Sebuah sudut area persawahan Jimbung, Kalikotes, Klaten. (Sentot Suparna)
Bumi Loh Jinawi Itu Bernama Kalathen : Sebuah sudut area persawahan Jimbung, Kalikotes, Klaten. (Sentot Suparna)
Sebuah sudut area persawahan Jimbung, Kalikotes, Klaten. (Sentot Suparna)

Bumi Loh Jinawi Itu Bernama Kalathen

Dua versi kisah kelahiran Klaten sama-sama menggambarkan kesuburan wilayah ini sejak dahulu.


Sentot Suparna
Founder Lori Gondang Library


Hari Jadi Kabupaten Klaten diperingati setiap tanggal 28 Juli. Latar belakang penetapan Hari Jadi tersebut adalah peristiwa awal berdirinya Benteng Klaten atau Loji Klaten atau Fort Engelenburg pada 28 Juli 1804.

Ketika itu, di samping sebagai basis militer, Loji Klaten juga menjadi pusat kegiatan administrasi, sehingga dipandang sebagai cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan daerah di Klaten. Momentum berdirinya Benteng Klaten pun kemudian memperkenalkan nama Klaten secara luas.

Nama Klaten sendiri, kemungkinan besar sudah ada sejak awal abad ke-18, ketika Keraton Kasunanan Surakarta diperintah oleh Sunan Pakubuwana II. Sejak kapan nama Klaten mulai ada, tidak termuat dalam catatan sejarah. Namun, bersumber pada cerita rakyat atau legenda yang belum bisa dipastikan kebenarannya, minimal ada dua versi cerita rakyat atau legenda tentang asal mula nama Klaten.

Asring Kalathi

Versi pertama, pada awal abad ke-18, Klaten merupakan bagian dari Keraton Kasunanan Surakarta yang disebut ‘daerah tamping panekar Pajang Kidul’. Sebagian besar daerah Klaten masih berupa hutan dan semak belukar. Daerah pinggir jalan besar Surakarta-Yogyakarta saja yang mulai dibuka untuk lahan pertanian dan pemukiman.

Sebagai daerah panekar, Klaten menjadi tempat kedudukan tanah apanase (apanage), yakni tanah bengkok atau pelungguh para pejabat keraton. Kumpulan tanah pelungguh tersebut merupakan hamparan luas yang rata-datar dan sangat strategis, karena berlokasi di pinggir jalan besar Surakarta-Yogyakarta. Tanahnya sangat subur dan dialiri sungai-sungai, sehingga sangat ideal untuk lahan pertanian maupun pemukiman.

Kondisi alam hamparan tanah pelungguh itu selalu menjadi kembang lambe (bahan perbincangan) di lingkungan keraton. Menjadi kembang lambe artinya asring kalathi yang berarti ‘sering terucap atau disebut’. Karena asring kalathi, hamparan tanah pelungguh para pejabat keraton itu kemudian disebut ‘Kalathen’.

Secara etimologi, perubahan istilah kalathi menjadi kalathen, serupa dengan perubahan kata dari senopati menjadi senopaten, mranggi menjadi mranggen, kendi atau kundi menjadi kunden, dan sebagainya. Perubahan penyebutan tersebut berfungsi sebagai keterangan tempat. Istilah kalathen kemudian mengalami desimilasi menjadi ‘klaten’.

Rentang waktu selama abad ke-18, situasi politik Keraton Kasunanan Surakarta diwarnai pertentangan internal dan perebutan wilayah dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Nama Kalathen yang tidak berkaitan langsung dengan situasi politik tersebut, jarang sekali muncul dalam catatan sejarah.

Daerah sekitar Kalathen yang termuat dalam catatan sejarah, antara lain Marebung, Wedi, Pedan, Cawas, dan Delanggu, karena merupakan daerah ajang peperangan. Nama Kalathen baru muncul menjelang berdirinya Loji Klaten, seperti yang termuat dalam cuplikan Babad Bedhahing Ngayogyakarta halaman 96 hingga 97 sebagai berikut.

“Pangkur. [Awusana sapunika, ing Marebung sande kinarya loji, Karsanira Tuwan Uprup, Surakarta Ngayogya, arsa ngalih ing Kalathen lojinipun, Enjinge budhal sadaya, Patih kalih atur uning] [... Kang loji gya winiwitan, ginarap sampun waradin] [Setu Kliwon jam sewelas, tanggal kaping rolas Rabingulakir, tahun Alip kang lumaku, samana sinengkalan, Rupa mantri swaraning jalak, Antara dina samana, wus mantuk Patih kakalih].”

Konon, hamparan luas yang disebut Kalathen merupakan embrio lahirnya Kota Klaten yang terus berkembang hingga sekarang. Perkembangan Kalathen menjadi sebuah kota, terutama berlangsung sejak berdirinya Loji Klaten. Nama atau kata Kalathen kemudian ditetapkan sebagai nama Kabupaten Klaten.

Dedikasi Kyai Melati

Versi kedua mengisahkan dedikasi seorang tokoh bernama Kyai Melati, seorang abdi dalem, sang penyedia ubarampe kraton.

Sejak Sunan Pakubuwana II bertahta di Keraton Kesunanan Surakarta, daerah panekar Klaten bertugas menyiapkan kebutuhan personel dan ubarampe untuk keperluan adat budaya dan kesenian di lingkungan keraton. Personel yang harus disiapkan antara lain penabuh gamelan (niyaga), sinden atau waranggana, dan dayang-dayang, serta ubarampe berupa makanan tradisional, yakni dedaunan, terutama daun pisang dan bunga melati.

Untuk memenuhi kebutuhan bunga melati, keraton menugaskan seorang abdi dalem bernama Kyai Melati. Nama Kyai Melati mungkin bukan nama sebenarnya. Semacam gelar berkaitan dengan tugas yang diemban. Konon, Kyai Melati adalah keturunan salah seorang abdi dalem Keraton Kasultanan Pajang.

Kyai Melati memiliki sebidang tanah yang cukup luas. Sebagian untuk lahan tanaman melati dan sisanya untuk lahan tanaman lain. Di samping mengerjakan tanah miliknya, Kyai Melati juga mengerjakan tanah pelungguh salah seorang pejabat keraton. Sebagian tanah lungguh ini juga ditanami bunga melati untuk memenuhi kebutuhan keraton.

Kyai dan Nyai Melati dikenal sebagai sosok yang sederhana dan rajin menjalani laku tirakat. Dikisahkan bahwa Kyai Melati memiliki kemampuan metafisik sehingga mampu berinteraksi dengan alam tak kasat mata.

Sebagian masyarakat percaya bahwa burung merpati kelangenan Kyai Mlati, hingga sekarang masih ada namun tidak nampak wujudnya. Apabila di malam hari terdengar suara peluit merpati (sawangan). Artinya, merpati tersebut sedang terbang berputar di udara (kalangan) sebagai pertanda (tengara) akan datangnya wabah penyakit.

Kyai dan Nyai Melati tidak memiliki keturunan. Ketika mereka meninggal dunia, tugas menyediakan bunga melati diatur kembali oleh keraton. Kyai dan Nyai Melati dimakamkan didekat tempat tinggal mereka. Makam tersebut menjadi jejak sejarah yang masih terawat hingga sekarang. Pada malam-malam tertentu, makam Kyai dan Nyai Melati sering dikunjungi orang untuk berziarah.

Makam Kyai dan Nyai Melati sekarang ada di tengah kampung bernama Klaten, termasuk wilayah Kelurahan Klaten, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten. Nama kampung tersebut diambil dari nama Kyai Melati karena keberadaan Kyai Melati dianggap sebagai cikal bakal. Dari istilah melati berubah menjadi melaten, kemudian mengalami desimilasi menjadi ‘klaten’. Di kemudian hari nama Kyai Melati dipercaya sebagai awal mula nama Kabupaten Klaten.

Editor: Rahma Frida


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik