Seorang cerpenis multitalenta kebanggaan Tanah Air, Mohammad Diponegoro. (Shalahuddin Press)
Bila Mohammad Diponegoro Menulis Roman Pemburu Kepuasan : Seorang cerpenis multitalenta kebanggaan Tanah Air, Mohammad Diponegoro. (Shalahuddin Press)
Seorang cerpenis multitalenta kebanggaan Tanah Air, Mohammad Diponegoro. (Shalahuddin Press)

Bila Mohammad Diponegoro Menulis Roman Pemburu Kepuasan

/ Literatur

Pemuasan hasrat tanpa iman dapat membuat seseorang terjebak pada siklus malapetaka yang tak berkesudahan.


Muhammad Taufik Nandito
Pegiat literasi, alumnus Fakultas Psikologi UMS

 

Semoga Anda mengenal Mohammad Diponegoro. Benar, ia salah seorang penulis cerpen hebat kebanggaan negeri ini. Sebermanfaat apa karya-karyanya bagi para pembacanya? Bila tak jujur, Anda akan menjawab, sungguh menghibur. Bukan. Ia tak hanya menghibur. Ia menginspirasi banyak orang yang peduli pada kejujuran saat menerka realitas.

Satu dari sekian masterpiece Mohammad Diponegoro, novel berjudul Siklus. Sang Penulis menyatakan, karya itu ia tulis dengan riset dan imajinasi. Karya yang tidak ia tulis dengan liris dan berbunga-bunga, melainkan padat dan intens dalam penceritaan. Intensitas tersebut menjadi alat penceritaan efektif saat masalah demi masalah terus menerjang si tokoh utama seiring pertemuan dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita.

Novel Siklus memenangkan hadiah penghargaan sayembara roman yang dihelat Panitia Tahun Buku Internasional DKI Jakarta pada 1972 silam. Selain aktif sebagai Redaktur Suara Muhammadiyah, penulisnya terkenal bergiat di teater, menjadi penulis cerita pendek, dan juga pengisi acara siaran cerita pendek di radio Australia.

Sebuah novel, ujar sastrawan Goenawan Mohammad, bisa bertutur, bisa pula bergumam. Sedikit berbeda, Siklus adalah novel yang berusaha bertutur, sekaligus bergumam. Ia berusaha membuka cakrawala pembacanya tentang realitas, baik kini maupun nanti.

Dalam sastra, cendekiawan Soedjatmoko pernah bertutur, seorang pengarang selalu menghadirkan karyanya seperti secercah kebenaran yang dirasakan sebagai pengalaman.

“Kejeniusan si pencipta seni ialah bahwa dengan karyanya ia dapat menggetarkan di dalam jiwa si pembaca atau si pendengar irama kebenaran pribadinya sendiri,” tulis Soedjatmoko dalam buku Etika Pembebasan.

Siklus pun terasa begitu, meski telah diolah sedemikian rupa menjadi kisah baru. Ditulis sebagaimana novel modern, alur Siklus begitu linier. Tiap episodenya bergerak cepat dan ditulis dengan kalimat pendek. Meski demikian, ia tidak kehilangan kepadatan dan kedalaman. Bila dibandingkan, langgamnya terasa seperti karya Naguib Mahfouz, peraih Nobel Sastra dari Mesir.

Jimat Pemberian

Novel Siklus mengetengahkan seorang tokoh bernama Amir, bekas tentara pada masa perang, dan menjadi pegawai negeri dalam masa kemerdekaan. Ia dikisahkan berkunjung ke ibu kota Taipei sebagai delegasi pada sebuah konferensi kebudayaan.

Sebermula, Amir memiliki sebuah jimat pemberian seorang kawan semasa perang. Ia tidak begitu mengindahkannya. Sebab, menurutnya, seseorang bisa menjalani hidup berkat tindakan dan pikirannya sendiri, bukan karena bantuan dari apa pun yang tak kasat mata.

Amir Sang Cartesian berteman dengan John Fletcher, seorang antropolog yang terobsesi pada benda-benda klenik. Karena Amir menyikapi jimat kalung topeng itu sebagai perhiasan semata, jimat itu berpindah tangan ke John Fletcher dengan sekian mahar.

Seiring berjalannya waktu, Amir meragu, apakah jimat itu benar-benar bertuah. Apalagi, ia melihat si antropolog ditimpa nahas saat sedang meneliti jimat darinya. Di tengah rasa ragu usai melepas jimat, ia berpetualang ke penjuru Taipei demi melepas ketegangan yang ia rasakan.

Keraguan berkembang menjadi kecemasan. Amir cemas melihat kawan-kawannya satu per satu mati setelah berurusan dengan jimat itu. Kisah pun sempat terpantul ke belakang sebentar, ketika Amir mengenang temannya yang gugur dalam perang lalu memberikan jimat tersebut.

“Ada semacam tali gaib yang menghubungkan batin Amir dan Busrodin dengan cara yang ganjil. Barangkali hubungan semacam itu terjadi juga antara Amir dengan John.”

Kalung topeng atau jimat itu menjelang ujung cerita sempat menjadi sumber kecemasan Amir. Ia, yang selalu berusaha berpikir dan menggemakan idiom Rene Descartes ‘Aku berpikir maka aku ada’ mulai terpengaruh dengan keberadaan kalung topeng.

Apakah lepasnya kalung itu menjadi petaka bagi kawan-kawannya? Apakah kalung itu menjadi sebuah siklus kematian? Ia mulai berpikir untuk kembali memegang kalung itu agar selamat dan tidak membuat petaka baru.

Kehampaan dan kegamangan meliputinya. Ia mulai merasa banyak hal terjadi di luar jangkauan pikirannya. Pelarian dari rasa itu berujung pada hal-hal seputar prostitusi. Ia seperti terjerembap di antara siklus kematian dan kemaksiatan.

Jimat Masa Kini

Novel ini, kendati berujung pada kehancuran Amir si tokoh utama, bukan penganjur fatalitas. Sedari awal hingga ujung cerita, Siklus menceritakan semacam masalah yang terus bergulir akibat tak ada rasa pada hal bersifat kasat mata. Bahwa awal dan akhir bisa ditentukan pada suatu yang tidak terlihat.

Siklus mengandung semacam peringatan kepada umat manusia  Dalam kehidupan, seseorang tidak melulu dapat bersandar pada segala yang berkaitan materi. Ia selalu membutuhkan pijakan kuat atau iman yang oleh penyair T.S. Eliot disebut sebagai ‘karang’.

Siklus turut memotret bahwa takdir manusia tidak selalu bersinggungan dengan narasi besar, tapi juga melibatkan suatu hal kecil, seperti jimat kalung topeng. Keputusan tentang jimat kalung topeng dalam novel itu menggambarkan bahwa hal kecil dapat berdampak besar, tanpa atau dengan ‘karang’.

Keadaan yang mencerminkan fenomena masa kini. Sebuah gawai, misalnya, bisa mengantarkan seseorang pada jendela dunia. Ia kecil, ringan, dan mudah dibawa ke mana-mana, tapi sebenarnya bisa mengganggu kesadaran seseorang. Tanpa ‘karang’ ia akan membawa manusia ke dalam siklus informasi tak berujung.

Dalam genggaman, gawai adalah narasi kecil. Ia menjadi semacam jimat untuk manusia di tengah keseharian. Kala jemu menatap gawai. Dalam kesendirian ia kembali ke gawai. Dalam keadaan apa pun, seolah gawai menjadi penyelamat atau pelarian.

Arus informasi mengalir deras pada gawai. Etalase perdagangan diakses dengan mudah seperti lokapasar. Ia menjadi pemicu hasrat dan pemuasan. Dalam bahasa filsuf Prancis, Jacques Lacan, pemuasan itu disebut dengan jouissance; di antara kata dan benda ia menjadi penenteram hati, meski sifatnya sementara.

Pemuasan yang bisa berujung pada gejala kejiwaan. Bila berfungsi tanpa kendali, gawai menjadi malapetaka bagi kejiwaan manusia. Ketergantungan pada gawai menyebabkan manusia seolah terasing. Kondisi yang jauh dari lingkaran sosial itulah yang mengantar pada rasa cemas dan ragu, berpadu menjadi satu.

Dalam halaman pamungkas novel Siklus, Mohammad Diponegoro menulis, “Saya tidak tahu, Doktor. Soal Amir, saya kira, sama dengan soal manusia zaman sekarang. Barangkali kita harus meliihat apa yang pernah terjadi seratus atau dua ratus tahun yang lalu. Mengenai manusia, semua berjalan menurut siklus.”

Kita bisa beranggapan bahwa imajinasi Sang Penulis bukannya tanpa ‘karang’. Ia seakan menulis Siklus sebagai pengingat bahwa tanpa ‘karang’ orang akan mudah terseret dalam siklus malapetaka.

Editor: Rahma Frida


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik