pada saat semua orang merayakan pergantian tahun, kita justru dihadapkan pada isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Situasi suka cita yang seharusnya penuh harapan justru berubah menjadi cemas dan waswas. Kado tahun baru dari pemerintah berupa kenaikan PPN menjadi momok yang menghantui masyarakat.

Namun yang menarik adalah ketika isu pajak menjadi bahan gerakan massa hingga memicu gelombang demonstrasi mahasiswa. Fenomena ini menandakan bahwa isu fiskal yang selama ini dianggap teknokratis dan jauh dari keseharian, mulai menyentuh kesadaran rakyat. Pajak yang selama ini dipandang sebagai urusan para teknokrat di meja birokrasi telah menjelma menjadi persoalan yang nyata dan dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kekhawatiran pun meluas. Banyak dari warga negara yang takut bahwa krisis ekonomi seperti tahun 1998 bisa terulang. Pada masa itu, lonjakan harga kebutuhan pokok, inflasi tinggi, dan daya beli yang anjlok membawa Indonesia ke dalam krisis ekonomi parah yang kemudian memicu krisis politik besar-besaran.

Kini, di tengah kondisi daya beli masyarakat yang menurun, kenaikan PPN 12 persen dikhawatirkan memperparah kenaikan harga kebutuhan pokok, membebani kelompok rentan, dan menambah tekanan ekonomi yang sudah dirasakan banyak orang.

Meskipun secara politik situasi sekarang lebih stabil dibandingkan tahun 1998, keresahan sosial yang dipicu oleh kebijakan fiskal menjadi pertanda bahwa ekonomi masih menjadi akar utama ketegangan di masyarakat. Pemerintah tentu harus waspada, karena di balik kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN, ada denyut nadi keresahan publik. Keresahan tersebut bisa saja mengguncang tatanan yang sudah dianggap mapan.

Pertanyaannya, apakah hal ini hanya soal ekonomi, atau juga soal kepercayaan rakyat terhadap pemerintah? Akankah pemerintah mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan kenaikan PPN 12 persen bertujuan untuk kebaikan bersama? Dan yang lebih penting, apakah ada peluang Presiden Prabowo nantinya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan PPN?

Bola Liar Kenaikan PPN

Demonstrasi mahasiswa yang muncul belakangan bukan hanya menyoroti besarnya angka kenaikan PPN, tetapi juga mempertanyakan apakah pajak yang dibayarkan oleh rakyat benar-benar dikelola demi peningkatan kesejahteraan bersama. Dalam kondisi ini, isu fiskal telah bergeser menjadi simbol ketidakadilan ekonomi dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Anggaplah pemerintah ‘mengalah’ demi memenuhi tuntutan rakyat dengan membatalkan kenaikan PPN. Mungkin saja langkah itu dapat meredakan situasi dan menenangkan keresahan publik. Namun, kebijakan tersebut juga bukan tanpa konsekuensi.

Dengan membatalkan kenaikan PPN, pemerintah akan menghadapi tekanan besar pada APBN. Sebagai salah satu sumber pendapatan utama, hilangnya potensi tambahan dari kenaikan PPN dapat mengakibatkan defisit anggaran yang lebih besar. Hal ini berisiko mengganggu berbagai program pembangunan dan layanan publik yang seharusnya didanai dari pajak.

Selain itu, keputusan untuk mundur dari kebijakan yang sudah direncanakan juga dapat memberikan sinyal negatif kepada para pelaku ekonomi. Ketidakpastian kebijakan fiskal bisa menurunkan kepercayaan investor dan menciptakan keraguan terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi secara berkelanjutan.

Di tengah dinamika itu, pemerintah menghadapi dilema besar, yakni memilih untuk mendengarkan aspirasi rakyat dengan membatalkan kenaikan PPN, atau tetap menjalankan kebijakan ini demi menjaga stabilitas fiskal jangka panjang.

Dapatkah pemerintah menemukan jalan tengah yang mampu mengakomodasi tuntutan rakyat tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi? Ataukah bola liar kenaikan PPN akan terus bergulir hingga memengaruhi legitimasi politik pemerintah?

Skenario Pembatalan PPN

Jika Presiden Prabowo, misalnya, menerbitkan Perppu untuk membatalkan kenaikan PPN, ada beberapa skenario yang dapat terjadi.

Pertama, membatalkan secara penuh. Pemerintah dapat membatalkan kenaikan ini, tetapi harus mencari cara lain untuk menutupi kekurangan anggaran, seperti memperluas basis pajak atau meningkatkan efisiensi belanja negara.

Kedua, menunda kenaikan PPN hingga situasi ekonomi lebih stabil. Langkah tersebut akan memberi waktu bagi masyarakat untuk ‘bernapas’ meskipun penerimaan negara akan terganggu dalam jangka pendek.

Ketiga, revisi kebijakan PPN. Tarif PPN dinaikkan secara selektif, misalnya hanya untuk barang mewah, sementara kebutuhan pokok tetap bebas dari PPN. Pendekatan ini lebih adil dan lebih mudah diterima publik.

Menghadapi Gelombang Perubahan

Kenaikan PPN 12 persen bukan sekadar angka di atas kertas. Tapi ini adalah cerminan dari denyut nadi masyarakat yang mulai bergetar dalam ketidakpuasan. Saat gerakan mahasiswa berkumpul di jalanan, suara mereka bukan hanya teriakan menolak pajak, tetapi juga jeritan harapan akan keadilan dan kesejahteraan. Dalam konteks tersebut, pemerintah tidak bisa lagi mengabaikan suara rakyat, karena setiap keputusan yang diambil akan menjadi cermin dari legitimasi dan kepercayaan publik.

Jika Presiden Prabowo memilih untuk menerbitkan Perppu dan membatalkan kenaikan PPN, itu bisa menjadi langkah berani yang menunjukkan sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat. Namun, jika keputusannya tetap melanjutkan kebijakan ini, pemerintah harus siap menghadapi gelombang protes yang lebih besar dan konsekuensi yang tak terhindarkan terhadap stabilitas politik.

Di tengah ketidakpastian itu, satu pertanyaan mendasar muncul, yaitu apakah pemerintah akan menjadi pelindung rakyat atau justru mengabaikan suara mereka demi kepentingan fiskal? Keberanian untuk mendengarkan dan bertindak akan menentukan tidak hanya nasib kebijakan ini, tetapi juga masa depan pemerintahan itu sendiri.

Saat bola liar kenaikan PPN terus bergulir, kita melihat apakah pemerintah mampu menangkapnya dengan bijak, atau justru akan membiarkannya menghantam tatanan yang sudah mapan. Rakyat menunggu jawaban dan sejarah akan mencatat setiap langkah yang diambil.

Editor: Rahma Frida


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik