Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Joko Widodo di Kertanegara, Jakarta, Jumat (6/12/2024). (BPMI Setpres)
Betapa Negara Perlu Becermin : Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Joko Widodo di Kertanegara, Jakarta, Jumat (6/12/2024). (BPMI Setpres)
Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Joko Widodo di Kertanegara, Jakarta, Jumat (6/12/2024). (BPMI Setpres)

Betapa Negara Perlu Becermin

Diamnya rakyat bisa jadi sedang menimbang, masih layakkah percaya pada kebenaran yang disusun oleh kuasa.


Anwar Setyanto
Sekretaris Banteng Muda Indonesia (BMI) Sukoharjo
Wakil Ketua Bidang Hukum dan Politik DPD KNPI Sukoharjo

 

Di sebuah negara yang percaya pada hukum dan akal sehat, selembar ijazah tak lebih sekadar simbol. Ia hanyalah tanda kelulusan, bukan pangkal kekuasaan. Namun, saat selembar ijazah memunculkan kegaduhan nasional, pertanyaannya bukan lagi soal gelar, melainkan soal kepercayaan, “Apakah negara ini masih mampu menghadirkan kebenaran yang jujur, sekalipun terasa tidak nyaman?”

Kita sedang menyaksikan sebuah paradoks. Negara telah menyatakan tidak ada yang salah, namun rakyat tetap merasa ada yang belum dijawab. Bukan karena rakyat terlalu curiga, melainkan karena negara terlalu cepat menutup pintu pertanyaan.

Polisi telah menjalankan tugasnya secara hukum. Mereka menyatakan tak cukup bukti. Institusi pendidikan pun memberi klarifikasi, sebagaimana mestinya. Namun justru di situlah persoalannya. Semua tampak benar, tetapi mengapa kebenaran terasa belum hadir?

Mungkin karena hukum dan kebenaran, meskipun sering kita harapkan berjalan beriringan, sebenarnya tidak selalu bertemu di simpang yang sama. Hukum berjalan di atas rel pembuktian formal, sedangkan kebenaran sering kali tertatih di jalan sunyi pencarian nurani.

Dalam kasus ini, publik tidak menuntut sesuatu yang rumit. Mereka hanya ingin diyakinkan bahwa negara masih punya keberanian untuk membuka cermin dan menatap wajah sendiri. Apakah benar proses pendidikan pemimpin bisa ditelusuri dengan jernih? Apakah benar lembaga-lembaga yang menyatakan kebenaran bebas dari tekanan kuasa? Dan yang terpenting, apakah rakyat masih boleh bertanya, tanpa dibungkam oleh prosedur?

Sayang seribu sayang, hal sebaliknya yang terjadi. Pertanyaan dianggap tuduhan. Kecurigaan dicap sebagai makar. Sementara narasi resmi yang berubah-ubah tidak ditafsirkan sebagai kelemahan, melainkan sebagai ‘penjelasan tambahan’. Maka benih keraguan pun tumbuh, bukan karena rakyat gemar curiga, tapi karena kebenaran datang terlalu berjarak.

Dan inilah titik paling berbahaya bagi sebuah negara yang dibangun di atas semangat reformasi, yakni ketika rakyat mulai meragukan, bukan hanya para pejabat, tapi juga sistem yang melindunginya. Ketika rasa percaya tak lagi berpijak pada kejujuran, melainkan sekadar pada pengumuman resmi yang tak bisa diuji maka sesungguhnya yang mulai retak bukan cuma wajah pemerintahan, tetapi juga jiwa kebangsaan kita.

Kita tidak sedang berbicara tentang satu orang atau satu ijazah. Kita sedang berbicara tentang kepercayaan publik yang bersifat sistemis. Tentang bagaimana negara menjawab pertanyaan paling mendasar, masihkah ia mau dibaca dan diuji oleh rakyatnya? Ataukah negara telah berubah menjadi mesin prosedural yang hanya menjawab dalam format formalitas, tanpa ruh, tanpa rasa, tanpa kebeningan nurani?

Maka di sinilah kita sampai pada pertanyaan filosofis yang lebih dalam, apakah negara masih mengenal malu?

Malu dalam arti etika. Bukan sekadar takut terbongkar, tapi malu karena merasa tak pantas menyembunyikan sesuatu dari rakyat yang telah memberi mandat. Di titik ini, sebuah negara yang sehat justru akan membuka diri. Ia tidak akan menunggu tekanan publik atau sorotan media untuk berlaku jujur. Sebab, keterbukaan adalah watak dasar, bukan sekadar strategi bertahan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kejujuran dipaksa tunduk pada protokol. Klarifikasi dikunci dalam kalimat yang sudah dirancang, bukan diungkap dalam ruang tanya jawab yang terbuka. Bahkan dalam beberapa kasus, kritik terhadap keabsahan dokumen pendidikan dianggap sebagai serangan pribadi atau upaya delegitimasi. Padahal, dalam demokrasi, justru kemampuan pemimpin menerima pertanyaan adalah tolak ukur kematangannya.

Suara Rakyat sebagai Cermin

Rakyat tidak sedang menuntut pemimpin yang sempurna. Mereka tahu, tak ada manusia tanpa cela. Tapi yang tak bisa ditawar adalah kejujuran dalam hal yang fundamental, apakah seorang pemimpin memperoleh kedudukannya secara sah, terbuka, dan dapat diverifikasi?

Jika pertanyaan ini saja ditanggapi dengan kecurigaan, pengaburan, atau retorika belaka maka rakyat punya alasan kuat untuk waspada. Karena, sejarah terlalu sering mengajarkan bahwa kekuasaan yang tak bisa ditanya adalah kekuasaan yang sedang menyembunyikan sesuatu.

Sebuah negara yang baik bukan negara yang paling banyak menjawab, tapi negara yang paling jujur ketika menjawab. Ia tidak perlu menumpuk narasi tambahan, jika kebenaran dasarnya sudah terang. Ia tidak perlu menumpuk klarifikasi, jika dari awal sudah tak menyembunyikan apa pun. Dan yang paling penting, negara tidak boleh lelah mendengar pertanyaan yang sama, jika memang jawaban sebelumnya belum meyakinkan.

Karena dalam demokrasi, suara rakyat bukan beban, melainkan cermin. Cermin yang tak hanya memantulkan wajah penguasa, tapi juga memantulkan arah peradaban. Apakah kita sedang menuju keterbukaan, atau justru sedang mundur ke zaman di mana kebenaran hanya bisa dibisikkan; bukan disuarakan?

Plato pernah berkata, “Keadilan lahir ketika setiap unsur dalam jiwa menempati tempatnya.”

Begitu pula dalam negara. Ketika kebenaran menempati tempat tertingginya, hukum tak perlu repot membela. Rakyat akan percaya dengan sendirinya. Tapi ketika narasi hukum berjalan tanpa kejelasan substansi, kepercayaan publik pun menjauh. Hukum menjadi benar, tetapi tidak dipercaya.

Mungkin inilah saatnya kita belajar dari diamnya rakyat. Karena diam yang panjang sering kali bukan tanda pasrah, melainkan tanda bahwa hati publik sedang menimbang; masih layakkah percaya pada kebenaran yang disusun oleh kuasa.

Sebagai bangsa, kita tentu tak ingin hidup dalam keraguan abadi. Karena negara yang sehat adalah negara yang bisa menjawab pertanyaan rakyatnya dengan terang, bukan dengan dalih. Selembar ijazah memang bukan segalanya, tetapi jika kebenaran tentangnya dibiarkan kabur maka yang terkikis bukan hanya reputasi pribadi, melainkan fondasi kepercayaan terhadap seluruh sistem.

Maka biarkan rakyat bertanya. Biarkan kebenaran diuji. Karena negara yang jujur tidak akan goyah oleh pertanyaan; justru tumbuh darinya. Dan ketika kejujuran itu hadir tanpa paksaan, barulah negara bisa becermin dan melihat wajahnya sendiri, apa adanya.

Editor: Budi Gunawan Sutomo


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik